112 Kabupaten Pesisir di Indonesia Alami Banjir Rob, Bencana Nyata yang Butuh Disikapi Serius

Menurut dia, bencana nyata banjir rob karena penurunan permukaan tanah dan kenaikan muka air laut tentu saja harus disikapi dengan serius.

Jakarta, Ekorantt.com – Anggota Pokja Nasional Land Subsidence Indonesia, Heri Andreas mengungkapkan, terdapat 112 kabupaten dan kota pesisir di Indonesia mengalami banjir rob.

Banjir rob di Indonesia menurut dia, sudah menjadi bencana nyata yang tentu saja membutuhkan antisipasi.

“Dalam dua puluh tahun terakhir ini wilayah pesisir di Indonesia disajikan sebuah fenomena pesisir bernama banjir rob atau coastal inundation akibat dampak dari land subsidence dan sea level rise,”  jelas Heri dalam keterangan yang diterima Ekora NTT, Kamis, 25 Juli 2024.

Wilayah pesisir yang tercatat mengalami banjir rob yang serius yaitu pesisir pantai utara (Pantura) Jawa, pesisir pantai timur Sumatera dan pesisir Kalimantan.

iklan

Lambat laun banjir rob kian meluas dikarenakan masih terus terjadi land subsidence (penurunan permukaan tanah) dan sea level rise (kenaikan muka air laut).

“Bahkan di beberapa tempat banjir menjadi permanen, yang artinya daratan telah hilang menjadi lautan,” kata Heri.

Bagi dia, kondisi ini menjadi sebuah bencana yang nyata. Bahkan tidak sedikit kerugian materi yang harus dikeluarkan akibat bencana banjir rob ini.

“Hitungan kasaran konsekuensi biaya yang harus dikeluakan oleh pemerintah sudah menyentuh angka 1000 triliun rupiah,” pungkas Heri.

Harus Disikapi Serius

Menurut dia, bencana nyata banjir rob karena penurunan permukaan tanah dan kenaikan muka air laut tentu saja harus disikapi dengan serius.

Harus kita kurangi risiko bencananya melalui upaya manajemen kebencanaan, kata Heri.

Langkah-langkah awal dalam rangka pengurangan risiko dilakukan oleh pemerintah dengan cara pembuatan tanggul di pesisir pantai, meninggikan infrastruktur pesisir hingga melakukan evakuasi penduduk pesisir di beberapa wilayah tertentu.

“Untuk langkah-langkah yang lebih ultimate dan best practice ke depannya, harus dimulai dari pendalaman masalah, pemantauan dan pemetaan bahaya, kemudian dilanjutkan oleh upaya prevensi, mitigasi dan atau adaptasi yang lebih terukur,” ujar Dosen dan Peneliti Institut Teknologi Bandung (ITB) itu.

Pokja Nasional Land Subsidence Indonesia dan Program Lasii Unesco Annual Meeting kemudian melakukan konferensi ilmiah untuk berdiskusi mengurangi risiko bencana yang terjadi akibat penurunan permukaan tanah di Grand Mercure Kemayoran Jakarta, Rabu, 24 Juli 2024.

Institut Teknologi Bandung menjadi panitia penyelenggaran dan sponsor dalam kegiatan dengan tema “Insight Best Practice of Management against Land Subsidence Disaster” (Konsep Praktik Terbaik Penanggulangan Bencana Penurunan Tanah).

“Melalui acara ini, kita dapat melihat bagaimana pembicara dari berbagai negara memaparkan  kondisi land subsidence dan best practice upaya penanganan bencananya di masing-masing negara,” jelas Heri.

“Melalui acara ini kita dapat bertukar ilmu bertukar pengalaman tentang bagaimana dapat mengurangi risiko bencana yang terjadi akibat land subsidence,” imbuh dia.

Secara garis besar dari pemaparan di konferensi memperlihatkan manajemen bencana yang ultimate akan melibatkan sisi non teknis berupa keberadaan regulasi dan kelembagaan yang jelas, sehingga program dan anggaran menjadi jelas pula.

Dari sisi teknis manajemen bencana harus dimulai dari pembangunan sistem monitoring, diagnosa masalah, serta pemetaan potensi bencana. Kemudian melakukan proses prevensi, mitigasi atau adaptasi.

“Sekali lagi karena sifat bencana-nya akibat land subsidence dan juga sea level rise yang telah nyata menyebabkan kerugian yang tidak sedikit, secara khususnya di Indonesia, maka kita harus bersama-sama menyikapinya dengan lebih serius, harus kita berupaya semaksimal mungkin untuk mengurangi risiko bencananya, salah satunya mengikuti beberapa rekomendasi dari hasil Lasii Unesco Scientific Conference,” tegas Heri.

spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
TERKINI
BACA JUGA