Teater Ibu Tanah: Mengangkat Kisah Perang Saudara Akibat Penjajahan Belanda, Siap Dipentaskan

Teater Ibu Tanah, jelas Silvester, lahir dari pembacaan akan pengalaman traumatis sejarah yakni konflik panjang perang saudara akibat adu-domba bangsa kolonial Eropa terutama Belanda.

Larantuka, Ekorantt.com – Teater dengan judul ‘Ibu Tanah’ segera dipentaskan di Flores Timur daratan, Solor, Adonara, dan Lembata pada tahun 2025.

Ibu Tanah merupakan karya Nara Teater asuhan Silvester Petara Hurit. Teater Ibu Tanah, jelas Silvester, lahir dari pembacaan akan pengalaman traumatis sejarah yakni konflik panjang perang saudara akibat adu-domba bangsa kolonial Eropa terutama Belanda.

“Ingatan kelam akan konflik dan luka kolektif masih terasa hingga hari ini,” jelasnya pada Senin, 13 Januari 2024.


Aksi adu domba Belanda saat menjajah Indonesia tentu saja berdampak pada kerugian besar bagi masyarakat lokal.

Salah satunya menurut Silvester, adalah mengendurnya budaya saling topang dan saling rawat dalam produksi dan distribusi kebutuhan hidup.

Masyarakat pesisir dan gunung di masa lalu membangun persaudaraan yang kental selama berabad-abad dalam ketergantungan produktif saling menopang kebutuhan hidup.

“Akar konflik sebenarnya adalah konstruksi narasi kolonial lewat mitos Paji-Demon yang sesungguhnya adalah pemelintiran dari mitologi tua Lamaholot,” jelas Silvester.

Ia mengatakan, pentas Ibu Tanah adalah konstruksi teks perlawanan sekaligus pembongkaran terhadap konstruksi narasi kolonial lewat mitos Paji-Demon.

Secara mitologi maupun kosmologi, Ibu Tanah (Ina Tana Ekan) adalah Ibu Agung/Ibu Asal/Ibu Kosmik yang merangkul dan mempersatukan. Kekuatan maskulintas adalah kekuatan kreatif (dinamis). Sedangkan feminitas yang terepresentasi dalam Ibu Tanah adalah kekuatan pemersatu yang merangkul dan menentramkan.

Silvester menambahkan, tanah idealnya bukan pemicu konflik atau perselisihan melainkan jadi pemersatu. Hal ini mengingat sifat Ibu Tanah yang berbagi atau distributif. Tanah memberi dirinya bagi kehidupan semua makhluk.

Dikatakan, pentas Ibu Tanah berisi sehimpun pengalaman aktor belajar bersama petani ladang, pelaut, tukang ojek, pedagang, pelaku ritual, penenun, pengrajin bambu, maestro sastra lisan terutama pencerapan pengalaman akan kemurahan Ibu Tanah. 

Pengalaman pertemuan tersebut berupa kisah, nyanyian, mantra, gerak, produk kerajinan dan sebagainya.

Pengalaman ini dibagi bersama dalam proses latihan di ladang, pantai, serta bukit sebagai jalan penyatuan dengan irama kehidupan semesta atau Ibu Tanah.

Silvester melanjutkan, hasil akhir dari proses penemuan teks bersama ini dibawa dipentaskan di empat pulau yakni: Flores Timur daratan, Adonara, Solor dan Lembata.

Ibu Tanah dihadirkan sebagai kontra teks Paji-Demon. Pembongkaran narasi konstruksi kolonial sekaligus rekonstruksi sejarah dan kultural melalui teater.

“Karya teater Ibu Tanah digagas dengan tujuan antara lain, membongkar narasi kolonial pemecah-belah, sebagai sarana edukasi dan pencerdasan Masyarakat, media kohesi sosial, menciptakan budaya saling topang dan mendekatkan masyarakat dengan tanahnya,” jelas Silvester.

Sekilas tentang Nara Teater

Jhon Dasilva sebagai salah satu aktor senior Nara Teater mengatakan, selama ini Nara Teater konsen melakukan penggalian biografi dan jati diri kultural dengan menjadikan khazanah, mitologi, mantra/sastra tutur, ritus, nyanyian, gerak/tarian sebagai bahan untuk merancang-bangun pertunjukan. 

Jhon menjelaskan, proses kreatif Nara Teater adalah upaya menghadirkan diri dalam ruang sebagai sebuah pengalaman penemuan dan pembacaan kembali diri dengan segala lapis-lapis pengalaman kedirian atau ketubuhan yang dimiliki dalam konteks dan pergerakan waktu yang dinamis.

“Teater hadir sedekat-dekatnya dengan persoalan hidup masyarakatnya. Terus bicara, terus hidup dan berkontribusi kepada publiknya dengan mengelola apa yang ada dan mengoptimalkan apa yang dipunyai,” kata Jhon.

Ketua Nara Teater, Rin Wali menjelaskan, perjalanan kekaryaan Nara Teater yang sudah cukup panjang membawa visi dan komitmen bersama untuk belajar dan berbagi melalui teater.

“Kami berkarya dan tumbuh dalam keterbatasan. Berproses dengan sabar selama bertahun-tahun sebelum akhirnya mendapat apresiasi dan dukungan termasuk pendanaan dari Indonesiana dalam karya ini,” kata Rin.

Sementara Martin Kabelen salah satu aktor Nara Teater mengaku, walau mengajar di SMP Panca Marga Kolimasang Adonara, namun ia selalu berusaha tepat waktu mengikuti latihan di Larantuka.

“Pendiri dan sutradara kami selalu bilang, di Nara Teater kami belajar untuk keras dengan diri sendiri, berkomitmen, mencintai proses, serius berlatih dan belajar berbagi. Seni adalah daya hidup, perjuangan nurani dan corong kritisisme publik,” ucap Martin.

spot_img
TERKINI
BACA JUGA