Perjumpaan Hukum Negara, Agama dan Adat dalam Kasus Perkawinan di Manggarai, Flores (3/Habis)

Oleh: Prof. Dr. Yohanes Servatius Lon, M.A.

Dari Peminggiran Hukum Adat ke Small Naratives

Jika diperhatikan dengan jeli perjumpaan tiga hukum di atas, dapatlah dikatakan bahwa, sejauh ini, hukum perkawinan adat menjadi satu hukum yang kurang diakomodir dan cenderung dipinggirkan. Paradigma peminggiran hukum adat di Indonesia tidak lahir dari ruang kosong.

Dalam diskursus agama dan politik di Indonesia, pemisahan adat dari agama, dan agama asli/lokal dari agama mondial (eksport – dari negeri asing) dan cara berpikir yang melihat kebenaran agama dari luar lebih penting dari agama lokal/asli adalah hasil konstruksi historis, kental politis dalam sejarah Indonesia sejak masa kolonial dan sangat menguat pada masa Orde Baru. Di dalam perkembangan itu, keyakinan lokal cenderung disamakan dengan kekafiran yang dilawankan dengan keyakinan agama. Olehnya, yang berbau adat dilihat lebih rendah dan bernuansa agama lebih tinggi.

Dalam sejarahnya, pemerintah Indonesia juga cenderung mengembangkan politik pembangunan hukum yang diorientasikan ke arah ideologi sentralisme hukum (legal centralism), sehingga produk hukum nasional cenderung mengabaikan, menggusur, dan bahkan mematisurikan sistem-sistem regulasi selain hukum negara (state law) yang secara empirik tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Akibatnya, hukum adat  menjadi kurang beruntung dan bahkan terancam eksitensinya.

iklan

Padahal, dalam konteks Indonesia, hukum adat telah berfungsi sebagai living law (hukum yang hidup), sistem norma dan regulasi yang berfungsi sebagai instrumen pengendalian sosial (legal order) yang menjaga keteraturan sosial (social order) dalam masyarakat.

Hukum seharusnya berperan untuk melindungi masyarakat, terutama  melindungi hak asasinya. Salah satu hak asasi masyarakat adalah hak atas identitas adat atau tradisinya. Organisasi Perserikatan Bangsa-bangsa secara tegas mendeklarasikan hak asasi masyarakat adat.

Dikatakan dalam pasal 2 bahwa “Masyarakat adat dan warga-warganya bebas dan sederajat dengan semua kelompok-kelompok masyarakat dan warga-warga lainnya, dan mempunyai hak untuk bebas dari segala bentuk diskriminasi dalam menjalankan hak-hak mereka, khususnya yang didasarkan atas asal-usul atau identitas mereka”.

Dengan demikian masyarakat adat Manggarai memiliki hak asasi untuk hidup sesuai dengan hukum adatnya. Sudah sepantasnya hukum adat Manggarai menjadi bagian integral dari hukum negara dan hukum agama Katolik .

Realita peminggiran hukum adat membawa saya pada dukungan terhadap usaha untuk memperhatikan small naratives sebagai kritik terhadap sentralisasi dan dominasi kebenaran. Di sini hukum adat yang kecil dari komunitas yang minoritas adalah narasi yang seharusnya tidak boleh dipinggirkan. Demikian pula dalam kaitan dengan hukum perkawinan, hukum perkawinan adat jangan sampai dipinggirkan oleh narasi universal dan global yang dihadirkan oleh agama dan negara.

Dalam hal ini saya mendukung pemikiran filsuf postmodernis yang melakukan kritik terhadap substansi pemikiran filosofis tentang sentralisasi atau absolutisasi kebenaran. Kritik tersebut sampai pada kesimpulan bahwa pola pikir modern telah mencapai kegagalan karena hanya membawa orang pada sentralisasi kebenaran.

Sentralisasi dan absolutisasi kebenaran telah membuat manusia saling mengasingkan keberadaan yang lain, melecehkan keluhuran martabat manusia itu sendiri dan bahkan melahirkan kejahatan kemanusiaan yang irasional dan radikal.

Pergerakan para filsuf post modernis berusaha keluar dari cengkeraman narasi besar (universal) yang berakar pada sentralisasi atau absolutisasi kebenaran dan berusaha membuka ruang untuk mengelaborasi pemikiran yang berasal dari budaya lokal (narasi kecil).

Bagi mereka, filsafat harus kembali ke tradisi dan budaya tertentu. Seorang filsuf harus memposisikan dirinya dalam masyarakatnya untuk menggambarkan nilai-nilai filosofis yang dianutnya. Dalam filsafat lokal, para filsuf akan menemukan pluralitas definisi kehidupan, kemajemukan dimensi kebenaran, kemajemukan dimensi hubungan dan ikatan sistem.

Dalam Gereja Katolik, absolutisme kebenaran cukup lama diekspresikan dalam prinsip nulla salus extra ecclesiam (tidak ada keselamatan di luar Gereja). Syukurlah,  menjelang Konsili Vatikan II muncul pergerakan perubahan paradigma atau pola pikir yang berdampak pada sikap positif terhadap budaya lokal. Bapak-bapak Konsili Vatikan II mengembangkan semangat aggiornamento, semangat keterbukaan  terhadap kekayaan dan kearifan budaya dan hukum adat setempat.

Dikatakan dalam GS 58 bahwa Allah sendiri telah bersabda menurut kebudayaan yang khas bagi pelbagai zaman. Gereja di sepanjang zaman dan pelbagai situasi telah memanfaatkan sumber-sumber aneka kebudayaan, untuk menyebarluaskan dan menguraikan pewartaan Kristus kepada semua bangsa dan mengungkapkannya secara lebih baik dalam kehidupan jemaat beriman yang beraneka ragam.

Paus Yohanes Paulus II menggarisbawahi bahwa pada jantung setiap budaya terletak sikap yang diambil manusia terhadap misteri terbesar: misteri Tuhan.  Justru dari kodrat manusia, perkawinan memiliki dimensi kultural. Karena itu dalam mewartakan rencana Tuhan tentang perkawinan, Gereja tidak dapat terlepas dari pengaruh setiap kebudayaan, baik pengaruh positif maupun pengaruh negatif, dan untuk itu dibutuhkan sikap yang arif dan cerdas dalam menginkulturasikan pesan Tuhan tentang perkawinan. Pengakuan akan hal-hal positif dalam hukum adat akan memperkaya ajaran Gereja tentang aturan perkawinan, sedangkan hal-hal yang negatif perlu disempurnakan dengan nilai-nilai injili.

Kepastian Hukum dan Bonum Commune

Pada dasarnya hukum dimaksudkan untuk memberi keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum menuju tercapainya bonum commune atau kesejahteraan umum masyarakat. Di sini hukum bukan saja berfungsi sebagai a tool of social control-alat kontrol masyarakat tetapi terutama sebagai  a tool of social engineering-alat rekayasa perubahan sosial. Dengan demikian, ketika hukum negara, hukum agama, dan hukum adat berbenturan satu sama lain, maka hukum tersebut akan mudah kehilangan signifikansinya atau manfaat, dan tidak lagi efektif memberikan kepastian hukum dan menjamin keadilan di tengah masyarakat Manggarai.

Dalam konteks tersebut, dibutuhkan upaya harmonisasi dan atau terobosan hukum yang lebih komprehensif dan inklusif dengan saling mengadopsi yang lain. Hukum negara, hukum agama, dan hukum adat seharusnya saling mengakomodir yang lain  dengan memperhatikan prinsip lex superior derogat lex inferior dan prinsip perlindungan Hak Asasi Manusia.

Upaya tersebut seharusnya mengutamakan tujuan dan jiwa hukum itu sendiri yaitu demi kebaikan, keadilan, dan keberpihakan pada yang kecil lagi tersingkirkan. Dalam konteks hukum perkawinan, kepentingan pasangan, anak yang lahir dari pasangan, keluarga dan masyarakat seharusnya menjadi perhatian dalam ketiga hukum perkawinan di atas.

Masing-masing hukum harus rela untuk melakukan kritik internal dan sekaligus mampu menemukan kekuatan dari hukum di luar dirinya sendiri. Secara khusus, negara sebagai institusi yang lebih bersifat umum, harus lebih terbuka pada kepentingan masyarakat majemuk termasuk hukum adat.

Penutup: Perjumpaan yang Dialogis dan Mutualis

Agama, negara, dan budaya adalah tiga poros kunci kekuatan untuk membangun kehidupan yang bermartabat, luhur, adil, makmur dan sejahtera, lahir dan batin. Ketiga kekuatan ini adalah potensi dan kekuatan dahsyat bagi keadaban publik, keadilan sosial, dan terpenuhinya cita-cita hidup bersama.

Olehnya, menjadi tugas dan tanggung jawab negara, gereja/agama dan budaya untuk hadir sebagai kekuatan yang membebaskan, mencerahkan, memerdekaan, dan membawa kesejahteraan bagi keluarga dan bagi warga masyarakat. Perjumpaan agama, negara, dan adat harus menjadi pemerdekaan bagi setiap pribadi dan keluarga.

Konsekuensinya, ketiga hukum perkawinan di atas perlu diperjumpakan secara dialogis dan mutualis dengan prisip kesetaraan dan penghargaan satu sama lain. Hukum tidak boleh ekslusif dan tertutup bagi kebenaran di luar dirinya. Hukum yang baik adalah yang selalu berdialog dengan kebenaran dan konteks yang terus berkembang.

Hukum yang satu harus bisa menghargai dan menghormati hukum lainnya, melihat nilai positif di dalam hukum-hukum tersebut dan belajar dari hukum lainnya demi suatu kebaikan yang lebih unggul. Satu lembaga tidak boleh merasa superior terhadap institusi atau pranata lainnya.Dengan ini pula, harus ada sikap kritis satu sama lain dan sekaligus auto kritik atau kritis terhadap substansi dan perkembangan hukum di dalam dirinya sendiri.

Tidak ada satupun hukum yang sempurna. Semua berkembang di dalam konteks dan hasil kontruksi manusia yang tak luput dari tunggangan kepentingan. Olehnya, memperjumpakan hukum juga berarti saling memberi dan memperkaya satu sama lain. Untuk itu, saya memberikan rekomendasi berikut:

Pertama, setiap agama memang memiliki keyakinan dan aturannya sendiri serta mempunyai otonomi terhadap kebenaran yang ada di dalamnya, khususnya karena berdasarkan otoritas keilahian yang diperolehnya. Namun, agama masih berada di bumi dan olehnya ia harus berpijak pada konteks dimana ia dihidupi. Kita harus sadar bahwa nilai-nilai agama juga tidak bebas, dikonstruksi pada situasi, sejarah dan latar belakang pembentukannya.

Olehnya, agama sudah seharusnya terus berdialog dan berdialektika dengan nilai kemanusiaan lainnya. Hukum perkawinan agama harus membantu keluarga di Manggarai untuk berjumpa dengan pemilik kebenaranyang ultim yaitu pada Allah yang sifatnya misterius.

Kedua, budaya adalah pemberi makna dan arti pada hidup komunitas. Sama seperti agama, budaya juga lahir dan berubah di dalam konteks. Budaya bukan ada begitu saja melainkan sebagai kreasi manusia menanggapi situasi dan kondisinya. Budaya harus memanusiakan dan memerdekakan. Budaya harus membuat manusia mempunyai arti.

Budaya jangan sampai memiskinkan, menyingkirkan anak dan perempuan. Budaya jangan sampai menjadi penghalang kebahagiaan keluarga. Adat perkawinan harus juga dibaca sebagai jalan membentuk keluarga sejahtera, bebas dari kelaparan, stunting, kemiskinan, dan buta huruf. Jangan untuk semua urusan adat kita jual tanah dan utang menumpuk, sementara anak-anak tidak sekolah.

Upacara-upacara adat yang kurang sehat, budaya masyarakat yang merugikan kesehatan seperti rokok, tidak tidur, tidak bersih dan lain-lain sebaiknya dihindarkan. Budaya seharusnya membuat kita menghargai, menghormati, memiliki ikatan kuat dengan tanah, dengan sejarah, dengan leluhur, dengan identitas khusus dan unik, yang membuat kita berbeda sekaligus manusiawi.

Nenek moyang tentunya tidak senang dengan kemiskinan kita. Mereka tidak senang jikan lontos ata long, longs ata lonto. Karena itu, hukum adat dengan segala ritual perlu diperjumpakan dengan pola pikir baru yang mengutamakan produktivitas, efisiensi, dan ekonomis.

Apalah artinya doa dan upacara perkawinan adat, manakala anggota keluarga kita tidak tidak bisa bersekolah, sering sakit, hidup miskin, dan menjadi penonton kemajuan orang luar. Apalah artinya belis yang mahal, jika keluarga baru harus berutang atau kredit untuk pelunasannya. Mimpi nenek moyang langkas haéng ntala, uwa haéng wulang seharusnya mengajak kita untuk terbuka dengan budaya lain, dengan agama dan negara.

Akhirnya, negara adalah entitas yang menyatukan keragaman yang ada di dalam wilayahnya. Keragaman dalam hukum dan aturan perkawinan harus bisa diakomodir dalam peraturan perundangan. Negara tidak mungkin dan tidak boleh menyeragamkan ajaran dan keyakinan agama. Negara juga tidak berhak mengatur kebudayaan yang majemuk dengan membuatnya seragam.

Tugas negara adalah menjamin keragaman, keunikan, dan kekhususan dari setiap entitas yang ada, termasuk yang paling minoritas dan kecil sekalipun. Pengakuan negara tidak boleh hanya didasarkan pada aturan agama tertentu dan mengabaikan aturan agama lainnya. Ia harus menjadi kekuatan yang merangkul dan melindungi hak-hak warganya dari segi keimanan mereka, termasuk dalam tata hukum agama mengenai perkawinan.

Negara juga tidak boleh mematikan kekayaan budayanya, dengan memarginalisasi tradisi dan tidak mengakomodirnya atau menghormatinya. Negara tidak boleh sewenang-wenang terhadap nilai filosofis, religius, sosial, dan legal dari suatu kebudayaan. Maka, sepantasnya UU Perkawinan Tahun 1974 harus direvisi agar bisa mengakomodir kepentingan warganya dengan adil sekaligus berbudaya.

*Orasi Ilmiah Pengukuhan Guru Besar dalam Bidang Religi dan Budaya, Universitas Katolik Indonesia Santu Paulus Ruteng. Redaksi membagi tulisan ini dalam tiga bagian dan ini adalah bagian terakhir.

TERKINI
BACA JUGA