Keuskupan Ruteng Gelar Panen Raya Sorgum di Paroki Dampek

Borong, Ekorantt.com – Keuskupan Ruteng bersama Yayasan KEHATI, Yayasan AYO Indonesia, Hivos Voices Climate Action, dan Koalisi Pangan Baik  mengadakan panen raya sorgum di Paroki Dampek, Kecamatan Lamba Leda Utara, Kabupaten Manggarai Timur, Jumat (1/7/2022). 

Kegiatan ini dilaksanakan Desa Satar Padut -wilayah Paroki Dampek – dengan luas lahan sorgum yang dipanen yakni 4 Ha dari total 18 Ha. Sorgum yang dipanen ini ditanam di atas tanah milik Paroki Dampek.

Kegiatan ini dihadiri oleh Bupati Manggarai Timur, Andreas Agas beserta jajaran, Direktur Program Yayasan KEHATI, Rony Megawanto, Vikjen Keuskupan Ruteng, Romo Alfons Segar, tokoh lintas agama, lembaga swadaya masyarakat di wilayah Manggarai, media, dan  masyarakat.

Kegiatan panen raya sorgum diawali dengan ibadat ekologis yang dipimpin oleh Vikep Reo, Romo Herman Ando. 

Pastor Paroki Dampek RD Willy Gandi, Pr, mengatakan umat di 12 stasi di paroki tersebut terlibat  dalam gerakan budidaya sorgum  yang dicanangkan Keuskupan Ruteng.

iklan

“(Budidaya sorgum) untuk peningkatan kesejahteraan umat agar tercukupi kebutuhan  gizi dan ekonomi,  sekaligus melestarikan kearifan lokal,” katanya.

Antisipasi Krisis Pangan

Panen Raya Sorgum di Dampek itu disambut baik oleh Deputi Bidang Penganekaragaman Konsumsi dan Keamanan Pangan, Badan Pangan Nasional, Andriko Noto Susanto.

Menurut Andriko, penanaman sorgum sejalan dengan upaya pemerintah untuk mengantisipasi krisis pangan yang disebabkan oleh perubahan cuaca, pandemi Covid-19, maupun peningkatan gejolak konflik antar negara. 

Untuk antisipasi krisis pangan, lanjutnya, pemerintah sedang meningkatkan produksi komoditas pangan besar-besaran yang disesuaikan karakter daerah, memastikan offtaker yang akan menampung hasil produksi tersebut, serta merancang pendistribusian yang baik agar stok pangan tidak menumpuk atau kualitasnya turun. 

“Oleh karena itu, diperlukan daya ungkit pangan lokal di setiap daerah untuk memastikan ketersediaan pangan. Di NTT salah satunya adalah sorgum,” jelasnya. 

Ia mengatakan, pemerintah memandang perlu untuk melakukan pemantapan dan pengembangan penganekaragaman konsumsi pangan, dengan cara memanfaatkan berbagai jenis pangan yang tersedia sebagai kekayaan hayati Indonesia dan sorgum menjadi salah satunya.

Sementara Bupati Manggarai Timur, Andreas  Agas menyampaikan bahwa budidaya sorgum menjadi cara untuk kemandirian pangan di wilayahnya. 

Ia menginginkan agar sorgum menjadi pangan yang bisa setara dengan beras, jagung, dan kedelai. 

Agas mengatakan, beberapa tahun belakangan ini terjadi banyak bencana ekologis di Manggarai Timur berupa perubahan cuaca.

Bencana tersebut, kata dia, sangat berdampak bagi kehidupan masyarakat di Manggarai Timur, seperti produksi pertanian yang menurun, kematian ternak, kerusakan panen,  hingga kekurangan gizi.

Menurutnya, kondisi tersebut diperparah dengan ketidakmandirian pangan karena suplai makanan masih sangat bergantung pada impor. 

“Jagung, kedelai, beras, lebih banyak didatangkan dari luar sehingga harga menjadi mahal,” katanya.

Agas menyatakan ada tiga pangan utama yang akan terus ditingkatkan di Manggarai Timur yaitu jagung, sorgum, dan kedelai (JASOK). 

“Saya minta daerah Dampek ini jangan menanam padi terus. Selang seling harus dilakukan antara padi, jagung, sorgum dan kedelai. Dengan sistem ini tanah juga menjadi subur,” tegas Agas. 

Ia menambahkan bahwa Pemerintah Manggarai Timur serius untuk menjadikan kabupaten tersebut sebagai kabupaten sorgum.

Keseriusan itu, kata Agas, ditandai dengan terbitnya  Peraturan Bupati Manggarai Timur Nomor 34 tahun 2021 tentang Pengembangan Sorgum sebagai Pangan Alternatif.

Direktur Program Yayasan Kehati, Rony Megawanto mengatakan sorgum menjadi salah satu solusi agar masyarakat tidak bergantung pada pangan luar. 

“Kalau kita sangat bergantung pada sumber pangan dari luar, maka kita akan kelaparan. Contohnya saja ketika pandemi Covid-19 melanda, banyak negara-negara di dunia menghentikan ekspor untuk mengamankan pasokan makanan mereka terlebih dahulu,” jelasnya. 

Pangan lokal seperti sorgum perlu terus digiatkan dan disosialisasikan agar lebih dikenal masyarakat sehingga menciptakan pasar bagi para petani sorgum, katanya.

“Kunci dari keberhasilan ini semua adalah kolaborasi berbagai pihak. Sorgum jangan lagi dipandang rendah karena tanaman ini sangat bergizi,” ujar Roni.

 “Sorgum bahkan sudah disebut sebagai superfood karena kandungan gizinya luar biasa,” tambahnya. 

Roni menyarankan agar masyarakat lokal menjadikan sorgum sebagai pangan utama. “Jangan banyak dijual ke luar daerah,” katanya. “Kecuali, jika memang sudah ada sisa produksi setelah kebutuhan pangan terpenuhi.” 

Sebagai sumber pangan, kata dia, sorgum memiliki kandungan nutrisi yang tidak kalah dengan padi dan jagung. Sorgum kaya zat antioksidan, mineral, protein, karbohidrat dan serat penting. 

Selain itu, sorgum mampu tumbuh subur meski di musim kemarau panjang di daerah yang kering, bertanah marginal, berpasir bahkan berbatu.

“Tanaman ini cocok untuk dikembangkan di lahan kering yang cukup banyak jumlahnya seperti di Kabupaten Manggarai Timur yang memiliki luas kurang lebih 40 ribu hektar,” ujarnya.

Tanaman sorgum bertumbuh subur di wilayah pantai utara Manggarai Timur.

Sorgum dan Perubahan Iklim

Kebutuhan pangan terus meningkat seiring dengan pembengkakan populasi, termasuk penyediaan pangan di masa depan juga menghadapi persoalan alam. 

Pemanasan global telah memicu perubahan iklim dan pergeseran pola hujan. Daerah yang secara klimatologi kering seperti Nusa Tenggara Timur, akan semakin kering. Diperlukan tanaman yang memiliki tingkat adaptif tinggi terhadap dampak perubahan iklim. 

Menurut kajian dari David B. Lobell dari Universitas Stanford Amerika Serikat dan tim yang dipublikasikan di jurnal Science (2008) menyebutkan bahwa sorgum sebagai tanaman yang memiliki kemampuan adaptasi tinggi terhadap perubahan iklim. 

Graeme Hammer dari Queensland Alliance for Agriculture and Food Innovation (2015) menyebutkan, kemampuan adaptasi sorgum terhadap perubahan iklim karena efisien dalam menyerap air. 

Kemampuan adaptasi ini membuat sorgum menjadi salah satu harapan pemenuhan kebutuhan pangan di masa depan, terutama jika dikaitkan dengan perubahan iklim. 

Apalagi, luas lahan kering di Indonesia cukup besar. Lahan kering untuk pertanian memiliki 144 juta hektar dan menutut DEPTAN lahan pertanian yang potensial untuk sorgum ada seluas 19,91 juta hektar (DEPTAN, 2004). 

Dalam banyak kasus di beberapa daerah yang memiliki lahan kering, mereka tidak hanya mengalami gagal panen, namun juga gagal tanam. Berkurangnya curah hujan, musim hujan yang mundur, sampai fenomena alam seperti El Nino menyebabkan petani tidak bisa bercocok tanam sesuai waktu yang biasa ditentukan. 

“Sorgum merupakan tanaman pilihan paling sesuai dalam upaya peningkatan produktivitas lahan-lahan kering marginal, lahan kosong atau lahan non-produktif lainnya. Dengan menanam sorgum maka produktivitas lahan akan meningkat dan juga mendukung upaya pengembangan pertanian berkelanjutan dan peningkatan produksi pangan Indonesia. Jadi, selain daya tahannya terhadap perubahan iklim, sorgum juga memenuhi syarat dari aspek gizi maupun produktivitas,” ujar Manajer Program Ekosistem Pertanian Yayasan KEHATI, Puji Sumedi. 

Romo Alfons Segar mengatakan, Keuskupan Ruteng terus berupaya agar perekonomian umat di wilayah keuskupan itu terus meningkat, serta  bebas dari kelaparan. Salah satu upaya yang dilakukan yakni mendorong umat agar bisa memproduksi pangan secara mandiri.

“Lahan-lahan yang dimiliki keuskupan ini menjadi lahan yang digarap bersama masyarakat untuk menanam sorgum,” ucapnya. 

TERKINI
BACA JUGA