Meneropong Kartini

Oleh: Eto Kwuta*

Hari ini semua ingatan tertuju pada Kartini. Dari ucapan selamat sampai promosi intelektual tentangnya berhamburan di media sosial. Sosok Kartini diagungkan karena jasanya dalam mengangkat derajat perempuan pada akhir abad ke-19 menuju abad ke-20.

Pada masa itu, liberalisme tumbuh subur. Tahun 1870, Undang-Undang Agraria lahir dan pemodal asing berkuasa. Kaum pemodal bermain cantik sembari menanam modal mereka untuk usaha kebun teh, kopi, cengkeh, gula, tembakau, dan lainnya. Tanpa sadar, hasilnya dibawa ke Eropa.

Kartini pun hidup bersama derasnya liberalisme yang masif. Tapi, muncul secuil harapan di mana lahir pula kaum etisi, para penganut teguh etika. Mereka hadir untuk mencari jalan keluar dari represi kaum liberalis Barat. Bahwa ide-ide modernisasi ala Barat berpengaruh untuk perubahan, tetapi kemanusiaan orang Pribumi hancur berkeping-keping.

Aroma rasa sakit dan penderitaan mulai terasa. Namun, Kartini yang mengalami masa peralihan itu tak berhenti menyimak, menelisik, lalu membangun kesadaran bahwa cara terbaik untuk bergerak adalah lewat pendidikan, maka ia menyaring kebudayaan Barat secara kritis.

Lawan Adat Feodal

Kartini itu perempuan pintar. Ia merintis pendidikan dan wanita-wanita yang terimpit adat feodal harus bangkit melawan sistem itu. Ia berhadapan dengan logika feodalisme yang menindas wanita demi hasrat besar kaum laki-laki (Sitisoemandari, 2011:4).

Ketika adat feodal subur, Kartini tekun mempelajari nilai-nilai positif modernisasi Barat. Saat itu, ia dibenturkan dengan imperialisme. Kartini berada di tengah. Ia berdiri dalam tekanan paham-paham. Tapi, kecerdasan revolusioner Kartini tidak padam. Ia mengumpulkan senjata kaum wanita dengan bersekolah.

Walaupun dengan sedikit bekal edukasi lewat pendidikan umum dan kejuruan, intinya kaumnya dibekali dengan pendidikan. Maka dari itu, Kartini melawan adat feodal. Kaum wanita bukan objek di hadapan laki-laki. Kaum wanita adalah setara dan butuh emansipasi.

Contoh masa kini, adat feodal ini tak jarang menghiasi budaya suku-suku di Indonesia. Namun, khusus di Nusa Tenggara Timur, adat feodal itu cukup kentara ketika perempuan timur diperlakukan seperti orang nomor dua dalam rumah.

Misalnya, dalam sebuah acara pesta, wanita sibuk mengurus dapur. Mereka identik dengan kerja tapis beras, masak, siapkan menu-menu untuk pesta besar maupun kecil, dan ironinya, wanita NTT tidak semuanya makan bersama dengan laki-laki dalam satu perjamuan pesta. Kaum wanita, dalam pengamatan penulis, sedikit atau banyaknya masih makan setelah laki-laki.

Kemungkinan lain, mereka makan bersama, tapi tidak duduk bersama laki-laki, tapi berada di belakang dapur, menjaga periuk dan kuali, hingga beras di atas bale-bale bambu.

Fenomena ini, sebenarnya datang sejak dahulu. Ketika imperialisme melahirkan kemiskinan, kemelaratan, hingga perang atas nama Tanah Air. Di sini, Kartini tahu, adat feodal itu bukan hanya datang dari Barat, tapi juga datang dari kaum Pribumi.

Sebut saja, seorang gadis dari tingkat rendah sampai atas, ketika masuk remaja, mereka tergolong dalam sebutan pingitan sehingga tidak boleh keluar rumah lagi. Ini aturan adat, jadi harus ditaati (Sitisoemandari, 2011:4).

Meneropong hal ini, kaum bangsawan adalah mesin waktu yang menghidupkan feodalisme dalam rentang waktu abad ke-9 dan ke-12 yang lampau. Jadi, masanya Kartini dulu (akhir abad ke-19), adat feodal masih membahasakan sebuah sistem yang kaku, membelenggu, dan menekan wanita, sehingga cara terbaik adalah lawan adat feodal.

Kartini Masa Kini

Dalam spirit lawan adat feodal, perintah ini bukan sebuah bahasa kecut yang membuat kaum wanita merasa terancam. Tidak! Kalian harus melihat kembali sejarah, bahwa sistem yang kaku dilawan Kartini dengan mengkritik juga bangsanya sendiri.

Apalagi dengan derasnya arus globalisasi yang pesat, masifnya digitalisasi, suburnya neoliberalisme dan temannya neokolonialisme, maka refleksi global yang harus dipegang adalah wanita bukan objek kekalahan pada masa kini.

Kaum wanita sudah beda masanya. Kartini yang dulu hidup dalam bayang-bayang feodalisme, imperialisme, liberalisme, kolonialisme, telah membuka jalan dari habis gelap, terbitlah terang.

Fakta ini menjadi momentum sudut pandang baru, bahwa wanita atau kaum perempuan telah berpartisipasi dalam semua perkara kehidupan. Dalam bidang politik, sosial, ekonomi, budaya, tokoh wanita atau perempuan menghiasi media sosial kita.

Ini sebuah pencapaian. Kartini yang dahulu telah melahirkan kaum wanita atau perempuan hebat di masa kini. Tak perlu disebut satu per satu, tapi alasan untuk menjadi Kartini adalah lewat pendidikan yang layak.

Kalau mau jadi Kartini masa kini, jalan keluar terbaik adalah sekolah. Dan, untuk saat ini, semua tempat adalah sekolah bagi kita. Selamat Hari Kartini!

*Penulis adalah Editor di Surat Kabar Ekora NTT

spot_img
TERKINI
BACA JUGA