Fraksi NasDem Tuding EKORA NTT Sontoloyo: Beritakan Kasus Dugaan Korupsi Tunjangan Kerja DPRD Sikka

Maumere, Ekorantt.com – Fraksi Nasional Demokrat (NasDem) Kabupaten Sikka menuding Surat Kabar Harian (SKH) EKORA NTT sebagai media sontoloyo dan loyo.

Tudingan sontoloyo dan loyo dialamatkan kepada wartawan EKORA NTT.

“Koran EKORA NTT yang memfitnah ini, saya yakin, wartawannya sontoloyo, orangnya loyo,” ungkap Ketua Fraksi NasDem Siflan Angi melalui Pendapat Fraksi dalam Rapat Paripurna V Tahun 2019 Kabupaten Sikka tentang Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Republik Indonesia (RI) Perwakilan NTT di ruang sidang DPRD Sikka, Maumere, Selasa (23/7/2019).

Selain menyebut sontoloyo dan loyo, anggota DPRD Sikka dua periode itu menuding EKORA NTT dan Bupati Sikka Robby Idong memfitnah, menjustifikasi, dan mem-bully anggota DPRD Sikka.

“Sangat sakit, kejam, sadis,” tutur politisi yang gagal terpilih menjadi anggota DPRD Provinsi NTT dalam Pemilihan Legislatif (Pileg) 2019 lalu.

iklan

Tudingan disampaikan terkait berita tentang dugaan korupsi tunjangan perumahan dan tunjangan transportasi anggota DPRD Sikka Periode 2014 – 2019 Tahun Anggaran 2018.

EKORA NTT dinilai melakukan pemberitaan secara sepihak terkait kasus ini.

Menurut Siflan, Fraksi NasDem akan menempuh jalur hukum. Dia mengaku akan pakai Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers untuk menyelesaikan kasus ini. 

“Fitnah yang dilakukan Saudara Bupati dan koran EKORA NTT dengan tegas Fraksi menyatakan akan menempuh jalur hukum. Sudah pasti kita bertemu di Pengadilan Maumere supaya terang benderang untuk membuktikan tudingan Saudara Bupati dan Koran EKORA NTT. Fraksi NasDem siap memproses hukum,” ungkap wakil rakyat itu.

Pers dan Politik Saling Butuh

Dosen Ilmu Komunikasi Unipa Maumere Dr. Gerry Gobang saat dimintai tanggapannya pada Jumat (25/7) berpendapat, media massa atau pers dan politik saling membutuhkan. Di era ini, media memberi banyak pengaruh terhadap politik. Salah satunya adalah citra politisi.

Menurut Jebolan STFK Ledalero ini, politisi janganlah sekali-kali menafikan peran pers sebagai pilar demokrasi dengan ujaran-ujaran yang mengarah kepada hate speech atau ujaran kebencian.

Dia mengingatkan, pers perlu terbuka pada kritik yang konstruktif. Media perlu berikhtiar terapkan pemberitaan investigatif agar tidak terjebak dalam hoaks atau fitnah.

“Pers berperan dalam kontrol sosial dengan menyebarkan informasi ke publik yang akurat yang telah di-check dan recheck secara valid agar informasi itu terpercaya dan dapat dipertanggungjawabkan jika publik, termasuk politisi mengkomplain,” ungkapnya.

Akan tetapi, menurut dia, komplain atau keluhan yang benar adalah dengan menggunakan hak jawab; Bukan dengan mengata-ngatai pers dengan berbagai ujaran kebencian. Menurut dia, ungkapan “sontoloyo” pernah jadi viral di Republik ini, termasuk di Kabupaten Sikka. 

Gerry berpendapat, pers dan politik punya fungsi pragmatis, yakni bekerja untuk kepentingan warga. Oleh karena itu, pers dan politisi hendaknya tidak mempermainkan kesadaran masyarakat.

“Publik harus dapat manfaat dari kehadiran pers dan politisi. Kemaslahatan warga harus jadi orientasi dari kerja pers dan kerja para politisi,” katanya.

Menurut dia, mekanisme penyampaian keluhan publik terhadap pers bisa dilakukan melalui hak jawab di media bersangkutan. Jika terkait dengan etika jurnalistik, maka diadukan ke Dewan Pers. Sedangkan jika terkait dengan tindak pidana, maka dilaporkan ke Aparat Penegak Hukum (APH), tentu dengan dua alat bukti yang valid.

Tidak Seharusnya Keluarkan Ancaman Hukum

Dosen Filsafat Politik STFK Ledalero Pater Dr. Otto Gusti Nd. Madung berpendapat, seorang wakil rakyat tidak seharusnya mengeluarkan ancaman hukum untuk pegiat pers. Jika ada pemberitaan yang keliru, sesuai Pasal 5 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, orang yang dirugikan bisa gunakan hak jawab.

Di samping itu, menurut dia, penyelesaian persoalan seputar pemberitaan di media massa seharusnya menggunakan jasa Dewan Pers dan bukan jalur pidana.

“Pak Siflan bisa baca di Pasal 15 UU Pers di mana peran Dewan Pers diatur,” ungkapnya.

Menurut Jebolan Sekolah Filsafat Munchen ini, pers adalah pilar demokrasi dan wujud kedaulatan rakyat. Demokrasi yang sehat hanya mungkin berkembang jika dikontrol oleh pers yang independen. Oleh karena itu, wakil rakyat yang paham tugasnya sudah seharusnya menggunakan media massa sebagai mitra untuk mengontrol jalannya kekuasaan dan pemerintahan.

Menurut Pater Otto, jika pemberitaan media massa keliru, tunjukkan itu kepada publik secara argumentatif dan diskursif. Dengan begitu, rakyat pun menjadi tahu mana yang benar.

“Tapi, kalau gunakan ancaman dan kata-kata kasar, kami sebagai rakyat pun bertanya-tanya, lembaga legislatif itu ungkapan kedaulatan rakyat atau apa?” pungkasnya.

Fungsi Media Massa

Pegiat Media Rini Kartini berpendapat, yang pertama-tama perlu dipahami adalah fungsi media massa. Menurutnya, selain menginformasi, mengedukasi, dan menghibur, media massa juga berfungsi melakukan kontrol atau pengawasan. Oleh karena itu, media massa disebut pilar keempat demokrasi.

Pemimpin Redaksi Maumere TV ini mengatakan, dalam pemberitaan di media massa, berita harus ikuti kaidah jurnalistik. Salah satunya adalah objektivitas. Jadi, cover both sides harus dilakukan untuk jaga objektivitas.

Menurut dia, pada beberapa kasus, jurnalis kadang gagal menembus narasumber. Namun, ini bukanlah akhir dari segalanya. Poin pentingnya adalah bagaimana publik mengetahui berita yang patut diketahui dan upaya yang telah jurnalis lakukan.

Menurut Rini, narasumber terkadang sengaja diam atau bahkan menghilang untuk menghindari publikasi media. Mereka memang berhak untuk menghilang dari kejaran media.

Akan tetapi, menurutnya, jurnalisme tidak hanya menyangkut penghormatan terhadap hak individu seseorang, melainkan juga kepentingan publik yang lebih besar. Seseorang yang diduga terlibat kasus kejahatan publik berhak menghilang. Namun, jurnalis berhak mencari dan mengejarnya.

“Berita yang diliput itu apakah menyangkut kepentingan umum, tidak? Kalau iya, itu harusnya sudah jadi pijakan jurnalis dalam bekerja. Menurut saya, yang disampaikan anggota DPRD itu terlalu lebay,” ungkapnya.

Dosen Ilmu Komunikasi Unipa Maumere ini juga mengimbau EKORA NTT untuk mencoba mengevaluasi, apakah proses jurnalistik sudah dilakukan dengan benar? Apakah sudah berusaha melakukan konfrimasi? Atau asal tulis saja?

“Jika asal tulis dan berita yang disampaikan tidak benar, maka silahkan laporkan EKORA NTT ke Dewan Pers,” pungkasnya.

Keliru Besar

Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) Petrus Selestinus berpendapat, adalah keliru besar jika Fraksi NasDem menyebut EKORA NTT melakukan fitnah terkait berita tentang dugaan korupsi tunjangan kerja DPRD Sikka.

Sebab, menurut dia, EKORA NTT hanya mengungkap fakta bahwa Bupati Sikka menyebut ada dugaan mark up tunjangan kerja dan patut diduga sebagai korupsi.

“Di mana letak fitnahnya? Jangan takut! Kita jalan terus,” ungkapnya.

Menurut Petrus, perkataan “sontoloyo” dan “loyo” Ketua Fraksi NasDem di atas bisa terkena delik penghinaan terhadap wartawan dan Pemred EKORA NTT seperti diatur dalam Pasal 310 Kitab Umum Hukum Pidana (KUHP).

Garis Besar Kasus Dugaan Korupsi Tunjangan Kerja DPRD Sikka

Untuk diketahui Sidang Pembaca yang budiman, kasus dugaan korupsi tunjangan transportasi dan tunjangan perumahan anggota DPRD Sikka tahun anggaran 2018 periode 2014-2019 berawal dari pernyataan Bupati Sikka, Robby Idong kepada masyarakat seperti dimuat dalam media online “Suara Sikka”, (28 Desember 2018) bahwa ada indikasi mark up atau penggelembungan anggaran tunjangan tersebut.

Bupati Robby Idong kemudian mengubah Perbup 45/2017 menjadi Perbup 33/2018. Perbup yang baru tersebut menurunkan angka tunjangan perumahan dan tunjangan transportasi masing-masing dari Rp10 juta menjadi Rp6,25 juta dan dari Rp12,5 juta menjadi Rp9 juta. Perubahan angka tunjangan tersebut bisa dilihat dalam tabel sebagai berikut.

Berdasarkan informasi dan data awal di atas, EKORA NTT kemudian melakukan investigasi terhadap kasus ini dengan langkah sebagai berikut.

Pertama, EKORA NTT membaca dan menyelidiki tiga (3) buah Perbup pada masa pemerintahan Bupati Yos Ansar Rera dan pemerintahan Bupati Robby Idong, yaitu Perbup 35/2017 tentang Standar Harga Satuan Barang dan Biaya, Perbup 45/2017 tentang Perubahan Atas Perbup 35/2017, dan Perbup 33/2018 tentang Standar Harga Satuan Barang dan Biaya.

Kedua, EKORA NTT membaca dan menganalisis dokumen “Risalah Rapat Sinkronisasi APBD Tahun Anggaran 2018” sebagai dasar pertimbangan penerbitan Perbup 45/2017.

Ketiga, EKORA NTT membaca dan menganalisis dokumen “Formulir Pendataan Harga Sewa Rumah Tinggal dalam Kota Maumere” dan “Formulir Pendataan Harga Sewa Kendaraan Roda Empat” pada tahun 2017 dan 2018.

Keempat, EKORA NTT melakukan wawancara terhadap berbagai narasumber yang bersinggungan dengan kasus tersebut di atas. Termasuk Siflan Angi Sang Politisi berspirit “Restorasi.” Pendapat Siflan dimuat di halaman depan edisi liputan investigatif EKORA NTT dengan judul “DPRD Sikka: Perbup Robby Idong Ilegal.”

Hasil investigasi EKORA NTT yang dituangkan dalam berita bertajuk “Bongkar: Dugaan Korupsi Tunjangan Kerja DPRD Sikka” Edisi 35, Senin, 25 Februari 2019 menunjukkan, kenaikan dana tunjangan perumahan dan transportasi anggota DPRD Sikka tidak berdasarkan hasil survei, melainkan hanya berdasarkan pada “Risalah Rapat Sinkronisasi APBD 2018” antara Pemda dan DPRD Sikka pada 21 Desember 2017.

Menurut risalah rapat tersebut, kenaikan dana tunjangan itu diusulkan oleh Anggota Badan Anggaran (Banggar) DPRD Sikka Agustinus Romualdus Heny.

Rapat kemudian memberi beberapa rekomendasi Banggar DPRD Sikka. Salah satu rekomendasi mereka adalah“sebelum sidang penetapan dimulai, pemerintah diharapkan menunjukkan dua Peraturan Bupati tentang Tunjangan Perumahan dan Transportasi bagi anggota DPRD Sikka dan satu Keputusan Bupati tentang Pemberian Uang Makan Minum Rumah Jabatan Pimpinan DPRD Sikka.”

Selanjutnya, temuan pendahuluan BPK RI menunjukkan, terjadi kelebihan pembayaran dana tunjangan tersebut sebesar Rp3,393 Miliar.

Akan tetapi, hasil audit investigatif BPK menganulasi atau membatalkan kembali temuan pendahuluannya.

BPK pun memberi Opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) terhadap Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) Kabupaten Sikka Tahun Anggaran 2018.

Sekarang, kasus dugaan tindak pidana rasuah ini sedang ditangani oleh Kejaksaan Agung (Kejagung) Republik Indonesia.

Kejagung sudah memeriksa 10 penjabat publik di Kabupaten Sikka.

Mereka adalah Bupati Sikka Fransiskus Roberto Diogo, Ketua DPRD Sikka Gorgonius Nago Bapa, Wakil Ketua DPRD Sikka Merison Botu, Wakil Ketua DPRD Sikka Donatus David, Anggota DPRD Sikka Maria Mayestati, Mantan Bupati Sikka Ansar Rera, Mantan Ketua DPRD Sikka Rafael Raga, Mantan Wakil Ketua DPRD Sikka Stefanus Say, Sekda Valentinus Tupen, dan Kabag Hukum Setda Sikka Emanuel Mabikafola.

TERKINI
BACA JUGA