Papua, Wajah Kekerasan, dan Imajinasi Kita (2/Habis)

Kasus Papua dan Imajinasi Kita

Foto: Sosialispapua.com

Temuan Zizek tentang modus-modus kekerasan dan kolegialitasnya dengan kapitalisme neoliberal juga dapat ditempatkan dalam kasus Papua dan kebangkitan identitas yang kian menggema hari-hari ini. Atensi, empati, dan perhatian kita lebih banyak terkonsentrasi pada kekerasan subjektif seperti sentimen reaksioner, proteksionisme rasial, intoleransi agama, retaknya nasionalisme, rapuhnya loyalitas terhadap Negara, separatisme, konflik horizontal, dan lain sebagainya.

Di Indonesia, kondisi ini dalam satu dan lain hal juga didukung oleh beberapa faktor. Dalam kenyataan, kita umpamanya menemukan bahwa pelbagai institusi di dalam masyarakat,seperti partai politik, pendidikan, media massa, dan jurnalism, dengan satu dan lain cara mereproduksi kesadaran naif. Kerja lembaga pendidikan umpamanya mereproduksi pengetahuan dengan mengensensialkan identitas agama dan suku. Mekanisme sensus penduduk juga memakai kategori distingtual berbasis identitas dalam memantau kondisi demografis kita. Dalam pelbagai kesempatan elektoral, para politisi borjuis secara terang-terangan mengeksploitasi identitas sebagai ideologi politik dalam perebutan kekuasaan (Koli, 2018).

Kekacauan ini menjadi semakin pelik ketika jurnalisme massa pasca-Orde Baru dibajak dan menjadi jejaring pengabdi oligarkis. Sebagaimana ditulis Djalong (developmentdemocracysecurity.org), “mass media has been decisive instrument of oligarchy politics, giving impressions of increasing people’s participation, but concealing the depoliticization of democratic citizenship issues such as equal acces to justice, liberty and equality in multiple fronts of public matter.”

Faktor lain yang juga determinan adalah militeristic approach atau pendekatan keamanan yang dipakai pemerintah untuk mendamaikan konflik-konflik horizontal. Intervensi aparatus militer secara berlebihan telah membenturkan psikologi serta kesempatan kita untuk bergumul dengan kendala-kendala objektif. Akibatnya, kalangan akar rumput selalu melihat persoalan konfliktual seperti itu hanya dalam kontur identitas tanpa pernah membayangkan pertautannya dengan geliat kapitalisme dan oligarki predatoris yang melatarinya.

iklan

Di tengah kegelisahan, kekalutan, dan tekanan itu, niscaya kita membutuhkan suatu kekuatan, tekad, dorongan, dan aksi untuk mampu melampauinya. Kekuatan untuk melampaui ini hanya menjadi mungkin apabila kita mampu membangun imajinasi akan riil.

Imajinasi tidak merujuk pada aktivitas semu berisi fantasi dan ilusi yang mengawang. Imajinasi menandai daya refleksif dan kapasitas dialektika kita untuk senantiasa berkonfrontasi dengan realitas. Imajinasi dengannya merupakan suatu ketekunan filosofis yang tidak akan pernah memberikan jawaban-jawaban final. Imajinasi juga memampukan kita untuk menangguhkan kesimpulan yang terlampau dini sambil berani untuk menerobos, terjun menuju lapisan yang lebih dalam, dan menemukan akarnya. Imajinasi juga memberanikan kita untuk bergerak dari milieu ketaatan prudensial akan hukum menuju kepada penemuan jawaban yang jauh lebih radikal dan komprehensif. Dengan menghidupi imajinasi, kita mampu menyadari watak dialektis dari usaha penemuan diri manusia yang tidak tunduk dan terpenjara dalam suatu jawaban tunggal.

Kebutuhan yang sama juga perlu kita dudukkan dalam memotret masalah Papua. Penelusuran imajinatif kita seharusnya sampai pada kekerasan objektif berisi beban-beban struktural yang secara inheren menjadi faktor dominan di balik luapan emosi serta respon anarkis masyarakat Papua.

Apabila kita memeriksa kendala-kendala struktural tersebut, kita akan berjumpa dengan penampakan riil kekerasan yang jauh lebih menarik sekaligus menikung tajam sentimen kemanusiaan kita. Ada cerita tentang keterasingan, marjinalisasi, dan depolitisasi masyarakat Papua yang selama ini dibiarkan. Ada cerita tentang konsentrasi kekayaan pada segelintir kelompok elite tertentu yang berhasil mengamankan pundi-pundi hasil mencuri dari tanah Papua yang kaya. Ada cerita tentang kerinduan dan aspirasi masyarakat Papua yang tak diperhatikan pemerintah. Ada cerita tentang agresivitas aparatus militer kita yang membungkam nalar dan asa masyarakat Papua akan hidup dan berkeadilan. Ada narasi tentang pembangunan yang menganaktirikan masyarakat Papua dan lebih banyak lagi.

Dengan menghidupkan imajinasi kita akan penampakan yang riil, kita pun sadar bahwa pelbagai segi kehidupan kita sebenarnya bertalian erat dengan bentuk-bentuk subtil kekerasan objektif tersebut. Di banyak tempat, kita menyaksikan manusia-manusia Indonesia yang semakin sulit mendapatkan pekerjaan dan terjajah di tanahnya sendiri. Ada juga kisah tentang segelintir kecil kelompok yang mampu memanfaatkan bonus demografi kita untuk meraup profit. Ada narasi tentang kedigdayaan oligarki dan kesenjangan sosial yang akut di sana. Ada narasi tentang keputusasaan. Ada cerita tentang manusia-manusia Indonesia yang kehilangan hak-hak sosial, ekonomi, dan politik. 

Akhirulkalam, kita tahu bahwa kebencian, amarah, dan kekerasan hanya akan terjadi ketika kita tidak lagi mampu berimajinasi, berpikir, dan berefleksi. Dengan demikian, kita tak perlu tenggelam dalam simpati berwatak sentimentalis dan ultranasionalis untuk peduli dengan masalah di Papua. Kita hanya perlu menjadi subjek radikal yang mampu berdialektika, mendiseminasi akar masalah, dan merekomendasikan solusi yang tepat.

*Ketua Lembaga Pers Mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero

Daftar Rujukan

Djalong, Vicky. “Media and religion in the service of oligarchy”. democracydevelopmentandsecurity. Org, diakses pada Oktober 2017.

Greene, Graham. The Power and the Glory. Harmondsworth: Penguin, 1971.

Koli, Doni.  “Oligarki Dalam Kerangka Analisis Subyek Zizekian dan Populisme Kiri Sebagai Opsi Solutif Dekonstruksi Oligarki di Indonesia.” islambergerak.com, 16 November 2018

Zizek, Slavoj. “Slavoj Zizek: Political correctness solidifies hatred, it doesn’t”. https://youtu.be/oozLotGygso, diakses pada Maret 2019.

Zizek, Slavoj. The Universal Exception: Selected Writings. Eds. Rex butler and Scott Stephens. London and New York: Continuum, 2006.

Zizek, Slavoj. Violence. New York: Picador, 2008.

spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
TERKINI
BACA JUGA