Semakin Mengkhawatirkan
Seperti yang telah dibahas sebelumnya, arah perubahan gerak oligarki pasca reformasi semakin hari semakin mengkhawatirkan. Penetrasi gerakan populis ke dalam percaturan politik bisa dilakukan dengan berbagai bentuk.
Menurut Hadiz, kebangkitan radikalisme Islam yang tak terhindarkan dalam politik Indonesia sangat berkaitan erat dengan kemampuan elite-elite oligarki untuk mengerahkan agen sosial politik Islam demi kepentingan mereka.
Ekspresi identitas Islam radikal yang sejalan dengan interpretasi yang kaku terhadap moralitas Islam yang diperjuangkan oleh FPI dan kelompok-kelompok garis keras lainnya pada dasarnya sengaja dipelihara dan diperbaharui dalam persyaratan politik oligarki saat ini.
Dengan memfasilitasi ekspresi frustrasi masyarakat luas melalui penggunaan leksikon politik yang didominasi agama, elite oligarki Indonesia memastikan bahwa politik Islam Indonesia akan semakin bergerak ke arah yang konservatif.
Lebih dari itu, kita melihat bahwa konservatisme sosial dan politik yang dihasilkan sedang diarusutamakan dengan bantuan elite oligarki yang biasanya tidak dianggap sebagai agen sosial politik Islam.
Kebangkitan ekstremisme agama seperti itu dapat menghadirkan ancaman langsung terhadap tatanan sosial pluralis Indonesia dan demokrasi yang dipuji secara internasional. Di satu sisi, ketakutan semacam itu mewakili kembali kekhawatiran yang lebih tua, yang diungkapkan selama tahun-tahun awal reformasi, bahwa demokrasi akan menghasilkan kekuasaan politik radikalisme Islam, yang seharusnya dapat dijinakkan.
Mengingat tidak adanya tradisi kiri sejak penghancuran Partai Komunis Indonesia (PKI) yang keras pada tahun 1960an hingga hari ini, telah menjadi semakin jelas bahwa benteng yang paling tahan lama melawan politik Islam garis keras nyaris tidak terlihat secara jelas dan tegas.
Masalah bagi demokrasi Indonesia adalah bahwa tekanan-tekanan ini biasanya terjalin dengan kepentingan sosial yang tertanam di dalam aparatus Negara, termasuk militer, yang secara historis lebih mementingkan kontrol sosial daripada perwakilan sosial.
Dalam hal kebijakan, reaksi utama yang dilakukan pemerintah untuk mencegah konservatisme dilakukan dengan mempromosikan simbol-simbol budaya yang terkait dengan nasionalisme Indonesia, yang pada akhirnya justru terjebak dalam gelombang hiper nasionalisme yang membahayakan.
Dinamika politik yang terjadi berkaitan erat dengan kapasitas oligarki Indonesia untuk berubah dalam situasi politik dari waktu ke waktu sebagai strategi adaptasi yang mumpuni. Karena oligarki Indonesia pada saat ini jauh lebih terdesentralisasi daripada pada masa puncak Orde Baru, persaingan di antara faksi-faksinya untuk merebut kekuasaan dan sumber daya telah terjadi lebih kuat melalui lembaga-lembaga pemerintahan yang demokratis.
Keberadaan jaringan oligarki yang terdesentralisasi memungkinkan mereka langsung berdiri bersama akar rumput dalam menggulirkan sebuah isu sehingga mobilisasi agenda moralitas konservatif — baik Islam maupun nasionalis — dapat menjadi fitur yang lebih mengakar.
Bagaimanapun, hingga hari ini, isu moralitas, meskipun terlihat amat semu, tetap saja memiliki potensi yang kuat untuk menghubungkan para elite oligarki yang terpisah dengan basis dukungan sosial yang lebih luas. Glorafikasi moralitas dalam slogan-slogan populis dapat menjadi senjata yang efektif untuk menarik masa rakyat.
Agenda populis dengan basis konservatisme agama dan nasionalisme bukan tanpa masalah. Menurut Hadiz, banyak diskusi tentang kebangkitan populisme di Indonesia dalam Pemilu selalu berusaha untuk “menangguhkan” perbedaan, untuk membawa mereka ke belakang proyek politik tertentu.
Dengan kata lain, ada kecenderungan dalam populisme untuk mengedepankan homogenitas di hadapan heterogenitas sosial yang sebenarnya sedang bertumbuh. Polarisasi yang terbentuk oleh isu-isu sektarian dan rasial selama masa pilpres 2019 menunjukkan hal itu secara gamblang.
Jargon kesamaan nasib akibat pengalaman marginalisasi sistemik sejak zaman kolonial dan “Islam sekarang ditekan” dapat membentuk dasar ideologi populisme, di mana orang-orang yang tertindas dan saleh disandingkan dengan elite yang rakus dan setiap tindakan memperkarakan ulama yang melanggar hukum diproyeksikan sebagai tindakan persekusi untuk menghabisi Islam.
Namun, mengingat ketidakmampuan gerakan populisme Islam di Indonesia dalam menggorganisasikan diri lebih kuat, misalnya, melalui penyediaan manfaat material melalui akses ke layanan sosial, seperti yang terjadi di beberapa bagian Timur Tengah, membuat gerakan ini tidak memiliki kelompok yang kuat dan loyal, sehingga, keberadaan kelompok ini tidak lebih dari sekadar alat untuk menciptakan gimik demi mengejar keuntungan politik yang lebih luas.
Apa yang mungkin kita saksikan secara efektif di Indonesia adalah fase yang lebih baru dari variasi konflik akibat merebaknya populisme agama dan nasionalis yang didukung oleh referensi moralitas Islam atau hiper-nasionalisme yang berkembang dari dominasi oligarki dan mekanisme persaingan intra-oligarki atas kekuasaan dan sumber daya dalam demokrasi Indonesia — sesuatu yang sampai hari ini tidak memiliki obat institusional yang jelas, bahkan, sangat sulit menghadirkan platform politik yang bisa melepaskan diri dari cengkraman oligarki.
Masuknya Kelompok Baru
Kita tentu mengingat sesumbar Partai Solidaritas Indonesia — salah satu partai koalisi Jokowi — soal arah idealisme politik mereka yang ingin terlepas dari longkatan elite lama termasuk oligarki.
Pada akhirnya, kehadiran Sunny Tanuwidjaja dan Jeffrie Geovanie di dewan penasihat partai — keduanya terkait erat dengan aliansi oligarkis — tampaknya menunjukkan bahwa PSI sama seperti partai klientel lama. Mereka sama sekali tidak berbeda.
Geovanie memainkan peran sentral dalam kegiatan PSI. Dia tidak hanya mendanai, tetapi juga “meminjamkan” ruang kantor. PSI mengklaim bahwa mereka bergantung pada sumbangan untuk mendanai operasinya dan telah berjanji untuk menerbitkan laporan keuangan. Namun, laporan seperti itu belum pernah dipublikasikan hingga hari ini.
Banyak kegiatan PSI yang tampaknya mustahil dilakukan hanya melalui crowdfunding. Kegiatan-kegiatan ini termasuk pendirian kantor-kantor baru di semua provinsi, penyelenggaraan pertemuan nasional di tempat-tempat mewah, dan iklan partai serta kader-kadernya di beberapa jenis media. PSI sudah tidak dapat dibedakan dari partai-partai politik Indonesia yang lebih tua.
Target utama PSI adalah kaum milenial. Akan tetapi, arah politik yang mereka mainkan tampaknya hanya melayani kepentingan kelas menengah. Sementara itu, kaum milenial kelas bawah lebih memilih untuk terlibat dengan berbagai kelompok main hakim sendiri yang lebih langsung menangani kebutuhan subsistem mereka.
PSI menargetkan segmen pemuda sebagai basis masa, tetapi justru dengan cara mempertahankan konservatisme dan main hakim sendiri — sebagai ciri permainan oligarki — melalui dukungan kelompok-kelompok seperti GP Ansor. Berharap bahwa PSI akan memberikan alternatif bagi perubahan arah demokrasi dengan melepaskan diri dari cengkraman oligarki tampaknya sangat naif.
Melawan Oligarki

Semua gambaran situasi yang ada menunjukkan bahwa keberadaan oligarki dalam sistem politik terlihat sulit untuk dilawan, tetapi bukan berarti kita dapat membiarkan mereka terus berurat akar dan mencengkram demokrasi. Setidaknya, ada beberapa langkah untuk membatasi arah laju oligarki.
Pertama, memperluas peraturan Pemilu dengan penambahan perspektif, apakah pendanaan partai dengan pembiayaan yang kecil dapat menjadi metode alternatif kontra-oligarki.
Kedua, meskipun dengan pengaruh dan peran yang sangat terbatas, diperlukan keterlibatan CSO, Serikat Buruh, dan aktivis hak asasi manusia dalam struktur politik yang langsung bermain dari dalam.
Ketiga, diperlukan organisasi advokasi berbiaya rendah yang dapat mengubah lanskap politik kontemporer, dengan menarik kegagalan pasar dan kegagalan tata kelola menjadi perhatian publik.
Terakhir, perlu ada upaya dari berbagai pihak untuk membangun kembali basis massa dalam masyarakat sipil dan dilanjutkan dengan merancang prosedur internal untuk memastikan pemilihan kandidat berdasarkan kapasitas, semangat, visi, dan dedikasi, bukan oleh patronasi dan modal keuangan.
- Artikel ini merupakan versi panjang dari naskah artikel Penulis berjudul “Oligarki dan Masalah yang Mengakar dalam Demokrasi Indonesia” yang menjadi salah satu pemenang lomba blog 74 Tahun Indonesia Merdeka di Indonesiana Tempo.
- Penulis adalah Pengajar Pada Prodi Keperawatan Universitas Citra Bangsa Kupang