Membasuh Kaki Orang Miskin

Oleh: Rio Nanto*

Perayaan Paskah tahun ini begitu sepi. Beranda-beranda gereja yang biasanya dipenuhi dengan kursi, tampak sunyi. Tak ada dekorasi kain dan bunga di altar.

Para Misdinar dan semua petugas liturgi tidak lagi hiruk pikuk ke gereja untuk melakukan latihan upacara seperti sediakala. Umat merayakan Paskah di rumah. Semua umat beriman ‘menyingkir’ dari keramaian untuk mencari kenyamanan.

Paskah dirayakan dalam kesepian. Para pemimpin agama mengeluh sepi karena tak ada umat yang hadir di gereja, umat pun demikian sebab tidak merayakan Paskah di gereja. Pengalaman ini menimbulkan kegalauan sebab Natal dan Paskah adalah perayaan besar dalam Gereja Katolik.

Sebagian kecil umat terkadang tidak merasa bersalah apabila tidak mengikuti perayaan misa hari minggu. Tetapi akan terasa berbeda jika tidak merayakan misa di gereja ketika Natal dan Paskah. Maka tak heran gereja tampak sesak di hari Natal dan Paskah tetapi begitu kembali sepi di hari-hari minggu biasa.

Dalam situasi ini, pihak gereja menggandeng Komsos dan beberapa stasiun TV untuk menyiarkan misa online. Gereja mengapresiasi dan memanfaatkan perkembangan teknologi untuk menyebarluaskan kabar sukacita injil.

Walaupun hubungan antara gereja dan media komunikasi sepanjang sejarah selalu bersifat dinamis, naik dan turun dan memiliki sisi buram dan benderang. Tetapi dalam dasawarsa terakhir dan terutama dalam hari-hari ini, gereja jelas menunjukkan sikap bersahabat dan merangkul internet masuk gereja.

Pemanfaatan internet untuk penyebarluasan Kabar Gembira sudah antisipasi oleh Bapa Suci Benediktus XVI dalam Surat Apostoliknya di hari Komunikasi Sedunia ke-44 pada 16 Mei 2010 yang lalu. Di tengah perkembangan komunikasi digital dengan daya ekspresi yang nyaris tak terbatas mendorong kita untuk mengakui apa yang disampaikan oleh St. Paulus: “Celakalah aku jika tidak mewartakan injil (1 Kor, 9:16).

Kemudahan mendapatkan teknologi baru yang kian berkembang menuntut tanggung jawab yang lebih besar dari orang-orang yang terpanggil untuk mewartakan injil serta termotivasi, terarah dan efisien menunaikan tugas-tugas mereka (Agus Duka, 2017:162).

Hari-hari ini, gereja memanfaatkan internet untuk menyebarluaskan warta sukacita dan memberikan berkat kepada umat. Dalam situasi ini, sekelompok umat begitu tertekan karena tidak menerima komuni kudus dan merasa ada sesuatu yang ‘kurang’ karena merayakan misa di depan layar handphone.

Jika hari-hari sebelumnya, handphone digunakan untuk menonton berita, menyaksikan gosip perselingkuhan artis, mengomentari pakaian baru atau pasangan baru yang bermesra di media sosial atau melakukan video call dengan teman-teman.

Ketika tidak ada perayaaan di Gereja, semua orang mengikuti misa melalui HP atau TV dan mereka tampak hormat dan sopan di depan HP. Ada sejumlah orang yang menyimpan HP di dekat patung dan berdoa dengan penuh rasa hormat sambil memohon ampun atas dosa-dosa.

Situasi ini memang cukup aneh, tetapi tak ada cara lain untuk merayakan misa. Ada beberapa umat yang mengeluh dan marah karena tidak merayakan misa di gereja, tetapi dalam situasi tertentu mereka seringkali online saat misa di gereja.

Ada umat yang marah ketika mengikuti misa online tetapi ketika merayakan misa di gereja, mereka yang sering membuat siaran langsung atau online di tengah perayaan.

Kita semua mengamini bahwa memang misa online bukanlah sebuah model bergereja di era digital. Realitas sakramental dalam gereja yang membutuhkan kehadiran dan menggunakan simbol tak bisa digantikan dengan realitas virtual seperti tampak dalam misa online.

Semua ini tampak berubah ketika Covid-19 menjadi mesin produksi kematian yang menakutkan. Per 9 April 2020, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) melaporkan lebih dari 1,3 juta kasus COVID-19 dan sedikitnya 79.000 kematian di 212 negara dan teritorial.

Penyebaran Covid 19 yang begitu cepat melalui sentuhan, membuat pemerintah menyerukan agar setiap warga berdiam diri di rumah dan menghindari kerumuman massa dalam jangka waktu yang tidak ditentukan.

Tentunya ajakan untuk berdiam di rumah menjadi suatu kegembiraan bagi sekelompok orang yang berasal dari kelas ekonomi menengah ke atas. Mereka akan tetap santai bersama keluarga setiap hari dengan kebutuhan makanan yang berkecukupan. Mereka tidak perlu bekerja sebab sudah pasti mendapat gaji tetap setiap bulan ditambah lagi dengan tunjangan-tunjangan.

Berkaitan dengan hal ini, saya sependapat dengan gagasan Saprillah, Kepala Balai Litbang Makasar yang melihat Covid-19 dalam relasi ekonomi Marxis antara kelas menengah ke atas dan kelas bawah. 

Menurutnya, Covid-19 adalah penyakit kelas menengah. Yang tertular pertama kali Covid-19 adalah pasangan yang mengikuti kegiatan internasional. Virus ini menyebar melalui relasi internasional kelompok elit. Atau, paling tidak, adalah mereka yang telah pulang dari perjalanan internasional seperti travelling, tugas dinas, dan lain-lain. Pasien-pasien awal bertipikal ini.

Ketika Covid 19 merebak luas, Mall-mall ditutup, tempat hiburan malam diliburkan dan agen pariwisata internasional terpaksa menutup kantornya. Mereka akan mengalami kerugian besar jika tetap membuka layanan bisnis tersebut.

Mereka akan kesulitan untuk menanggung beban operasional tanpa dibarengi pemasukan. Pilihan tutup adalah pilihan sangat rasional. Kalau kita melihat bahwa pemakai jasa itu adalah golongan kelas menengah ke atas.

Dalam situasi ini, segenap kelompok kelas menengah memborong barang-barang kebutuhan dan menumpukkannya di rumah sebagai cadangan makanan. Ketika cadangan makanan sudah penuh untuk beberapa waktu, kelompok kelas menengah berswafoto di media sosial untuk mengajak semua orang agar berdiam di rumah dan menjaga jarak.

Lalu bagaimana dengan masyarakat kelas bawah? Sebenarnya, ajakan menjaga jarak dan kerawanan ekonomi sudah sangat sering dialami oleh masyarakat kelas bawah. Ketika sakit, masyarakat miskin memilih untuk merebus air atau mencari keringat dengan membajak sawah, mencari kayu di hutan atau mengumpulkan batu di sungai. Mereka tidak memiliki uang yang cukup untuk membeli kesehatan di rumah sakit.

Sudah sejak lama masyarakat kelas menengah menjaga jarak dengan masyarakat miskin. Paling-paling mereka akan mengunjungi rakyat untuk mendulang simpati kalau ada pemilu. Setelah itu, butuh waktu lima tahun lagi untuk datang kembali. Rakyat kecil sudah terbiasa “dijaraki” oleh kelompok elit.

Di tengah pandemi Covid-19, betapa beruntung masyarakat elit yang berdiam diri di rumah dan mendapatkan tunjangan dari pemerintah, sementara masyarakat kecil yang tak punya penghasilan tetap setiap hari akan mengalami kematian bukan karena Covid-19 tetapi karena kelaparan.

Masyarakat kecil membanting tulang untuk mencari sesuap nasi demi makan sehari saja. Nah, jika pemerintah melarang mereka untuk bekerja sehari, apa yang harus mereka makan?

Dalam situasi mencekam ini, seruan #mencucitangan saja bukanlah jalan yang terbaik. Mencuci tangan hanya menjaga kesehatan diri tetapi lupa akan sesama yang lain.

Dalam tragedi penyaliban Yesus, ketika kaum Farisi membawa Yesus ke hadapan Pilatus, dia tidak menemukan kesalahan apa-apa untuk menghukum Yesus. Karena takut kehilangan kehormatan, Pilatus membasuh tangannya. Mencuci tangan adalah tanda ketakutan, egoisme dan mementingkan diri sendiri.

Di tengah situasi ini, sebagai sesama kaum kristiani marilah kita seperti belajar dari Yesus untuk membasuh kaki satu sama lain. Kaki adalah salah satu anggota tubuh yang penting agar kita bisa berjalan.

Covid-19 telah melumpuhkan kaki orang-orang kecil dan miskin. Orang-orang yang tak punya penghasilan pasti.

Kemungkinan mereka tidak sakit karena Covid-19 tetapi karena kaki mereka tak bisa berbuat apa-apa sebab pemerintah sudah melarang agar tidak boleh keluar rumah. Jangankan membeli masker atau hand sanitizer, membeli beras untuk sehari pun, mereka membanting tulang setengah mati.

Di hari-hari Paskah ini, marilah kita tidak hanya menyerukan “Menjaga jarak”,Berdiam diri dirumah”, tetapi “Basuhlah kaki orang miskin” agar mereka bisa berjalan.

Kita tidak membasuh kaki mereka agar mereka mampu berjalan di jalan raya tetapi berjalan melanjutkan hidup walaupun mereka berdiam diri di rumah.

Berkaitan dengan hal ini, para pemimpin agama diharapkan tidak hanya membagikan waktu livestreaming misa dengan nomor rekening untuk kolekte online, tetapi juga mengajak sesama umat beriman agar saling berbagi. Itu mengandaikan jika gereja lebih dahulu memberi dan bukan hanya meminta.

Bisakah kita bergandengan tangan membasuh kaki orang-orang miskin di sekitar kita?

*Anggota Kelompok Menulis di Koran dan Diskusi Filsafat Ledalero

spot_img
spot_img
TERKINI
BACA JUGA