Labuan Bajo, Ekorantt.com – Uskup Ruteng, Mgr. Siprianus Hormat menyurati presiden Joko Widodo perihal kelanjutan proyek panas bumi (geothermal) Wae Sano, Kecamatan Sano Nggoang, Kabupaten Manggarai Barat (Mabar) NTT, Sabtu (29/5/2021). Menurut Uskup Sipri surat tersebut berdasarkan dialog dan kerja sama intensif antara pihak pemerintah, gereja Katolik dan masyarakat Wae Sano.
Dalam surat bernomor 154/II.1/V/2021 itu, Keuskupan Ruteng mengapresiasi Presiden Jokowi yang telah menanggapi secara sungguh problematika sosial yang timbul dari rencana proyek geothermal Wae Sano, seperti yang terungkap dalam surat pada tanggal 9 Juni 2020 silam.
Melalui Dirjen EBTK, Pemerintah telah mengadakan MoU dengan Keuskupan Ruteng pada 2 Oktober 2020 untuk mencari solusi komprehensif atas persoalan sosial yang muncul dari proyek tersebut.
“Kami mengapresiasi pemerintah yang melibatkan para pihak termasuk Gereja Katolik dalam perjuangan bersama untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat,” demikian isi surat itu.
“Hal ini kayanya menjadi pola kerja sama ke depan, karena pemerintah dan gereja sesungguhnya memiliki tanggung jawab bersama untuk melayani manusia yang sama (warga atau umat),”
Menurut Uskup Sipri, pemerintah melalui Tim Bersama Pengelolaan Sosial Proyek Panas Bumi Wae Sano telah melakukan berbagai kegiatan sosialisasi (pencerahan) intensif maupun dialog yang transparan dengan berbagai elemen dalam Gereja Katolik dan dengan masyarakat Wae Sano.
Pihak Keuskupan Ruteng memahami dan dapat menerima penjelasan dari pihak pemerintah tentang persoalan yang menjadi keprihatinan masyarakat Wae Sano.
Pihaknya kata Uskup Sipri, mengapresiasi jaminan pemerintah atas keamanan proyek geothermal tersebut, eksistensi kampung dan situs adat (tak ada relokasi permanen), pembentukan lembaga mekanisme pengaduan masyarakat, serta komitmen untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Wae Sano dan mengembangkan kehidupan ekonomi kawasan tersebut (Livelihood Restoration Program/Benefit Sharing Program).
Dijelaskan, berdasarkan identifikasi dan kajian isu strategis, Tim Bersama Pengelolaan Sosial telah merekomendasikan titik bor alternatif (Welipad A) dan akses jalan masuk alternatif (melingkari danau) untuk mengurangi risiko sosial dari proyek geothermal tersebut sekaligus membuka isolasi wilayah serta meningkatkan potensi ekonomi dan pariwisatanya.
Selain itu dalam dialog intensif dengan warga terungkap pentingnya integrasi proyek panas bumi dengan berbagai kegiatan community development (CDP) dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat Wae Sano di bidang pertanian melalui penyediaan lahan pertanian berkelanjutan.
Hal itu dilakukan berupa pembebasan hutan produksi, pariwisata (ekowisata), pendidikan (fasilitas dan beasiswa), kesehatan, kesempatan kerja (tenaga lokal untuk proyek), dan bantuan modal usaha.
Sejalan dengan itu, Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat melalui Bupati Editasius Endy, dan Wakil Bupati, Yulianus Weng, terlibat proaktif dan kreatif melalui dialog dengan warga Wae Sano dalam mengupayakan pembangunan geothermal yang menjamin keselamatan hidup dan ruang hidup warga, serta memberikan manfaat sebesar besarnya bagi kesejahteraan masyarakat di wilayah ini.
Atas pertimbangan itu, pihaknya, lanjut Uskup Sipri, merekomendasikan tindak lanjut proses proyek geothermal Wae Sano untuk menyediakan energi listrik terbarukan yang ramah lingkungan demi kemajuan bangsa dan wilayah Manggarai Barat.
Gereja Tidak Konsisten
Yosef Erwin, warga Nunang, Desa Wae Sano menegaskan, jika ada asumsi atau pun penilaian publik bahwa masyarakat Wae Sano diam untuk menolak geothermal, itu sangat salah. Sebab, pada kunjungan terakhir Bupati Edistasius Endi bersama pihak perusahaan, ibu-ibu dan masyarakat masih melakukan penolakan.
Selama ini, kata dia, pihaknya tidak melakukan aksi yang frontal, tetapi mengikuti setiap proses dan isu yang berkembang. Bukan berarti sikap mereka berubah. Kalau ada satu dua orang yang berubah, itu hak mereka. Selama masih ada yang di sini, pihaknya tetap konsisten dengan sikap awal menolak geothermal Wae Sano.
“Kunjungan bupati tanggal 22 Mei 2021 pemantauan titik geothermal, waktu itu ada ibu-ibu dan masyarakat teriak-teriak hadang bupati. Kalau ada kesimpulan masyarakat sudah setuju, itu kebohongan. Saya berani menyatakan, masyarakat masih menolak, saya berani mempertanggungjawabkan itu,” tegasnya.
Terkait Surat Uskup Ruteng, Erwin tidak mempersoalkannya. Ia menilai surat itu berdasarkan laporan kegiatan dari tim komite bersama keuskupan dan pemerintah, dan bukan keputusan bahwa geothermal akan jadi.
“Itu laporan bahwa mereka sudah melakukan kegiatan dan poin-poin yang ada di dalamnya itu ialah menurut mereka. Faktanya, tanggal 22 masyarakat masih tetap melakukan penolakan. Penilaian bahwa warga sudah diam dan tidak menolak, itu tidak adil,” ujarnya.
Erwin menilai sikap gereja keuskupan Ruteng sangat tidak konsisten. Sebab sejak awal Keuskupan Ruteng telah menyurati Presiden Jokowi untuk menghentikan eksplorasi geothermal Wae Sano. Tetapi kemudian ada lobi-lobi, mereka bekerja sama dengan pemerintah dengan niat agar proyek geothermal Wae Sano tetap jadi, dan diikuti surat bahwa sikap warga biasa-biasa saja.
“Saya berani mengatakan bahwa Gereja Keuskupan Ruteng sangat tidak konsisten pada saat ini. Saya pikir sikap gereja tidak pas lagi. Bukankah seorang gembala ketika seekor dombanya hilang, meninggalkan 99 harus pergi mencari yang satu ekor. Bukankah duka umat adalah duka gereja?,” pungkasnya.
“Lalu, ada penilaian yang sangat ekstrim. Ketika lembaga-lembaga yang selama ini mendampingi masyarakat, seperti JPIC, OFM, dan SVD dinilai sebagai provokator. Saya pikir ini tidak adil. Bukankah lembaga-lembaga ini sendang menjalankan misi menyelamatkan keutuhan ciptaan Tuhan?,” tambahnya.
Warga lain, Herman Hemat (70) juga mempertanyakan sikap gereja Katolik Keuskupan Ruteng yang dengan mudah mendukung geothermal. Semestinya gereja lanjut Hemat, tidak boleh berjalan sendiri. Karena, keberadaan gereja di tanah Nunang, dahulu diserahkan oleh fungsionaris adat yang ada di wilayah itu.
“Saya tidak tahu atas dasar apa yang pada awalnya mereka bilang yang ada di dalam alkitab, kita ini harus menjaga keutuhan ciptaan Tuhan. Itu ajarannya. Apakah dengan geothermal ini bor yang dalamnya sampai ribuan meter, bukankah itu merusak ciptaan Tuhan?,” ujarnya.
Pihaknya tetap konsisten untuk menolak geothermal Wae Sano.
Valentinus Emang (55), warga Nunang, mengatakan, wilayah tersebut sangat cocok untuk mengembangkan potensi wisata. “Tetapi kalau pariwisata digandengkan dengan geothermal, saya sangat tidak setuju,” tegasnya.
Valentinus menginginkan hidup aman dan tidak mau dan diganggu oleh orang lain. Ia bahkan menegaskan tidak menginginkan orang lain datang untuk membujuk agar mendukung geothermal.
“Kalau hanya pariwisata yang diprogam pemerintah, yang terpenting tidak mengganggu saya. Tetapi kalau geothermal yang diutamakan oleh pemerintah, saya otomatis tolak. Sampe saya mati,” tegasnya.
Sebelumnya, Sabtu (22/5/2021), Bupati Manggarai Barat (Mabar) Edistasius Endi memantau titik pengeboran proyek geothermal di Wae Sano,
Bupati Edi Endi didampingi Ketua DPRD Martinus Mitar, Romo Vikep Labuan Bajo, Rikardus Manggu, staf Kementrian SDM dan pihak perusahaan, Mantan Kepala Desa Wae Sano, Yosep Subur.
Saat memantau salah satu titik di Kampung Nunang, Edi Endi tiba-tiba didatangi sekelompok ibu-ibu. Tampak seorang ibu yang mengenakan sarung merah, memegang tangan Bupati Edi sembari meminta tolong. Sementara beberapa di antaranya berteriak tolak.
“Bagaimana nasib kami kalau proyek ini jadi. Titik-titiknya ada di sekitar rumah kami,” mohon seorang ibu kepada Bupati Edi.
“Kami tidak terima titik ini. Tolak. Tolak. Kami tolak. Kami tidak terima titik ini. Kami tidak setuju. Kami ada listrik” teriak ibu-ibu yang lain.
Sementara itu, Bupati Edi Endi merespons aksi yang dilakukan ibu-ibu itu. “Dengar dulu mau selesai atau tidak kamu punya masalah. Ia kamu diam,” ujarnya sembari mengingatkan para ibu-ibu dengan nada tinggi.
“Mau selesai tidak ini masalah. Dengar dulu. Saya kan sudah bilang termasuk saya, saya tidak tahu di mana titiknya. Begitu. Supaya clear,” tambah politisi NasDem itu.
Sandy Hayon