Labuan Bajo, Ekorantt.com – “Pana Pai Gawe Gere (selamat datang, mari silahkan masuk),” begitu kalimat yang tertulis pada sebuah kayu papan lapuk saat memasuki salah satu rumah di kawasan Batu Cermin, Labuan Bajo. Papan kayu itu dilubangi di dua sisi. Kemudian digantungkan dengan tali ijuk. Rumah itu sangat sederhana. Minimalis. Sejuk. Cocok untuk bersantai. Sembari menghilangkan kepenatan seharian.
“Selamat datang mari silahkan masuk,” sahut pria paruh baya itu saat disambangi Ekora NTT.
Rambutnya keriting. Panjang. Lalu diikat. Namanya, Agus Puka. Orangnya aktif. Wawasannya luas. Itulah yang tersirat dari pria asal Hokeng, Kabupaten Flores Timur ini.
Agus seorang pramuwisata alias tour guide. Sudah 31 tahun lamanya. Baginya, profesi sebagai pramuwisata adalah panggilan hidup. Ia bangga. Asap dapur terus mengepul. Kebutuhan rumah tangga terjamin. Begitu juga biaya pendidikan anak. Semuanya beres.
“Asyik ya jadi seorang guide. Modal bicara saja kita bisa dapat uang,” katanya.
Situasi mulai berubah. Kabar wabah Covid-19 mulai terdengar di akhir 2019 silam. Awalnya Agus tidak panik. Sebab, ia berpikir, Covid masih nun jauh di sana. Namun, keadaan justru tak terkendali.
Maret 2020 wabah corona mulai tak terbendung. Korban jiwa di mana-mana. Banyak wisatawan batal ke Labuan Bajo. Agus mencoba bertahan. Sayang, dompet kian menipis. Ia banting setir.
Semangatnya nyaris sirna. Beruntung ada kawan. Ia dapat tawaran untuk bekerja di salah satu proyek bangunan. Agus masih ada harapan. Tidak ada pilihan baginya. Walau sulit tetapi harus memulainya. Ini bukan lagi soal mulut, tetapi pertaruhan otot.
“Saya sangat sedih. Saya mendapat upah Rp90.000 per hari. Saya sungguh melewati hari-hari yang sulit,” kenang Agus sembari meneteskan air mata.
Agus perlahan mulai terbiasa dengan pekerjaan itu. Ia habiskan waktu selama 27 hari lamanya. Bila tidak, putranya yang tengah mengenyam pendidikan tinggi teracam gagal. Begitu pula kehidupan rumah tangganya. Pasti akan sulit.
Kontrak kerja pun selesai. Agus kembali putar otak. Upah yang ia dapat sebagian dikirim untuk sang istri dan anak yang sedang berada di Mataram, Nusa Tenggara Barat. Di Mataram Agus memang punya rumah. Tetapi selama pandemi, ia belum bisa pulang. Uangnya tak cukup.
“Kangen dengan istri dan anak. Tapi saya harus kerja dulu biar bisa pulang,” ujarnya.
Agus memulai usaha menjadi penjual kopi keliling yang ia namai Kopi Tuk (kopi tumbuk). Ia sisihkan sebagian penghasilannya untuk usahanya yang baru itu. Satu unit motor revo miliknya dimodifikasi dengan peralatan seadanya. Biar aman saat menjajakan kopi.

Berjualan di Bukit Silvia
Setiap sore hari, Agus Puka mulai menjajakan Kopi Tuk di Bukit Silvia, Labuan Bajo. Bukit ini sangat eksotis dan ramai di kunjungi warga Labuan Bajo. Soal racik, itu filing. Para penikmat akan memberikan kesan berbeda-beda. Agus puas. Tak ada pelanggan yang berceloteh dengan kopi buatannya.
“Selama ini banyak yang suka dengan kopi buatan saya. Ini hal yang luar biasa. Saya senang kalau lihat pelanggan menikmati kopi,” katanya.
Agus berujar, ada empat jenis kopi yang ia jajakan yakni robusta Flores, arabika Ruteng, arabika Bajawa, dan blend Flores. Segelas kopi dibanderol dengan harga 10 ribu rupiah.
Sebagian besar konsumen, kata Agus, lebih menyukai blend Flores. Racikan kopi ini merupakan perpaduan antara arabika Flores dan arabika Bajawa. Ataupun sebaliknya.
“Kebanyakan para pemberli sukanya blend Flores. Itu yang cepat laku. Sehari kalau ramai bisa dapat 300 ribu rupiah. Paling rendah Rp100 ribu-Rp150 ribu. Ini sangat lumayan. Intinya halal,” beber Agus.
Seketika, hasil jualannya mencapai 600 ribu rupiah. Ia menangis. Terharu. Bangga. Sebab selama pandemi Covid-19, ia bisa melihat dan mendapat uang sebanyak itu. Semangatnya pun terus tumbuh.
Agus tidak malu bekerja sebagai penjual kopi tuk. Yang terpenting baginya halal. Artinya mendapatkan uang tidak dengan cara mencuri.
“Saya melihat bahwa kebanyakan orang kita (Flores) kurang percaya diri dengan pekerjaan seperti itu,” katanya.
Agus mengaku, penghasilan didapati saat ini sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan rumah tangganya termasuk membiayai pendidikan buah hati. Baginya pandemi adalah tantangan dan ujian. Ia pun berharap badai cepat belalu.
Sandy Hayon