Kisah Pasutri Mikhael dan Maria Hidup dari Pasir dan Batu Kali Wairklau Selama 15 Tahun

Maumere, Ekorantt.com – Ibu tiga orang anak asal Dampit, Malang, Jawa Timur, Maria Satu A (52) terlihat sibuk bekerja sebagai pemecah batu untuk memenuhi kehidupan ekonomi keluarga.

Setiap hari, kata Maria, ia memecahkan batu menjadi kerikil seperti kaum lelaki lain pada umumnya tanpa merasa malu.

Ketika disambangi Ekora NTT di kediamannya, RT 007/RW 008, Kelurahan Madawat, Kecamatan Alok, Senin (26/4/2022), Maria menuturkan, saat merantau ke Maumere puluhan tahun silam, ia pertama-tama bekerja sebagai penjual sayur.

“Lokasi pasar berpindah terus akhirnya bersama suami banting setir kumpul pasir dan pecahkan batu jadi kerikil untuk dijual,” kata ibu yang menghabiskan paruh hidup sebelumnya menjadi transmigran di Waringin Barat, Kalimantan Tengah.

Bagi pemilik dua cucu ini, memecahkan batu dan mengumpulkan pasir untuk dijual adalah pekerjaan halal.

“Suami saya selalu mengantar pesanan kerikil atau pasir dengan sepeda motor tuanya ke rumah di mana hanya ada lorong dan mobil tidak bisa masuk. Ini kan pekerjaan mulia. Bisa membantu sesama mendekatkan pelayanan material,” ujar Maria yang merintis usaha jualan sejak 2007 silam.

Untuk penjualan Pasir, kata Maria, satu sak dengan harga Rp10.000, hanya untuk sekitar kota Maumere. Sementara, lanjutnya, jika sampai di Jalan Brai dijual Rp15.000; sedangkan kerikil seharga Rp20.000 karena harus dipecahkan lagi.

Sementara suaminya Mikhael Gasa (54) asal Boawae, Kabupaten Nagekeo, mengatakan sebagai perantau, satu-satunya pekerjaan untuk menghidupi keluarga adalah dengan mengumpulkan pasir di kali Wairklau untuk dijual.

“Kalau pasir dan kerikil belum terjual saya menjadi pemulung mengumpulkan kardus, dos dan lain sebagainya yang penting bisa mendatangkan uang,” ujar Mikhael yang pernah bekerja sebagai buruh Tambang Emas di Waringin Barat, Kalimantan Tengah ini.

Dalam kesehariannya, Mikhael mengungkapkan, di pagi hari usai mengantar cucu ke sekolah, kali Wairklau menjadi tempat untuk mengumpulkan pasir.

“Dalam sehari bisa mengumpulkan pasir hingga 20 sak. Dengan motor tua, saya membawa pasir ke rumah dan menjajakannya di halaman rumah,” terangnya.

Ketika mengumpulkan pasir dan mendapatkan batu mangga, kata Mikhael lebih jauh, ia kumpul dan membawa ke rumah untuk selanjutnya dipecahkan dengan pemukul oleh Maria menjadi kerikil kecil.

Mikhael, suami Maria yang setia mengantar pesanan batu kerikil kepada pelanggan, (Foto: Yuven Fernandez/Ekora NTT)

Netty, warga RT 003/ RW 008 Kelurahan Madawat yang menjadi langganan setia pasir dan kerikil dari pasutri Mikhael dan Maria mengatakan kualitas pasirnya bagus.

“Satu sak walau harga hanya sepuluh ribu tapi isinya banyak dan sak semennya tidak dipotong seperti di tempat penjualan lainnya. Bagi pelanggan yang tinggal di lorong-lorong di mana truk tidak bisa masuk, Om Mikhael adalah solusinya,” kata ibu pekerja swasta ini.

Tamparan ASF

Dari hasil penjualan pasir dan kerikil, papar Maria, ia kumpulkan dan kemudian membeli babi untuk beternak.

Namun, sialnya ketika Virus American Swine Fever (Demam Babi Afrika) menyerang di wilayah Sikka, sebanyak 17 ekor babi dengan kisaran harga Rp5.000.000 habis dihantam ASF.

“Sudahlah mau bilang apa. Padahal babi itu mau dijual rencananya beli tanah untuk bangun rumah. Sampai hari ini belum mau pelihara babi karena masih trauma,” ujar Maria.

Hingga saat ini, pasutri Mikhael dan Maria bersama kedua cucu mereka masih menempati rumah di atas tanah kontrakan.

“Kami juga garap kebun di tanah pemilik tanah yang kami tinggal. Ditanami jagung dan ubi kayu dan sayur-sayuran Biasanya bagi hasil,” tutup Maria.

spot_img
TERKINI
BACA JUGA