Kupang, Ekorantt.com– Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) NTT merelokasi buaya dari Perairan Mulut Seribu, Kecamatan Landu, Kabupaten Rote Ndao pada Senin, 8 April 2024.
Relokasi ini dilakukan setelah mendapat laporan dari masyarakat terkait munculnya seekor buaya di Perairan Mulut Seribu.
Buaya tersebut telah menyerang ternak warga dan mengakibatkan masyarakat enggan untuk melakukan aktivitas di laut.
“Buaya terlihat warga pada 22 Maret 2024 dan telah menyerang ternak warga yaitu kambing. Buaya itu meresahkan nelayan baik pencari ikan, budidaya rumput laut budi daya lobster serta mengganggu aktivitas masyarakat lainnya,” kata Plt. Kepala Bagian Tata Usaha BBKSDA NTT, Joko Waluyo dalam rilis yang diterima pada Selasa, 9 April 2024.
Berdasarkan laporan tersebut, pimpinan BBKSDA NTT segera menugaskan staf resort suaka margasatwa yang berada di Desa Daiama, untuk melakukan verifikasi laporan.
Juga dilakukan assesment kondisi lapangan guna memastikan kebenaran laporan dan penyiapan data dukung untuk dilakukannya operasi penangkapan atau relokasi buaya.
Pada 6 April 2024, anggota Unit Penanganan Satwa BBKSDA NTT ditugaskan ke lapangan untuk melakukan upaya penanganan.
“Tim selanjutnya berkoordinasi dengan Kepala Desa Daiama dan warga pelapor,” jelas Joko.
“Setelah terlebih dahulu melakukan orientasi lapangan, Tim segera melakukan pemasangan jerat dan observasi malam,” imbuh dia.
Ia menjelaskan, pada hari kedua operasi Senin, 8 April 2024, antara pukul 02.00 hingga 04.00 Wita seekor buaya jantan sepanjang 397 sentimeter berhasil ditangkap.
Selanjutnya buaya jantan tersebut diproses evakuasi ke kandang penampungan sementara di Kupang untuk proses lebih lanjut.
Interaksi Negatif
Joko menambahkan, interaksi negatif antara satwa liar buaya dengan manusia di NTT cukup tinggi dibandingkan provinsi lain.
Berdasarkan pada basis data korban konflik buaya dengan manusia di tahun 2023, tercatat 15 warga menjadi korban serangan buaya. Tercatat, lima orang di antaranya meninggal.
Konflik terbanyak terjadi di Pulau Timor dengan tujuh kejadian, di Pulau Sumba enam kejadian, serta Flores dan Lembata masing-masing satu kejadian.
“Pada tahun 2024 hingga April 2024 terdapat dua kejadian konflik yang mengakibatkan satu orang meninggal,” terang Joko.
Penyelesaian interaksi negatif ini, kata dia, sebenarnya harus dilakukan dengan memperhatikan akar permasalahan antara lain, perbaikan habitat berupa hutan mangrove yang rusak serta membatasi aktivitas masyarakat pada kawasan yang diperuntukkan sebagai habitat satwa.
“Insiden buaya yang muncul di area publik, dimungkinkan terjadi karena buaya yang mencari habitat baru akibat habitat aslinya yang rusak atau adanya persaingan teritorial yang mengakibatkan individu tertentu harus pindah,” katanya.
Pada kasus tertentu, tambah Joko, buaya juga berinteraksi dengan masyarakat saat mereka melintas untuk pindah atau mencari makan.
Solusi
Menurut Joko, solusi jangka pendek yang diambil pemerintah saat terjadi interaksi negatif khususnya pada areal publik atau wilayah yang dekat dengan pemukiman adalah menangkap dan merelokasinya ke tempat tertentu.
Dengan cukup banyaknya buaya yang saat ini berada pada penampungan sementara di BBKSDA NTT, perlu dilakukan upaya untuk mengubah masalah menjadi peluang. Misalnya, dengan dibangunnya fasilitas lembaga konservasi umum yang antara lain dimanfaatkan untuk wisata.
“Diperlukan partisipasi para investor untuk memanfaatkan peluang tersebut dengan dukungan pendampingan proses perizinan oleh BBKSDA NTT,” harap Joko.
BBKSDA NTT mengimbau masyarakat untuk tidak mengambil langkah sendiri saat terjadinya pertemuan dengan buaya, tidak membuang sisa makanan di laut yang dapat memancing kehadiran buaya, serta melaporkan kejadian interaksi negatif buaya melalui Call Center BBKSDA NTT.