Bongkar Stigma OdGJ: Usaha Melawan Pasung

Oleh: Petrus Ordianus Wilson Laru*

Berbicara tentang kesehatan, kita juga berbicara tentang orang dengan gangguan jiwa (OdGJ). Dalam kehidupan bermasyarakat, kita sudah banyak mengetahui orang dengan gangguan jiwa atau bahasa umumnya orang gila.

Namun demikian, OdGJ bukan masalah sepele karena bicara tentang mereka, banyak persepsi negatif yang mengobjekkan mereka. Umumnya, kita belum mengetahui betul apa itu gangguan jiwa, apa penyebab dari gangguan jiwa, bagaimana cara mengobatinya hingga memperlakukan mereka sebagaimana mestinya manusia normal lain?

Di Kabupaten Flores Timur, khususnya, atau NTT umumnya, orang-orang di kampung kita, membangun keyakinan bahwa OdGJ disebabkan oleh kutukan, santet, dan atau diguna-guna. Pandangan sosiologis ini berbeda atau bertolak belakang dengan pandangan dalam ilmu kesehatan. Dalam ilmu kesehatan gangguan jiwa adalah sindrom atau sekelompok gejala yang mempengaruhi pikiran, perasaan, dan perilaku seseorang sehingga menyebabkan disfungsi dalam menjalankan aktivitas sehari-hari.

Gangguan kesehatan jiwa dapat terjadi karena banyak faktor, terutama faktor genetik dan lingkungan. Ada beberapa faktor yang bisa meningkatkan risiko seseorang mengalami gangguan jiwa yaitu adanya riwayat keluarga, situasi kehidupan, kerusakan otak akibat cedera serius, penggunaan alkohol dan obat-obatan, atau pernah mengidap gangguan jiwa sebelumnya.

iklan

Penulis sengaja membuka pemahaman masyarakat terhadap OdGJ, supaya persepsi subyektif tentang mereka sebagai orang-orang yang terkena santet atau kutukan bisa ditepis atau lebih bagusnya ditolak sedini mungkin.

Persepsi ini disebut dengan stigma, yang hemat Penulis, dari persepsi ini, kita “membangun keterpasungan” bagi penderita. Seolah kita membangun sebuah doktrin, bahkan hukum klasik, bahwa OdGJ mesti dipasung, dikucilkan, dijauhkan, bahkan dipukul atau dijadikan bahan mainan.

Apa Itu Stigma?

Stigma adalah suatu istilah yang berasal dari Bahasa Inggris yang memiliki arti noda atau cacat. Menurut Kementerian Kesehatan, stigma merupakan suatu tindakan pemberian label sosial yang memiliki tujuan mencemari individu ataupun suatu kelompok orang dengan cara pandang yang buruk.

Diungkapkan bahwa OdGJ yang mengalami label atau cap stigma dalam masyarakat akan terlalu sulit berinteraksi dan melakukan kegiatan di lingkungan kelompoknya. Banyak fakta terjadi, masyarakat biasa memperlakukan ODGJ sebagai seseorang yang aneh dan harus dihindari, di mana diskriminasi akan tampak lebih jelas. Hal tersebut mengakibatkan tingginya respons negatif masyarakat yang enggan untuk menerima orang dengan gangguan jiwa di kehidupan komunitasnya.

Risikonya, ada banyak pula OdGJ yang diberi label negatif oleh masyarakat memiliki hasrat untuk melakukan bunuh diri dibanding harus dikucilkan.

Bagi penderita yang mengalami gangguan jiwa, stigma menjadi penghalang. Stigma seperti musuh yang paling mematikan. Stigma ini berakibat pada pelabelan, prasangka, stereotip, pemisahan, kehilangan status dan diskriminasi negatif.

Bicara stereotip, maka itu dengan cepat memberikan kesan yang ada dalam kelompok terebut, orang yang berprasangka setuju dengan stereotip negatif, dan sikap ini mengarah pada diskriminasi melalui perilaku negatif terhadap individu yang sakit mental. Persepsi ini akan perlahan membunuh subyek OdGJ.

Dengan kata lain, mereka aakan sulit untuk beradaptasi kembali walaupun keadaan klien tersebut dalam kategori penyembuhan, dan hal ini juga akan mempengaruhi proses penyembuhan tersebut. Dampak paling utama dalam stigma atau pelabelan ini adalah penyakit yang diderita orang tersebut kembali kambuh, dan tak banyak keluarga klien juga mengalami pelabelan.

Hal lainnya adalah soal lemahnya sumber daya manusia (SDM). Pendidikan yang rendah membuat pemahaman seseorang menjadi terbatas, ditambah lagi pandangan buruk tentang ODGJ yang sudah tertanam hingga jadi persepsi yang kaku dalam masyarakat.

Berdasarkan RISKESDAS (2007) pada Lampiran Teoritis Ranimpi (2009) mengatakan, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) memiliki prevalensi gangguan jiwa di perkotaan sebanyak 8,7 persen sedangkan di pedesaan sebanyak 16,0 persen. Hal tersebut memberikan penguatan bahwa tekanan hidup yang dialami penduduk pedesaan lebih berat dibanding penduduk perkotaan, khususnya meski tidak selalu tekanan terkait kesulitan ekonomi (Riskesdas, 2013).

Dari prevalensi ini, tidak perlu kita melihat jumlah, membuat perbandingan, tetapi bahwa gangguan jiwa dapat mengenai setiap orang, tanpa mengenal umur, ras, agama, maupun status sosial-ekonomi, gangguan jiwa bukan disebabkan oleh kelemahan pribadi (Prabowo, 2014). Secara spesifik, Riskesdas (2013) menulis, prevalensi gangguan jiwa di Nusa Tenggara Timur (NTT) sebanyak 14.5 persen atau diperkirakan mencapai sekitar 4.000-5.000 orang.

Melawan Mitos hingga Lepaskan Pasung

Hingga saat ini, banyak kepercayaan atau mitos mengenai gangguan jiwa. Ada yang percaya bahwa gangguan jiwa disebabkan oleh gangguan roh jahat, ada yang menuduh bahwa itu akibat guna-guna, karena kutukan atau hukuman atas dosanya. Kepercayaan ini menyebabkan penderita tidak mendapat perhatian dan pengobatan layak, bahkan keluarga ikut ter-stigma.

Masyarakat masih menganggap bahwa gangguan jiwa tidak dapat disembuhkan, sehingga penderita diperlakukan dengan tidak berperikemanusiaan lewat pemasungan.

Sebaliknya dalam kebudayaan lain, gangguan jiwa sering diabaikan sehingga penanganan akan menjadi kurang, atau di sisi lain masyarakat dan keluarga kurang antusias untuk mencari bantuan penyembuhan. Masyarakat menganggap OdGJ memalukan atau membawa aib bagi keluarga. Kedua hal inilah yang biasanya terjadi di kalangan masyarakat.

Untuk itu, perlu metode perawatan dan pengobatan bersifat ilmiah serta penyuluhan dari tenaga kesehatan. Pengobatan disesuaikan dengan perkembangan IPTEK, menggunakan obat-obatan psikofarmaka dan terapi lainnya. Demikian juga dengan praktik keperawatan menggunakan metode ilmiah proses keperawatan, komunikasi terapeutiki, dan terapi modalitas keperawatan dengan kerangka ilmu pengetahuan yang mendasari praktik profesional.

Di sini, peran dan fungsi perawat jiwa dituntut lebih aktif dan profesional untuk melaksanakan pelayanan keperawatan kesehatan jiwa. Pada saat ini pelayanan keperawatan kesehatan jiwa berorientasi pada pelayanan komunitas. Pelayanan keperawatan diarahkan pada tindakan preventif dan promotif.

Hal ini sejalan dengan paradigma sehat yang digariskan WHO dan dijalankan Departemen Kesehatan RI, bahwa upaya proaktif perlu dilakukan untuk mencegah terjadinya gangguan jiwa. Upaya ini melibatkan banyak profesi termasuk psikiater dan perawat serta peran aktif dari pemerintah dan keluarga agar penanganan orang dengan gangguan jiwa bisa berjalan baik.

Sebagai satu permintaan, Penulis memberikan catatan akhir. Pertama, masyarakat harus melawan stigma dan menghilangkannya. Kedua, media mesti berada di depan untuk memberi informasi tentang OdGJ supaya masyarakat paham bahwa OdGJ bukan soal santet, diguna-guna, tetapi karena represi pandangan yang kaku dan didoktrin di tengah kehidupan bersama.

Ketiga, pemerintah bisa membangun Rumah Sakit untuk OdGJ untuk membangun manajemen pengobatan dan penyembuhan secara layak.

Keempat, perlu kerja sama pemerintah, pihak media, keluarga, dan masyarakat untuk menolak stigma hingga melawan keterpasungan terhadap korban. Mari kita membangun pemahaman bahwa stigma itu satu racun paling mematikan bagi OdGJ!*

*Mahasiswa Magister Keperawatan Universitas Airlangga Surabaya

spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
TERKINI
BACA JUGA