Borong, Ekorantt.com – Beberapa anak khusyuk membaca. Beberapa lainnya terlihat sedang mencari buku di rak yang terbuat dari papan kayu. Di dalam ruang sederhana berukuran sekitar 2,5×3 meter, berdinding pelupuh bambu, beratap seng dan berlantai tanah itu, selain disesaki oleh buku-buku dan para pelajar, juga terpajang beberapa kalimat motivasi.
Begitulah kondisi dan suasana di Balai Baca Kobok di Kampung Kobok, Kelurahan Rongga Koe, Kecamatan Kota Komba, Kabupaten Manggarai Timur, saat disambangi Ekora NTT, awal September 2021 lalu.
Kampung Kobok terletak di kaki gunung. Sekitar 2 Km arah utara Wae Rana. Suasananya sejuk. Hutan yang jaraknya hanya selemparan batu dari kampung masih terjaga dengan baik.
Saban sore, para pelajar, mulai dari tingkat SD hingga SMA di kampung itu, menghabiskan waktu luang mereka di balai baca.
“Sekarang kami di rumah tidak setengah mati lagi melatih baca anak-anak kelas satu sampai kelas tiga SD,” kata Sebina Linung, salah satu orang tua pelajar di Kampung Kobok. “Sejak adanya balai baca ini, mereka datang latih baca di sini.”
Balai Baca Kobok baru didirikan pada 17 Juli 2021. Pendirinya adalah Yohanes S.E Rembong, 21 tahun. Johan, sapaannya, seorang mahasiswa semester V Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang. Ia mendirikan balai baca itu saat sedang berlibur.
Johan berkata balai baca tersebut didirikan untuk mengasah minat baca para pelajar di kampungnya.
“Motivasi yang selalu tertanam dalam diri saya yaitu mau mengubah pola pikir adik-adik pelajar di kampung,” kata Johan yang juga berasal dari Kampung Kobok, saat dihubungi Ekora NTT, Senin (13/9/2021). “Sebab dengan membaca, pasti wawasan mereka akan lebih luas.”
Ia mengisahkan, sebelum gedung darurat dibangun, ia berdiskusi dengan kedua orangtuanya. Ayahnya mengusulkan agar salah satu ruang di rumah mereka dijadikan balai baca.
“Saya bilang ke Bapa, kalau di rumah, anak-anak pasti tidak banyak yang datang baca. Pasti mereka takut mengganggu suasana keluarga di rumah,” katanya.
Johan kemudian meminta tanah kosong milik pamannya agar mendirikan ruang darurat untuk balai baca tersebut.
“Setelah bapa kecil kasih izin tanah, bersama beberapa adik pelajar SMA dan beberapa orang tua di kampung bergotong-royong untuk membuat gedung darurat,” ujarnya.
“Puji Tuhan, tepat tanggal 17 Juli 2021, Balai Baca Kobok mulai digunakan. Anak-anak SD, SMP dan SMA di kampung sangat antusias untuk mengunjungi balai baca ini,” tuturnya.
Ia mengatakan, buku-buku yang tersedia di Balai Baca Kobok disumbang oleh salah satu dosen, dan beberapa temannya di Kupang yang jumlahnya mencapai 300 eksemplar.
Selain membaca, di Balai Baca Kobok juga, para pelajar mengembangkan “literasi kearifan lokal.”
“Para pelajar belajar menganyam sangkar ayam, tikar dan beberapa kerajinan tangan lainnya yang diwariskan oleh orang tua dulu,” kata Johan. “Yang melatih mereka untuk buat kerajinan tangan itu orang tua di kampung yang tahu membuat kerajinan tersebut.”
Saat ini, Johan telah kembali ke Kupang untuk melanjutkan kuliah. Ia mempercayakan Maria Herlina Mareti, salah satu guru SD di kampungnya untuk mendampingi para pelajar saat melakukan aktivitas membaca di balai baca tersebut.
Dapat Sumbangan Buku
Meski baru seumur jagung, nama Balai Baca Kobok, sudah sampai ke telinga anggota DPR RI, Julie Sutrisno Laiskodat. Semua itu berkat kerja keras Johan. Ia menginformasikan kepada politisi Nasdem itu terkait kekurangan bahan bacaan di Balai Baca Kobok.
Julie kemudian mengirimkan 350 eksemplar buku ke balai baca tersebut. Buku-buku itu dihantar langsung oleh sekretaris DPC Nasdem Manggarai Timur, Tarsan Talus.
Usai menyerahkan buku-buku tersebut, Tarsan berpesan agar orang tua dari para pelajar di Kampung Kobok mendukung kegiatan literasi itu.
“Jangan larang anak-anak datang ke balai baca ini kalau mau mereka cerdas dan jadi orang sukses nantinya,” ujar anggota DPRD Matim tersebut.
Ia mengapresiasi perjuangan Johan membangun balai baca tersebut, dan memberikan sedikit dana untuk biaya pembuatan rak buku.
Johan berharap, melalui balai baca tersebut, minat baca para pelajar di kampungnya meningkat, sehingga mereka bisa menjadi “garam di tengah masyarakat yang tawar, dan menjadi lilin di tengah masyarakat yang gelap.”
Rosis Adir