Krisis Politik dan Tanggung Jawab Kaum Muda

Oleh: Anno Susabun*

Sejak kemunculan Budi Utomo (het schoone streven) pada Mei 1908, kesadaran sosial politik golongan muda mulai lahir. Organisasi yang diinisiasi oleh Wahidin Soedirohoesodo itu beranggotakan mahasiswa STOVIA, OSVIA, sekolah guru, pertanian, dan kedokteran hewan. Kendati pun lahir sebagai organisasi kedaerahan yang tidak politis, komitmennya terhadap pendidikan dan kebudayaan berkembang menjadi politis (Ricklefs, 2007:344). Embrio ini kemudian menetas sebagai anak perlawanan yang konsisten melawan penjajahan.

Konsolidasi gerakan kaum muda dimulai pada Kongres Pemuda I tahun 1926 yang melahirkan Perhimpoenan Peladjar-Peladjar Indonesia. PPPI kemudian menginisasi Kongres Pemuda II tanggal 27–28 Oktober 1928 yang melahirkan Sumpah Pemuda untuk mengaku bertanah air yang satu, berbangsa satu, dan berbahasa satu; Indonesia. Mengikuti Asvi W. Adam, Sumpah Pemuda adalah “Proklamasi” bangsa Indonesia yang bersatu dan perubahan sosial politik dalam dunia ide dan pemikiran (Widodo, 2012:4).

Proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 adalah buah perjuangan dan solidaritas kaum muda. Sejarah juga mencatat, selama periode kekuasaan Presiden Soekarno dan Soeharto, kekuatan kaum muda tetap menjadi andalan. Puncak kekuatan kaum muda yang perlu dirayakan sebagai record sejarah adalah reformasi politik 1998.

Meskipun demikian, Pramoedya Anata Toer, dalam suatu kesempatan melontarkan gugatan; “Mengapa pemuda, yang dengan gemilang berhasil menyingkirkan rezim Soeharto yang didukung tentara, tidak menghasilkan tokoh politik yang memiliki otoritas nasional?” (Lane, 2014:388).

iklan

Dua model krisis

Ada dua model krisis yang menubuh dalam politik kebangsaan kita. Pertama, fundamentalisme pasar adalah supremasi logika kapitalisme-neoliberal dalam proyek demokrasi dan pembangunan. Logika pasar bebas yang menjadi register pembangunan mengusung liberalisasi, privatisasi, dan deregulasi dalam rangka memuluskan pertarungan bebas antara orang-orang kaya serentak mengalienasi rakyat miskin.

Dalam fundamentalisme pasar, terdapat relasi tripolar antara negara, bisnis, dan masyarakat. Kontrak politik koruptif kerap terjadi antara penguasa yang memiliki modal sosial politik dan legitimasi kekuasaan (basis massa) dengan pengusaha yang mengendalikan modal ekonomi (uang). Kedua elemen ini bekerja secara mutualistik demi kepentingan memperkaya diri dan golongannya. Bahkan di tengah Pandemi Covid-19, tradisi korupsi tetap terjaga secara konsisten.

Fundamentalisme pasar hari ini tampak dalam oligarki politik yang berupaya mengendalikan politik hanya sebagai ruang permainan elite. Sementara itu, mayoritas penduduk Indonesia adalah orang-orang miskin yang tidak memiliki akses kesejahteraan. Oligarki berupaya membangun istana megah, mengembalikan corpus politik ke era Orde Baru di mana masyarakat tereksklusi dari domain politik.

Politik oligarkis nyata dalam praktik korupsi, penjarahan sumber daya alam, dinasti politik, politik uang, dan berbagai praktik klientelisme. Dengan begitu, tidak ada tempat bagi partisipasi rakyat dalam politik, kecuali sebagai voter dalam pemilu.

Ancaman kedua adalah fundamentalisme agama di tengah penetrasi ideologi radikal. Cita-cita kaum fundamentalis adalah menggantikan Pancasila dengan ideologi agama. Kepentingan agama tertentu mengokupasi wacana di ruang publik serentak berusaha melenyapkan kelompok lain. Di ranah politik, kepentingan identitas tertentu ditonjolkan dan kelompok masyarakat (agama) lain dianggap sebagai benalu bangsa.

Para pengusung panji fundamentalisme agama begitu yakin bahwa Indonesia tidak dapat berdiri di atas keberagaman. Padahal, sejak awal, kemerdekaan kita dibangun dengan susah payah oleh para founding fathers untuk mengakomodasi kepentingan semua golongan.

Radikalisme agama di ranah politik hari ini menjadi instrumen strategis golongan populisme kanan yang ingin merebut kekuasaan. Alih-alih memperjuangkan keadilan sosial dan kesejahteraan bersama, isu-isu anti kemapanan (anti status quo) dimainkan untuk memanipulasi pemilih dalam Pemilu. Kelompok ini menggunakan sentimen keagamaan untuk menarik pemilih. Dukungan ummah elektoral akhirnya tetap tidak berdaya guna bagi transformasi sosial politik menuju kesejahteraan. Politik tetap saja berada di bawah kendali elite oligarki.

Kaum muda merebut politik

Mencermati dua model fundamentalisme ini, kaum muda ditantang untuk menemukan peluang bagi proyek politik ke depan.

Pertama, kaum muda harus terlibat dalam setiap gerak langkah politik. Keterlibatan kaum muda dapat dilakukan secara tidak langsung misalnya dengan menyumbangkan ide, gagasan, atau pemikiran yang kritis terhadap kebijakan pemerintah yang tidak pro-rakyat.

Kedua, keterlibatan kaum muda harus memengaruhi kebijakan politik yang selama ini hanya berorientasi pada kepentingan segelintir orang kaya. Menghadapi fundamentalisme pasar, kaum muda mesti mampu keluar dari kerangkeng kapitalisme dengan menggalakkan pembangunan berbasis komunitas (community based development) demi kesejahteraan masyarakat bawah.

Ketiga, partisipasi politik kaum muda dapat melampaui fundamentalisme agama dengan mengupayakan pendidikan multikultural dan literasi keagamaan. Pendidikan multikultural sejak dini dapat membina generasi bangsa yang menerima keberagaman identitas sebagai kekayaan bersama, bukan bencana. Pancasila sebagai fundamen kebangsaan mengandung nilai-nilai keberagaman identitas dan sikap toleransi yang dibutuhkan dalam kondisi tersebut.

Keempat, partisipasi politik kaum muda dapat tercapai hanya jika terjalin komunikasi dan kolaborasi. Artinya, merebut politik membutuhkan kerja keras agar tidak hanya menjadi agenda segelintir kaum muda tetapi menjadi agenda bersama. Dalam solidaritas bersama, kaum muda memiliki kekuatan yang mumpuni tanpa fragmentasi.

*Penulis adalah Alumnus STFK Ledalero

spot_img
spot_img
TERKINI
BACA JUGA