Ketundukan Historis Kaum Perempuan (Di Rumah Bersama Friedrich Engels)

Oleh: Bernardus T. Beding*

Walaupun penyebaran virus corona menjadi topik populer menghiasi barisan media massa, topik pembicaraan dan pembahasan manusia mengenai feminisme dan kiprah kaum perempuan dalam dunia global tidak pernah tergerus dari peradaban. Bahkan, tidak pernah absen diperbincangkan pada zaman ini.

Argumentasi mengenai feminisme, mulai dari yang bertendensi euphoria hingga fenomena renaissance feminism, mengantar orang kepada suatu kesadaran bahwa telah terjadi permarjinalisasian peran perempuan dalam kancah kehidupan universal.

Perempuan digambarkan sebagai makhluk yang teralienasi dari kehidupannya sendiri. Ia menjadi objek kearogansian maskulinisme. Ia dipinggirkan menjadi kelompok periferi yang hanya pantas menyandang predikat “The Second Sex”. Artinya, wanita diidentikkan dengan alam yang melahirkan dan harus tunduk kepada manusia (man), yang telah ditakdirkan Tuhan menjadi “The Lawer of Nature”.

Sebuah contoh tudingan akan adanya ideologi steriotipe seksual tersebut tampak dalam sanggahan yang dialamatkan kepada dikotomi atau rangkaian oposisi atas diferensiasi laki-laki dan perempuan laki-laki sering diasosiasikan sebagai ‘atas’, ‘kanan’, ‘tinggi’, ‘budaya’, dan ‘kekuatan’; sedangkan perempuan diakrabkan dengan ‘bawah’, ‘kiri’, ‘rendah’, ‘alam’, dan ‘lemah’.

iklan

Friedrich Engels, seorang pemikir evolusioner abad ke-19 mencoba untuk membuat suatu analisis historis evolutif terhadap realitas keterpurukan konsepsi tentang perempuan. Indikator pendekatan yang dipakai Engels sebagai basis untuk melihat permasalahan ini, yakni sistem pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin, sifat hubungan keakraban, dan perkembangan historis keluarga.

Dalam bukunya, The Origin of Family, Private Property and The State (1884), Engels menggunakan hasil-hasil penelitian antropologis dari Lewis Henry Morgan untuk menelurkan pendapatnya tentang latar belakang dan asal usul subordinasi kaum perempuan, dalam kaitannya dengan sejarah keluarga, perkembangan kepemilikan pribadi, dan munculnya negara.

Secara tersirat, ketiga aspek tersebut saling berhubungan yang dikonsepkan sebagai sumber historis kekalahan kaum perempuan. Istilah kekalahan menurut Engels dapat diartikan pada aspek ketundukan kaum perempuan sebagai the second sex terhadap laki-laki sebagai the lawer of nature.

Menurut Engels, ‘ketundukan kaum perempuan’ di dunia terjadi ketika sistem perkawinan poligami diganti dengan sistem monogami, selain orang mulai meninggalkan sistem kepemilikan barang secara kolektif dan beralih kepada sistem privatisasi kekayaan merupakan ‘benih’ kekalahan historis kaum perempuan yang secara konteks budaya dipandang sebagai wujud “ketundukan” kaum perempuan.

Sebelum terjadinya perubahan paradigma kepemilikan barang dan sistem perkawinan ini, relasi antarjenis kelamin bersifat sejajar (egalita) dan saling melengkapi. Sistem pembagian kerja masih bersifat alamiah.

Kaum laki-laki berperang, berburuh, menangkap ikan, mencari bahan baku untuk makanan, dan menyediakan alat-alat yang diperlukan untuk keperluan ini. Sementara itu, kaum perempuan bertugas mengurus rumah, memasak dan menyiapkan makan, menyiapkan pakaian, menenun, dan menjahit.

Sistem perkawinan (rumah tangga) pada fase ini bersifat ‘paguyupan’, ataupun yang apa pun yang dilakukan dan digunakan adalah milik bersama: rumah, kebun, hasil kerja.

Situasi egalita tersebut berubah, ketika mulai ada usaha penjinakan binatang dan perkembangan pertanian. Hal ini memungkinkan adanya keharusan untuk mengontrol harta produktif.

Harta produktif berupa segala kepemilikan yang bersifat individual itu dipusatkan di tangan kaum laki-laki sebagai akibat dari pembagian kerja ‘alami’. Kemudian, kaki-laki mewariskan harta yang telah mereka akumulasikan itu kepada keturunan genetiknya.

Hal ini mengakibatkan tugas atau kerja kaum laki-laki dipandang sebagai suatu yang lebih tinggi dibandingkan dengan tugas-tugas kaum perempuan. Kaum perempuan mulai diarahkan untuk ‘membaktikan diri’ atau menyokong kaum laki-laki dalam keberhasilan tugas kerjanya.

Situasi ini yang oleh Engels, telah mengkondisikan subordinasi peran perempuan dan superioritas kedudukan, serta status sosial laki-laki.

Pandangan Engels ini diadopsi oleh kaum Marxis menjadi dasar dari pandangan mereka tentang masyarakat tanpa kelas. Pandangan ini tentu saja sangat terbuka bagi suatu perdebatan dan interpretasi.

Secara khusus, dalam pandangan di atas, kita dapat melihat tempat perempuan dalam kaca mata Engels. Ternyata, sistem ‘pembagian kerja alamiah’ yang dikemukakan Engels masih menyiratkan kembali suatu paradigma dikotomi laki-laki dan perempuan. Laki-laki menjalankan tugas produktif, sedangkan perempuan menjalankan tugas domestik.

Engels juga melihat perempuan sebagai pihak yang tidak mampu mewariskan ‘kekayaannya’ kepada keturunannya. Selanjutnya, pandangan Engels ini secara implisit telah mengafirmasi ketidakberdayaan atau ketidakmampuan perempuan untuk keluar dari situasi ‘ketundukan historis’ tersebut. Selain itu, kita juga masih bisa mempertanyakan keabsahan historis empiris dari pandangan Engels tersebut.

Meskipun demikian, kontribusi terbesar Engels adalah bahwa ia telah berusaha menggali akar ketidakstabilan gender. Dalam deskripsinya mengenai situasi sebelum ‘ketundukan historis perempuan’, Engels secara eksplisit mengidealkan ‘keadaan damai’ di mana terdapat suatu relasi sejajar keterbukaan untuk saling melengkapi antara laki-laki dan perempuan.

‘Ketundukan historis perempuan’ yang dimaksudkan oleh Engels ini sebenarnya merupakan wujud kekalahan yang tidak perlu terjadi apabila ada kesadaran untuk saling menghargai kesejajaran relasi laki-laki dan perempuan.

Sesungguhnya, laki-laki dan perempuan sama-sama memiliki kekurangan maupun kelebihan yang dapat dijadikan alasan bagi keduanya untuk saling melengkapi. Artinya bahwa ketika kita berbicara tentang perempuan, sama saja kita berbicara tentang kemajuan laki-laki karena keduanya bukanlah makhuk untuk dibedayakan, dibandingkan, dikategorikan, dan diklasifikasikan.

Kedunya dihadirkan di dunia sebagai manusia yang saling melengkapi, saling memberi, dan saling menerima.

Kemajuan dari suatu bangsa dan negara adalah kemajuan dari manusia yang terdiri dari laki-laki dan perempuan. Hal ini berarti perjuangan ke depan bukanlah perjuangan laki-laki dan perempuan, tetapi perjuangan manusia yang terdiri dari laki-laki dan perempuan. Apabila pernyataan ini menjadi landasan pijak, maka tidak perlu lagi mempersoalkan manusia itu sendiri.

*Pegiat Literasi dan Pendidik di Prodi PBSI UNIKA Santu Paulus Ruteng

spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
TERKINI
BACA JUGA