Mengangkat Jejak Budaya Lewat Sumpah Pemuda

Mbay, Ekorantt.com – Terik matahari menyengat kulit, memanasi bumi di daerah Kelimado dan sekitarnya. Wilayah yang berada di landai, di bawah kaki gunung Ebulobo berubah suasana menjadi ramai. Iring-iringan kendaraan, bunyi gong gendang, suara musik bambu, suara lengking anak-anak dan suara keras sound bersahut-sahutan.

Di tengah kampung Kelimado, di struktur tanah lapang, adalah tempat acara Adat Trail Festival digelarkan. Acara itu semacam ajang kontestan, saling mengisi acara demi acara. Di sekeliling dipagari ranting-ranting bambu, pot-pot bunga dan rumpun jagung kering.

Kemudian ada panggung peserta di bagian utara, panggung tamu undangan di selatan dan panggung talk show di bagian barat. Sebelahnya adalah pajangan baliho bertuliskan Adat Trail Festival dan tema ‘Mewarisi Narasi Budaya Bagi Generasi’.

Adat Trail Festival adalah sebuah acara mencari jejak budaya yang diinisiasi komunitas pemuda Ola He Creative Team-Boawae. Para pemuda pemudi Boawae mengangkat jejak budaya yang sudah sekian lama ditinggalkan lewat Hari Sumpah Pemuda.

***

Ernesta (14), Kristina (14), dan Roswita (13) adalah siswi SMP N 3 Boawae Satap. Mereka ialah peserta Adat Trail Festival yang diundang Ola He Creative Team-Boawae untuk mengisi salah satu mata acara dalam praktik ritual adat.

Simulasi ritual yang ditampilkan terkesan sakral. Suasana yang mulanya ramai berubah hening. Para penonton terkesima. Semua fokus memandang penampilan mereka.

Praktik ritual menanam saat Adat Trail Festival di Kelimado (Foto: Ian Bala/Ekora NTT)

Tiga siswi itu mengaku terkesan atas tampilan ritual itu, sebab, menyentuh langsung dengan kehidupan perempuan. Adalah ritual Pe Ke’o. Ritual tersebut termasuk rangkaian acara adat tentang sistem pertanian untuk kebutuhan nutrisi perempuan.

“Saya sendiri baru mengetahui, ternyata ritual ini untuk membela kelangsungan hidup ibu-ibu penyusu,” kata Kristina. Makna dan pesan dari ritual tersebut membuat Ernesta, Kristina dan Roswita menyadari betapa penting tatanan budaya untuk kehidupan perempuan.

Praktik jejak budaya yang diselenggarakan Ola He Creative Team berkolaborasi dengan pemerintah itu mengajak Ernesta, Kristina dan Roswita mengenal lebih dekat tentang budaya adat. Dari festival itu berkesan bagi mereka.

“Kesannya bahwa ritual itu menyentuh langsung dengan kehidupan manusia,” ujar Ernesta. Sedangkan Roswita menyebut Hari Sumpah Pemuda 2022 membawa pengetahuan penting bagi generasi bangsa.

***

Setiap tahun, tanggal 28 Oktober diperingati sebagai Hari Sumpah Pemuda. Tahun ini, Hari Sumpah Pemuda menjadi peringatan yang ke-94. Adapun tema yang diangkat pada peringatan Hari Sumpah Pemuda tahun 2022 yaitu ‘Bersatu Bangun Bangsa’.

Hari Sumpah Pemuda menjadi salah satu momen bersejarah bagi Bangsa Indonesia. Di mana para pemuda-pemudi bangsa menggelorakan semangat untuk meraih kemerdekaan pada tahun 1928. Ada banyak hal yang dapat dilakukan para pemuda-pemudi saat ini untuk memperingati Hari Sumpah Pemuda.

Berbeda di Boawae, Nagekeo, Hari Sumpah Pemuda berubah menjadi hari pencari jejak adat oleh kaum muda. Para pemuda mengangkat kembali tradisi adat yang mulai punah dan menjadikan bagian yang tak terpisahkan dari cara hidup manusia.

Ancy Chyllo, Koordinator Ola He Creative Team mengatakan tradisi budaya dan adat istiadat ialah jati diri masyarakat adat Boawae. Kebiasaan yang ditanam sejak zaman dahulu merupakan tatanan kehidupan manusia berlandasarkan kepercayaan.

“Budaya dan adat istiadat itu jati diri. Dari tradisi itu membentuk perilaku manusia yang memercayai dan yang menjalankan,” katanya.

Acara Adat Trail Festival tersebut diawali apel sumpah pemuda bernuansa budaya. Para peserta yang dominan pelajar, orang muda diikuti tetamu mengenakan busana adat. Mereka hadir dan mengisi sejumlah acara festival jejak adat.

Ola He Creative Team mencatat sebanyak 13 kelompok pelajar dan kelompok masyarakat dari berbagai desa dan kelurahan mementas berbagai mata acara. Setidaknya terdapat 20 mata acara yang dipentaskan.

Ada permainan rakyat misalnya permainan toka taka menggunakan tempurung kelapa, permainan gasing, penampilan tarian bambu, tarik tambang, lompat karet, ular naga dan benteng sodor.

Permainan tradisional atau Toka Taka (bahasa Nagekeo) yang ditampilkan pelajar di Kelimado (Foto: Ian Bala/Ekora NTT)

Selain itu, peragaan cerita rakyat (Ebu Gogo), penampilan acara ritual budaya tahunan yang kaitan erat dengan kehidupan pertanian masyarakat Boawae. Terdapat 17 acara ritual adat yang ditampilkan peserta yakni; tarian Dogo, pembukaan To’a Lako (To’a Lako, No’e Lako dan Dai), Pata Melo, Tege Ulu Wawi dan penutup To’a Lako.

Selanjutnya, adat acara ritual Pata Woka (buka lahan pertanian), Pata Joki (menanam), Ka Buku dan Teke dan Pe Ke’o. Kemudian penampilan tarian Tea Eku, Tenu Mane, Ka Wete, Dero, ritual pembuka Etu, Etu dan ritual penutupan Etu.

Chyllo menyebut sebagian rangkaian acara yang ditampilkan saat itu sudah tidak dijalankan seperti biasanya. Padahal, masing-masing memiliki makna dan pesan bagi seluruh masyarakat adat.

“Jadi kami merayakan sumpah pemuda bernuansa budaya. Kami mencari jejak-jejak adat dan budaya yang mulai hilang untuk diangkat kembali”

***

Tokoh Adat Kelimado Tarsisius M Lado menyatakan tahapan ritual adat mempunyai pesan dan makna tersendiri terhadap sikap, perilaku dan membawa arah kehidupan manusia menuju kemakmuran. Konon, ritual adat Boawae berhubungan erat dengan kegiatan pertanian.

Perkembangan zaman dan pesatnya kemajuan teknologi sangat mempengaruhi perilaku manusia yang pada akhirnya mengabaikan kualitas kearifan lokal.

Sistem pertanian diubah dari tradisional menjadi modern, seperti gaya hidup manusia baru. Tarsisius bilang, perubahan ini cukup mempengaruhi pergesaran prosesi ritual budaya

“Lahan pertanian disemprot pestisida sehingga humus tanah berkurang yang mempengaruhi pada hasil kebun menurun,” katanya.

Pengaruh teknologi terhadap hubungan manusia dan kebudayaan saat ini sangat terasa, dilihat dari perubahan perilaku manusia sehari-hari. Bagi Tarsisius, kebudayaan menjadi media penting dalam tatanan kehidupan manusia sebagai kompas atau arah hidup.

lewat festival jejak budaya, diharapkan bisa menghasikan bahan refleksi kebudayaan menjadi rekomendasi kepada pemuda sebagai generasi bangsa.

Tarian pelajar sebelum Upacara Apel Hari Sumpah Pemuda di Kelimado (Foto: Ian Bala/Ekora NTT)

Kepala Desa Kelimado Petrus Mola menuturkan festival tersebut sebagai ajang pementasan tradisi untuk memikat kaum muda di Boawae agar peduli terhadap warisan leluhur sebagai kearifan lokal. Kegiatan itu bermaksud menumbuh semangat pemuda-pemudi dalam budaya dan menumbuh narasi budaya bagi generasi, serta menciptakan semangat gotong royong.

“Semangat gotong royong kita sudah punah dipengaruhi teknologi,” kata Petrus.

Bupati Nagekeo Johannes Don Bosco Do saat talk show budaya yang dipandu Dinas Kominfo mendorong orang muda Nagekeo untuk membangkitkan semangat kebudayaan di wilayah adat masing-masing.

Bupati Don memberikan kepercayaan kepada orang muda dengan attitude dan skill yang dimiliki untuk mengonsolidasi kegiatan bernuanasa kebudayaan. Ia berharap tahapan ritual bisa dikuatkan melalui cerita atau narasi budaya.

“Seperti ritual Ka Wete yang ditampilkan tadi hampir hilang. Semua tahap ritual sangat berhubungan dengan kehidupan pertanian. Agri culture, yang kita bangun dengan berbagai latar belakang ini kita bisa promosikan melalui pariwisata,” tutur dia.

Bupati Don meminta para tetua adat agar terus memberi penguatan kepada pemuda-pemudi Nagekeo dengan menjalankan ritual secara berulang-ulang sesuai dengan kalender agraria.

Pesan Bupati Don diharapkan Ernesta, Kristina dan Roswita agar warisan budaya tidak hanya sekedar seremonial. Mereka berharap jejak-jejak budaya yang diangkat lewat Hari Sumpah Pemuda dapat diimplementasikan setiap tahun.***

spot_img
TERKINI
BACA JUGA