Membaca Standar Operasional Prosedur

Oleh: Bernardus Tube Beding*

Tidak bisa dimungkiri bahwa tidak sedikit orang tentu pernah dan sudah mendengar, mengucapkan, membaca, dan menulis kata “standar”. Kata “standar” dalam catatan Etymology Online Dictionary mulai digunakan pada pertengahan abad ke-12 oleh kaum militer dalam mengatur ukuran bendera militer, baik berat maupun luas. Pengaturan bendera demikian dengan maksud supaya mencolok sebagai penanda tempat berkumpul bagi para militer membangun kekuatan. Konsep ini seperti diartikan dalam KBBI V, standar adalah panji-panji, bendera (sebagai lambang) dan alat penopang yang berkaki (untuk menaruh bendera dan sebagainya).

Tentu, penggunaan bendera yang “berstandar” merujuk pada bobot dan ukuran sesuai kehendak raja atau pun pemimpin perang. Raja maupun keluarganya memiliki otoritas dalam mengatur bobot dan ukuran sesuatu. Latar tersebut membuat konsep “standar” merujuk pula pada aturan pokok dalam rana pengadilan dan penghakiman. Bahkan, sekitar tahun 1711 makna “standar” melebar pada tingkat pencapaian tertentu dalam kehidupan seseorang.

Kalau dikonsepkan secara etimologis, kata “standar” berasal dari bahasa Perancis Kuno, yakni estandard. Sementara menurut Bernhart Etimology Dictionary, kata tersebut berasal dari tradisi bahasa Frankish, bahasa suku Jermanik, yakni kata standhard yang merupakan gabungan dari kata stand dan hard. Standhard dapat diartikan stand fast or firm yang merujuk pada sifat bendera militer sebagai penanda tempat berkumpul. Namun, beberapa sumber lain menyebut “standar” berasal dari bahasa Old France estendre yang berarti berbaring, bersumber dari bahasa latin extendere (Petuguran, 2017).

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Edisi V, kata “standar” diartikan sebagai (1) ukuran tertentu yang dipakai sebagai patokan, (2) ukuran atau tingkat biaya hidup, (3) sesuatu yang dianggap tetap nilainya sehingga dapat dipakai sebagai ukuran nilai (harga), dan (4) baku. Kata “standdar” merupakan diksi serapan dari bahasa Inggris, yakni standard yang dalam Oxford Dictionary diartikan sebagai a level of quality or attainment. Kata dasar “standar” berkembang menjadi kata turunan “berstandar”: mempunyai standar, “menstandarkan”: memasang standar, menjadi standar (membakukan) “penstandaran”: proses, cara, perbuatan menstandarkan, pembakuan, dan “terstandarkan”: sudah distandarkan.

iklan

Penggunaan kata “standar” pada PP Nomor 19 Tahun 2005 dapat ditelisik ketepatan dan ketidaktepatannya. Standar digunakan untuk menggambarkan aspek-aspek manajerial, maka dapat dipertanggungjawabkan karena memenuhi aspek bobot dan ukuran. Namun, standar digunakan untuk menggambarkan kondisi insani dan dimensi kemanusiaan, maka berpotensi menyimpangkan pemahaman terhadap hakikat manusia dan kemanusiaan. Artinya bahwa standar mengacu pada konsep berat dan ukuran yang pasti dan mekanis, sedangkan realitas kemanusiaan selalu bersifat unik, spekulatif, perskriptif, dinamis, dan tanpa batas.

Diksi “standar” umumnya digunakan dalam dunia korporasi, seperti lembaga-lembaga pendidikan, pemerintahan, sosial, industri, dan lain sebagainya. Penggunaan “standar” dalam dunia industri menurut Ping (2011) karena kecenderungan sebuah perusahaan meningkatkan kapasitas produksi dan memperoleh keuntungan lebih tinggi; juga ekspansi kapasitas kualitas tenaga kerja. Proses ini bermula di Inggris ketika terjadi revolusi industri setelah ditemukannya mesin uap oleh James Watt. Awalnya, konsep standarisasi diterapkan pada aspek-aspek luar produk, tetapi kemudian berkembang mencakup aspek-aspek yang lebih penting, seperti desain produk dan proses produksi. Hal ini sejalan dengan perkembangan teknologi dan informasi sehingga standarisasi didorong ke konteks tersebut (Petuguran, 2017).

Penggunaan “standarisasi” dalam dunia korporasi zaman sekarang bertujuan meningkatkan kinerja kerja, produktivitas dan keuntungan, kualitas, sumber daya, dan biaya. Tidak salah setiap lembaga dan unit-unit korporasi memiliki gaya selingkung standar untuk mencapai aspek-aspek tersebut.

Dalam konteks sumber daya, standarisasi niscaya disematkan juga pada para tenaga kerja: para pegawai, karyawan, pemimpin, dan anggota suatu lembaga dan unit. Sangat disayangkan jika standarisasi SDM ditetapkan dan dibangun secara otoritas atau sepihak oleh pemimpin, tanpa dialog atau kesepakatan dengan tenaga kerja. Tidak salah kalau Ping (2011) menyatakan bahwa tidak dapat dimungkiri dalam produksi massal tenaga kerja tidak mendapat perlakukan tepat, tenaga berkeahlian master tidak diperlukan. Bahkan, para pekerja juga tidak perlu memahami makna dari pekerjaannya. Kehadiran tenaga kerja ibarat sekrup dalam sebuah mesin besar yang ditugaskan untuk mengulangi pekerjaan yang sama setiap hari.

Saya juga jadi ingat pernyataan tegas Sigmund Freud, seorang psikiater dari Austria dalam tulisan Das Unbehagen in der Kultur Kapitel 1, ”Man kann sich des Eindrucks nicht erwehren, daß die Menschen gemeinhin mit falschen Maßstäben messen, Macht, Erfolg und Reichtum für sich anstreben und bei anderen bewundern, die wahren Werte des Lebens aber unterschätzen”. Artinya bahwa kita tidak bisa mengingkari kesan bahwa manusia umumnya menggunakan standar yang keliru. Mereka mencari kekuatan, sukses, dan kekayaan untuk diri mereka sendiri, memuji diri mereka di hadapan orang lain, dan mereka memandang rendah pada apa yang sebenarnya berharga dalam hidup. Ini ada dan hidup dalam realitas. Pemimpin menetapkan standar tanpa proses kajian dan analisis keberadaan anggotanya. Hak prerogatif lebih mendominasi dibanding dialog, musyawarah, dan mufakat. Aroma “perintah” lebih hidup daripada “mengingatkan dan menyadarkan”.

“Standar” muncul dalam frasa Standard Operasional Prosedur (SOP) untuk menyebut langkah-langkah yang harus dilakukan seseorang dalam melaksanakan pekerjaannya di suatu lembaga atau unit kerja korporasi. Gabriele (2018) mengartikan SOP sebagai pedoman, acuan, ketentuan guna melangsungkan tugas dan pekerjaan seperti melingkupi fungsi pada pekerjaan terkatakan.

Keberadaan SOP membantu peningkatan kinerja kerja, produktivitas dan keuntungan, kualitas, sumber daya, dan biaya pada korporasi. Proses kerja dalam sebuah korporasi dengan merujuk pada SOP, tentu hasilnya berkualitas.

SOP dikenakan pada semua unit dan lembaga korporasi, termasuk pendidikan: sekolah dan kampus. Tujuannya menghadirkan komitmen proses kerja dan penilaian mutu kinerja. Sekolah dan kampus sebagai lembaga pendidikan menjunjung tinggi kualitas pelayanan dan pengembangan sumber daya di jalan SOP.

Memang tidak dapat dimungkiri juga bahwa pelayanan publik akademik maupun non-akademik di dunia pendidikan masih jauh dari SOP. Harapan mendapat pelayanan yang baik dan bernilai masih jauh dari harapan. Padahal itu merupakan tujuan primer akademik secara kuantitas maupun kualitas. Mental instan dan supaya cepat tercapai, jalan SOP diabaikan. Muncul pemikiran “dia adalah keluarga saya” membuat pelayanan tidak di jalur SOP.

Satu sisi, perancangan dan pelaksanaan pembuatan SOP dianggap cacat karena tidak melibatkan semua anggota dan pimpinan, sikap otoritas pemimpin mendominasi. Penentuan pelayanan publik didasar pada kedekatan emosional, bukan mengedepankan profesionalitas. Memang hasilnya ada, tapi bisa beraroma nepotisme, bersifat sementara, asal jadi, dan sebagainya. Karena itu, realitas ini harus mendapat tempat evaluasi oleh korporasi.

Untuk itu, supaya fungsi SOP berjalan baik, mesti dibuat jelas sehingga tidak menimbulkan kesalahan persepsi dalam penerapannya. Pengawasan dan evaluasi harus mendapat tempat pada setiap unit kerja. Seperti kata Robert J. Lumsden, A good criterion for measuring success in life is the number of people you have made happy. Standar (Operasional Prosedur) terbaik untuk mengukur keberhasilan Anda dalam kehidupan adalah dengan menghitung jumlah orang yang telah Anda buat bahagia.*

*Dosen PBSI Unika Santu Paulus Ruteng

TERKINI
BACA JUGA