Ruteng, Ekorantt.com – Alexander Nawe, pria berusia 62 tahun, duduk dengan tenang di depan kediamannya yang sederhana, memandang jauh ke laut yang luas.
Kakinya telanjang, dengan sisa-sisa pasir pantai masih menempel di kulit kakinya yang sudah berkerut.
Dari tempatnya duduk, hanya sekitar tujuh meter dari bibir pantai, ia bisa melihat riak ombak yang menggulung di Laut Flores.
Saat Ekora NTT mendekat untuk berbincang, Alexander menyambut dengan sikap ramah namun penuh ketegaran.
“Ini tanggul darurat,” katanya dengan tegas, menjawab pertanyaan singkat yang diajukan oleh Ekora NTT pada Minggu, 6 April 2025.
Alexander, yang akrab disapa Alex, merupakan warga Kampung Motor Bike, Kelurahan Wangkung, Kecamatan Reok, Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur. Kampung ini terletak di bagian pantai utara (Pantura) Flores.
Saat berbicara lebih lanjut, Alex mengenang banjir rob yang sudah menjadi langganan selama beberapa tahun dekade.
Tinggi air mencapai lutut, dan jika musim hujan datang, ia bersama keluarganya harus bergegas menyelamatkan peralatan rumah agar tidak terendam. Warga sekitar pun melakukan hal yang sama.
“Kalau banjir rob itu terjadi pada malam hari, semua warga tidak bisa tidur,” ujar Alex.
“Kecuali kalau terjadi gempa, kami bisa melakukan evakuasi mandiri mencari tempat yang lebih tinggi.”
Lebih parah lagi, saat musim hujan tiba, air dari persawahan di belakang kampung tidak mengalir ke laut.
Dengan kapasitas sungai yang kecil, air meluap dan merendam rumah-rumah warga. Ditambah lagi, saat air laut naik bersamaan dengan musim hujan, “air kali tidak bisa turun karena air laut naik. Jadinya rata.”
“Bahayanya juga kalau terjadi gelombang laut tinggi. Musim ini biasanya berlangsung dari Juli hingga Oktober. Yang menjadi sasaran adalah rumah-rumah yang berada di depan,” lanjutnya.
“Air laut bahkan bisa masuk ke dalam rumah.”
Alex mengungkapkan, meski ada tanggul darurat yang dibangun, ia merasa itu tidak memberikan banyak arti.
“Tidak ada artinya tanggul darurat ini,” kata Alex dengan nada kecewa.
Tanggul yang ada saat ini belum mampu mengatasi ancaman banjir rob dan gelombang laut yang datang silih berganti, meninggalkan kekhawatiran besar bagi warga Kampung Motor Bike.

Andalkan Tanggul Darurat
Warga hanya mengandalkan tanggul darurat untuk mengurangi dampak dari banjir rob dan gelombang laut yang kerap melanda kawasan tersebut, meskipun upaya ini belum sepenuhnya maksimal.
Alex bilang, warga membangun tanggul darurat secara gotong royong sebagai penahan air dan gelombang laut yang naik. Untuk memenuhi kebutuhan kayu, warga terpaksa mengumpulkan dana pribadi.
Salah satu tetangga Alex, Kaharudin, mengaku ia harus mengeluarkan uang pribadinya untuk membuat pagar darurat.
Rumah Kaharudin terletak hanya sekitar tiga meter dari bibir pantai, dan ketika musim timur datang, ia merasa rumahnya akan menjadi sasaran pertama amukan gelombang laut.
Selain merusak rumah, banjir juga membuat motor-motor milik warga mudah berkarat.
Kaharudin menuturkan, “Saya beli kayu dengan harga Rp5.000 per batang, belum biaya orang yang memotongnya. Saya menghabiskan uang sekitar Rp3 juta.”
Jumlah tersebut belum termasuk biaya untuk membeli tanah yang digunakan untuk mengisi bagian daratan yang terkikis oleh abrasi.
“Biaya tanah per ret Rp150 ribu, jumlahnya tujuh ret,” tambah Kaharudin.
Untuk memperkuat tanggul darurat, Kaharudin juga membeli 100 ban bekas seharga Rp5 ribu per buah di bengkel.
Dengan bahan seadanya, ia bersama warga lainnya membangun tanggul darurat, mengikat kayu-kayu yang telah dipasang dengan ban agar lebih kuat dan tidak mudah lapuk. Beberapa kayu juga dijadikan palang di antara kayu-kayu yang sudah tertancap rapi.
“Kalau tidak dengan cara ini, mungkin sudah kikis sampai ke rumah,” ungkap Kaharudin, menunjukkan betapa besar usaha warga untuk melindungi tempat tinggal mereka dari ancaman bencana alam yang terus mengintai.

Sudah Seringkali Diukur tapi Tidak Ada Realisasi
Alex menuturkan dirinya kerap didatangi pegawai untuk melakukan pengukuran. Meski ia tidak tahu pegawai dari instansi mana yang datang.
Pembangunan tanggul tembok yang diimpikan warga tak kunjung muncul, membuat Alex dan warga lain kecewa.
“Jika dihitung paling kurang mereka sudah tiga kali datang. Bahkan kami sudah sampaikan lewat DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) yang berasal dari dapil ini,” sebut pria kelahiran 1963 itu.
Alex tidak menyebutkan secara gamblang anggota dewan yang dimaksud. Bahkan, katanya, kampungnya itu sering kali menjadi tempat umbaran ‘janji politik ‘dari para politisi setiap kali adakan hajatan kampanye.
“Hampir banyak caleg (calon legislatif) yang datang janji politiknya di sini. Yang janji itu juga sudah terpilih, tapi tidak ada realisasinya.”
Alex pun berharap agar pemerintah dapat membangun tanggul permanen. Bila tidak masyarakat akan terus dilanda dengan peristiwa yang sama setiap tahun.
Hal yang sama juga dikatakan Kaharudin. Rumahnya akan roboh bila tidak dibangun tanggul permanen.
“Nanti tanah dikikis terus. Begitu juga dengan banjir rob,” ucap Kaharudin.

Harus Dilapor
Anggota DPRD Kabupaten Manggarai, Aven Mbejak, menyarankan agar warga yang merasa terancam keselamatannya melaporkan hal tersebut kepada pemerintah melalui Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD).
Hal ini, kata Aven, bertujuan agar pemerintah daerah melalui kecamatan atau kelurahan dapat segera memeriksa kondisi di lokasi.
“Untuk wilayah pesisir pantai, memang kondisinya sudah sangat parah, bahkan beberapa rumah warga, seperti di Ojang, Desa Ribek, dan Nanga Naek, Desa Paralando, terhantam banjir rob,” jelas Aven, yang merujuk pada beberapa kampung di Kecamatan Reok Barat yang terdampak banjir rob.
Aven menyatakan bahwa jika warga membuat laporan terlebih dahulu, hal itu akan memberikan dasar hukum bagi pemerintah untuk merencanakan langkah-langkah ke depannya.
Pasalnya, untuk tahun 2025, anggaran sudah ditetapkan dalam APBD dan dipastikan tidak ada perubahan. Selain itu, Rencana Kerja Pemerintah Daerah 2026 juga sudah berjalan.
Namun, sebagai anggota dewan, Aven tetap akan menyampaikan hal tersebut melalui sidang paripurna agar menjadi perhatian pemerintah.
Anggota DPRD Dapil IV, yang meliputi Reok, Reok Barat, Cibal, dan Cibal Barat, itu juga mengklaim bahwa ia akan mengunjungi lokasi tersebut pada esok hari.
Sementara Kepala Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten (PUPR) Manggarai, Lambertus Paput mengaku pernah mengukur lokasi itu untuk pembangunan tanggul.
“Dua tahun lalu,” kata Paput kepada Ekora NTT, Rabu, 9 April 2025.
Paput beralasan karena efisiensi anggaran sehingga tahun 2025 ini tak ada anggaran untuk pembangunan tanggul di Motor Bike.
“Efisiensi anggaran. Tidak bisa!”

Penanaman Mangrove Jadi Langkah Strategis
Penanaman mangrove di kawasan pesisir utara Kabupaten Manggarai, khususnya di Reok, dinilai sebagai langkah strategis dalam menghadapi dampak krisis iklim yang semakin nyata dirasakan masyarakat setempat.
Aven menilai, penanaman mangrove di wilayah pesisir merupakan langkah yang positif. Ia menyebutkan bahwa lokasi penanaman yang berdekatan dengan Pelabuhan Pertamina semakin memperkuat urgensi kegiatan tersebut.
“Lokasinya dekat dengan pelabuhan Pertamina, jadi menurut saya, tidak salah jika mereka diajak untuk ikut serta dalam upaya penanaman mangrove,” ujarnya.
Sementara itu, Deputi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) NTT, Yuvensius Stefanus Nonga menyatakan, banjir rob yang kerap melanda kawasan pesisir Reok merupakan bagian dari dampak nyata krisis iklim.
Menurutnya, terdapat dua langkah utama yang harus segera dilakukan oleh Pemerintah Daerah Manggarai.
Pertama, kata dia, peningkatan kapasitas alam melalui penanaman mangrove sebagai sabuk hijau.
“Penanaman mangrove sebagai salah satu strategi jangka panjang untuk memperkuat daya tahan wilayah pesisir terhadap banjir rob,” kata Yuven kepada Ekora NTT, Kamis, 10 April 2025.
Ia menjelaskan, keberadaan hutan mangrove di wilayah pesisir Reok memiliki peran penting sebagai pelindung alami.
Mangrove mampu menyerap gelombang laut, mencegah abrasi pantai, serta menjadi habitat penting bagi berbagai jenis flora dan fauna.
Langkah kedua, lanjut Yuven, adalah peningkatan kapasitas masyarakat pesisir dalam menghadapi krisis iklim.
“Krisis iklim bukan lagi isu global semata, tetapi sudah menjadi kenyataan lokal di Reok. Oleh karena itu, penting bagi masyarakat untuk memahami dampaknya dan mampu beradaptasi,” jelasnya.
Yuven menegaskan perlunya program edukasi iklim, pelatihan adaptasi berbasis kearifan lokal, serta pengembangan ekonomi alternatif yang berkelanjutan sebagai upaya pemberdayaan masyarakat.