Menyoal Banalitas Perdagangan Manusia

Oleh: Ardy Milik*

Dunia ketenagakerjaan Indonesia hanya berkembang dalam pembaharuan regulasi dari tahun ke tahun. Begitu pun kebijakan politik bilateral dan multilateral.

Ketimpangan yang menjadi akar persoalan banalitas kejahatan perdagangan manusia belum mampu disentuh oleh sekian banyak kebijakan.

Pembebasan Ambhika MA Shan majikan Adelina Sau, 23 Juni 2022 oleh Mahkamah Tinggi Malaysia, memperpanjang deretan ketimpangan dalam dunia kerja.

Kekerasan yang dilakukan majikan Adelina mencerminkan watak para majikan di negara penempatan pekerja. Bengis dan tidak manusiawi.

Mari kita melihat Adelina. Ia menjadi korban mafia perdangan orang; direkrut saat masih berusia anak dan dikirim ke Malaysia pada 2011; pulang tiga tahun kemudian pada September.

Pada Agustus 2015 berangkat secara non prosedural dan bekerja sebagai Asisten Rumah Tangga di Bukit Mertajam, Penang, Malaysia. Pada majikan terakhir Ambhika MA Shan, perempuan asal Timor Tengah Selatan itu mendapat perlakuan keji. Ia disiksa hingga mukanya lebam, ditidurkan bersama anjing sejak Januari-Februari 2018. Sehari setelah ditemukan ia meninggal dunia pada 12 Februari 2018 dengan diagnose dokter mal nutrisi dan terdapat bekas gigitan binatang.

Patut dicamkan, Malaysia punya catatan hitam dalam memperlakukan TKI. Tapi, mengapa majikan itu dibebaskan?

Rasa kecewa saja tidak cukup menanggapi fakta hukum, bahwa korban tidak mendapat keadilan, sementara pelaku divonis bebas. Kekecewaan ini semestinya berbuah kebijakan tegas, dengan menuntut moratorium total pengiriman pekerja migran Indonesia ke Malaysia sampai ada perubahan menyeluruh pada sistem perekrutan, pelatihan, penempatan, perlindungan dan pemulangan.

Meski hampir setiap tahunnya selalu ada pembaharuan regulasi-regulasi yang kelihatan berpihak tetapi sebenarnya hanya ada di permukaan, lapisan dasarnya tetap dalam wajah yang sama: menghisap dan banal.

Proses penegakan regulasi tidak dapat terwujud karena adanya penjarakan antara nilai, kaidah dan pola perilaku. Faktor yang mempengaruhi penegakan regulasi antara lain; faktor penegak hukum, psiko-sosial, sarana, masyarakat dan kebudayaan (Soekanto: 2004:8).

Sepanjang tahun 2021; menurut data Sistem Informasi Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA), tercatat 678 korban Tindak Pidana Perdaganan Orang (TPPO). Meningkatnya jumlah korban dari tahun ke tahun menggambarkan bahwasanya kebaruan regulasi tidak mampu menjamin kepastian hidup pekerja migran.

Selain itu, akumulasi jumlah korban sepanjang lima tahun; 2014-2019 mencapai 2.648 korban, dengan rincian 2319 korban perempuan dan 329 korban laki-laki sesuai pendataan  Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang (GTPP-TPPO). Bagaimana efektivitas sekian aturan negara di dalam mencegah jatuhnya korban?

Menurut catatan Jaringan Kargo Bandara El Tari, jejaringan organisasi masyarakat sipil di Nusa Tenggara Timur yang mengadvokasi para pekerja migran per Juni 2022 sudah 66 jenazah pekerja migran yang dipulangkan ke Nusa Tenggara Timur. Dari jumlah tersebut, pekerja migran yang tergolong, Angkatan Kerja antar Negara (AKAN) berjumlah 46 orang, dan Angkatan Kerja antara Daerah (AKAD) 20 orang.

Persentase pekerja migran yang meninggal berdasar negara penempatan yakni; Malaysia sekitar 68,2 persen, Indonesia, 30,3 persen dan Afrika Tengah, 1,5 persen. Dan hal yang menjadi penyebab kematian yakni gantung diri, kecelakaan lalu lintas, kecelakaan kerja, tenggelam, dibunuh, sakit, dan ada pula yang tidak diketahui penyebab kematiannya.

Logika Penghisapan

Sesuai data Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI), sepanjang 2014-2019, ada 1.763.134, pekerja migran Indonesia yang dikirim ke negara penempatan. Meningkatnya pengiriman pekerja migran berkorelasi dengan faktor-faktor pendukung; kemiskinan struktural, pendidikan rendah, petani tidak dianggap sebagai pekerjaan, prestise sosial berupa harus punya rumah tembok dan kendaraan bermotor, kehilangan lahan garapan akibat perampasan tanah, penindasan terhadap perempuan.

Selain itu faktor penariknya: iming-iming gaji tinggi untuk memperbaiki taraf hidup, merantau ke kota besar karena sumpek dengan kehidupan di desa, wewenang luas perusahaan pengerah jasa tenaga kerja tanpa perimbangan pada kontrol atas mekanisme pekerjaannya dan bangunan regulasi yang saling tumpang tindih hingga lemah dalam implementasi.

Sekian banyak jumlah manusia yang berkehendak mengubah nasib tidak sejalan dengan pengetatan aturan perlindungan pekerja. Sistem perlindungan yang tidak kompatibel dengan mudahnya akan mengarak para pekerja masuk ke dalam lingkaran penghisapan tak berujung dan itu dinamakan eksploitasi paling sadis.

Eksploitasi manusia atas manusia berawal dari kebutuhan akumulasi kapital yang mengincar tenaga-tenaga kerja murah untuk akselerasi peningkatan modal. Tenaga manusia hanya dihargai dalam nilai guna atau nilai uang yang sejak perekrutan awal sudah bertendensi manipulatif.

Dalam perspektif Neo-Marxian, apa yang diproduksi kapitalis bukan hanya suatu barang dagangan material baru. Tetapi suatu hubungan sosial eksploitasi tenaga kerja. Produksi kapitalis memiliki karakter ganda. Ia tidak hanya memerlukan produksi barang-dagangan material untuk digunakan. Kapitalis berorientasi pada produksi nilai lebih untuk akumulasi modal. Pada akhirnya, kapitalis hanya peduli pada nilai lebih, yang akan direalisasikan sebagai keuntungan moneter (Harvey, 2017: 24).

Tenaga kerja murah tanpa kapasitas memadai, dianggap tidak kompeten untuk bersaing dalam dunia kerja, merupakan objek penderita dalam bisnis ketenagakerjaan. Permintaan tinggi akan tenaga kerja murah, memicu para cukong melebarkan ekspansi perekrutan pekerja low skill pada kantong-kantong tenaga kerja berusia produktif dengan kapasitas di bawah standar.

Penggunaan posisi rentan, iming-iming gaji tinggi dengan modus perekrutan melalui media sosial Facebook dan jaminan bahwa dapat mengubah nasib dengan menjadi pekerja migran.

Beberapa modus operandi  mafia perdagangan orang ini terus berkamusflase seiring dengan pengawasan yang makin ketat, terungkapnya jejaring mafia perdagangan orang pada 2016 lalu dalam kasus Yufrinda Selan dan makin sulit terdeteksi pada saat pandemi Covid-19.

Potensi usia muda yang tidak terserap dalam dunia tenaga kerja akibat ketimpangan struktural di tempat asalnya, merupakan lahan subur bagi industri tenaga kerja, industri perkebunan sawit juga kerja sektor domestik-asisten rumah tangga, pengasuh lansia, pelayan toko merupakan jenis-jenis pekerjaan yang dilakoni oleh para pekerja tanpa keterampilan.

Seolah berkesinambungan, pada galibnya tingkat pemahaman yang rendah turut menjerumuskan pekerja ke dalam lingkaran penghisapan tiada berujung. Apalagi, sistem regulasi dalam format apapun belum mampu menjamin kepastian hak-hak dasar yang harus diterima oleh pekerja.

Pemutakhiran peraturan terbaru malah mensistematisasikan perdagangan orang (human trafficking) melalui mekanisme perekrutan yang dikuasai oleh pihak swasta di dalam sistem perekrutan satu pintu. Sebagaimana pengalaman menyatakan bahwa kontrol negara atas kondisi pekerja sektor domestik cenderung lemah.

Penandatangan nota kesepahaman antara pemerintah Indonesia dan Malaysia mengenai Penempatan dan Perlindungan Pekerja Migran sudah dimulai sejak tahun 2006, lima tahun kemudian ada pembaharuan perjanjian.

Kesepakatan berlanjut hingga 2016 perjanjian tidak pernah diperbaharui lagi karena kedua belah pihak tidak mencapai kesepakatan. Apa lacur, kondisi pekerja migran tidak pernah jauh dari eksploitasi.

Baru pada April 2022, ke dua negara memperbaharui nota kesepahaman, di dalamnya terdapat beberapa poin penting. Pembaharuan perjanjian ini hanya berlangsung sepanjang empat bulan.

Pada Juli 2022, Indonesia menghentikan sementara pengiriman pekerja migran Indonesia ke Malaysia ditenggarai negeri Jiran masih menerapkan maid online atau sistem perekrutan pekerja migran Indonesia sektor rumah tangga tanpa perlindungan. Kemudian per 1 Agustus 2022, kembali dibuka pengiriman pekerja migran Indonesia setelah dinilai Malaysia dapat menerapkan perjanjian yang disepakati sebelumnya.

Tarik ulur dalam penerapan kebijakan antar kedua negara membuktikan, bentuk perbudakan modern yang dikenal dengan perdagangan orang tidak pernah selesai dalam aras kebijakan. Ironinya, meski kebijakan tidak pernah selesai dalam tahapan diplomatis, kran perekrutan penampungan, pelatihan, penempatan sampai pemulangan pekerja migran terus terbuka. Dengan demikian, watak negara yang melanggengkan dehumanisasi merupakan ciri negara yang tidak mampu mengejawantahkan amanah rakyatnya.

Selain regulasi baku yang rapuh. Penghalusan istilah pada subjek migrasi dalam teks-teks hukum sampai menjadi wacana publik tidak mengubah sama sekali kondisi aktual para pekerja migran Indonesia. Menjadi langganan penghisapan, pemerasan, korban pemukulan, siksaan bahkan kematian adalah fakta.

Fakta yang menegasi penghalusan term bagi para migran yang sejatinya bertujuan mengubah persepsi dan perlakuan pada pekerja. Situasi pekerja tetap terhisap, meski aturan terbaru menyebutnya dengan sebutan yang dianggap lebih manusiawi.

Beberapa contoh penghalusan istilah di antaranya; dari Tenaga Kerja Indonesia (TKI) menjadi Pekerja Migran Indonesia (PMI) atau Pekerja Migran Indonesia Domestik (PMID), pekerja migran ilegal menjadi pekerja migran non-prosedural, Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta (PPTKIS) menjadi Perusahaan Pengerah Pekerja Migran Indonesia (P3MI).

Ongkos Demi Devisa

Dalam skala kenegaraan kebijakan menghentikan pengiriman pekerja migran asal Indonesia terlampau sulit diambil,; tentu karena pemerintah akan kehilangan pemasukan devisa.

Stabilitas keuangan negara dalam hubungan dengan pasar dunia salah satunya sangat bergantung dari cadangan devisa yang ada. Pertanyaannya, apakah pantas nyawa warga negara Indonesia dikorbankan hanya untuk meningkatkan pendapatan devisa negara sembari menguratakarkan perbudakan modern?

Bangunan pemahaman bahwa perbudakan merupakan kejahatan luar biasa yang mengingkari hakikat kemanusiaan serentak merampas otonomi warga negara semestinya nyata dalam praksis sekian elemen di dalam kehidupan bernegara.

Bagaimana bisa perbudakan tetap langgeng dalam arus modernisasi pemikiran dan teknologi? Mirisnya, para pemangku kepentingan dan elit rakyat dengan sekian kapasitas dan gelar tidak mampu membedakan antara ‘tenaga kerja’ dan ‘perdagangan orang’ (human trafficking). Padahal, perdagangan orang inilah yang biasa disebut sebagai perbudakan modern (Li, 2017: 5)

Perdagangan orang masih dan akan terus terjadi di Nusa Tenggara Timur menyasar buruh usia produktif dengan biaya murah. Pemuda yang tidak memiliki harapan akan masa depan akan dengan mudah tertular berbagai iming-iming kesejahteraan.

Akhirnya, selama kehendak baik di dalam teks tidak mampu diterjemahkan dalam laku untuk melawan perdagangan orang; maka perdagangan manusia akan tetap subur.

Selama sekian banyak jenazah yang pulang dalam keadaan meninggal masih dilihat sebatas angka, dengan didukung rezim yang mudah mengobral tanah, air, dan hutan, pada para komprador sembari aparatnya menghajar-menggusur kalau rakyatnya melawan, maka cita-cita bersama memberantas perdagangan orang (zero human trafficking) mungkin hanya akan menjadi mimpi.

*Alumni Fakultas Filsafat UNIKA Widya Mandira Kupang-Junior Researcher IRGSC (Institute of Resource Governance and Social Change). Tulisannya tersebar di Pos Kupang, Victory News, Timor Express dan beberapa media daring lainnya.

spot_img
TERKINI
BACA JUGA