Maumere, Ekorantt.com – Apakah seni butuh filsafat? Ataukah, filsafat harus masuk pada pranala seni? Atau, seni memang hanya berurusan dengan soal pengkaryaan dan tak perlu mendapatkan perumusan sedemikian rupa. Lalu, bagaimana dengan sejarah seni? Gagasan-gagasan apa yang memungkinkan seseorang bisa membikin karya seni dengan ragam bentuknya?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut hanyalah pengantar untuk menikmati buku berjudul Filsafat Seni karangan Jakob Sumardjo. Di dalam buku terbitan Penerbit ITB (Bandung) tahun 2000 ini, Sumardjo coba menempatkan seni sebagai bagian penting dari kehidupan (kebenaran) manusia yang patut dibicarakan atau dikonsepsikan. Makanya, seni adalah juga lembaga kebenaran itu sendiri, di samping agama, filsafat dan ilmu pengetahuan.
Kebenaran seni atau seni sebagai lembaga kebenaran bergerak pada tataran spiritual/kerohanian ketimbang tataran material/keilmuan. Hal-hal yang ditemukan atau diciptakan para seniman dinamakan sebagai imajinasi kreatif. Rujukannya berkutat pada peristiwa-peristiwa penghayatan.
Namun, seni ternyata bukan hanya soal penghayatan semata. Seni harus punya aspek pemahaman. Dengan kata lain, seni membutuhkan evaluasi. Dan poin ini barulah dikerjakan oleh ilmu seni itu sendiri. Dalam masyarakat zaman Yunani purba, sekitar tahun 500 SM, perkembangan ilmu seni mengikuti penciptaan seni, bahkan penciptaan seni seringkali diilhami oleh berbagai temuan keilmuan dan pemikiran seni.
Di kalangan masyarakat Indonesia sendiri, menurut Sumardjo, tradisi seni hanya menyangkuti soal penciptaan dan penghayatan saja. Hal ini dapat dipahami karena karya seni Indonesia muncul dalam kebudayaan tahap mitis, sampai saatnya bertemu dengan budaya ontologis. Ilmu-ilmu seni di Indonesia baru disadari ketika seni modern muncul.
Lalu, apa kaitannya dengan filsafat seni? Pada bab “Taksonomi ilmu-ilmu seni”, tertuliskan bahwa bagian utama dari ilmu-ilmu seni adalah filsafat seni. Pada mulanya, ilmu ini merupakan bagian dari kajian filsafat spekulatif, namun kemudian mengalami pergeseran yang tertangkup dalam istilah estetika modern atau estetika keilmuan.
Artinya, filsafat (seni) menempati posisi tertinggi daripada rumusan-rumusan lainnya, semisal stilistika/ilmu gaya seni, sosiologi seni, antropologi seni, sejarah seni, perbandingan seni, arkeologi seni dan psikologi seni.
Boleh jadi penempatan itu, tanpa bertendensi untuk menegaskan hirarki, ingin menunjukkan bahwa pemahaman filosofis terhadap seni mesti dilakukan terlebih dahulu sebelum orang terjun pada aspek-aspek lain yang mengitarinya, termasuk ekonomi seni.
Selain itu, pada dasarnya, karya seni tidak selalu diukur dari sisi keindahan (beauty). Kehadiran filsafat seni-lah untuk mempersoalkan materi seni tersebut. Sebab, karya seni mengekspresikan gagasan. Yang mana orang dapat mengajukan pertanyaan, “Apa yang ingin disampaikan karya tersebut atau apa maksudnya?”
Tentang ini, Sumardjo katakan bahwa orang kadang hanyut dalam struktur budaya tanpa bisa melihat budaya itu secara objektif dan akhirnya berusaha memberikan pandangan yang kritis terhadap kebudayaannya. Padahal, pandangan kritis terhadap budaya dan seni justru akan menyebabkan suatu budaya dinamis, hidup, lebih kaya, lebih beragam, lebih banyak kemungkinannya dan alternatifnya.
Oleh karena itu, tugas filsafat seni ialah membahas aspek kreativitas seniman, membahas benda seni itu sendiri, membahas nilai-nilai seni, membahas pengalaman seni atau komunikasi seni, membahas nilai konteks seni, dan terakhir resepsi publik seni.
Buku ini setidaknya dapat menjadi tonggak bagi para pembaca dalam melihat seni secara utuh. Sebagai bagian dari kehidupan manusia, juga sebagai sistem pertukaran gagasan dari benda/karya seni yang terciptakan.