Maumere, Ekorantt.com – Rektor Universitas Nusa Nipa (Unipa) Maumere, Jonas K. G. D Gobang atau Gery Gobang meminta panitia penyelenggara festival Pesta Raya Flobamoratas (PRF) untuk memberikan kuliah umum terkait isu lingkungan, pangan lokal, iklim, serta kekerasan terhadap perempuan dan anak bagi mahasiswa di kampus yang ia pimpin.
Permintaan tersebut disampaikan Gery Gobang saat menerima panitia PRF di ruang kerjanya, Rabu, 7 Agustus 2024.
Panitia PRF datang untuk mengajak civitas akademika Unipa Maumere agar berkolaborasi dalam festival yang akan berlangsung pada pekan keempat September 2024 mendatang.
Gobang menyambut gembira ajakan panitia PRF, mengingat tema-tema yang diusung saat festival merupakan isu strategis dan sangat urgen untuk disampaikan kepada generasi muda.
“Kalau pada bulan September itu kami baru mulai tahun akademik, sehingga itu kita kasih pemanasan kepada mahasiswa dengan isu-isu ini. Juga pada dosen dapat menulis artikel,” katanya.
Menurut Gery Gobang, Unipa merupakan tempat yang bebas untuk menciptakan mimbar akademik.
Karena itu Unipa membuka diri untuk membangun kerja sama dengan berbagai kalangan untuk demi mewujudkan Kampus Merdeka.
Alasan lain di balik ajakan memberikan kuliah umum karena pertimbangan jumlah mahasiswa Unipa Maumere yang mencapai 7.000-an orang. Aula di Unipa juga berkapasitas besar dan menampung 2.000 orang.
“Sehingga dinilai layak untuk menghadirkan banyak mahasiswa,” imbuh Gobang.
Ketua panitia PRF, Brian R. Benedicto menjelaskan, salah satu sesi dalam festival ini adalah membicarakan perempuan, pangan, dan lingkungan. Sesi ini akan menghadirkan dua tokoh perempuan NTT yang terkenal yakni, Mama Aleta dan Maria Loreta.
Kegiatan PRF, kata Brian, mengusung tema “Suara Bae dari Timor”. Kegiatan akan dilaksanakan di depan halaman kantor bupati Sikka dan melibatkan stakeholder lokal termasuk mahasiswa dan pelajar, serta pemangku kepentingan lainnya.
Ia menjelaskan, PRF adalah sebuah perhelatan yang bertujuan untuk menyampaikan solusi dan aksi perubahan iklim berbasis lokal melalui narasi positif dan karya budaya.
“Perhelatan ini ditujukan untuk melibatkan orang muda Nusa Tenggara Timur dan masyarakat Indonesia, yang mencerminkan keragaman budaya Flores, Sumba, Timor, Alor, Lembata, dan Sabu,” jelas Brian.
Di balik kegiatan PRF tentu saja ingin menciptakan dunia, di mana masyarakat sipil lokal menjadi agen perubahan dalam solusi perubahan iklim yang relevan, inklusif, dan berkelanjutan.
Hal tersebut dilakukan melalui penguatan kapasitas terhadap solusi iklim alternatif, penetapan agenda aksi iklim dengan memperkuat cerita dan lobi, serta advokasi untuk kebijakan guna memperoleh aliran keuangan yang mendukung solusi lokal.
Rangkaian kegiatan PRF meliputi, pameran, pementasan teater, dan konser musik, serta workshop yang mengusung isu lingkungan, pangan lokal, iklim, serta kekerasan terhadap perempuan dan anak.