Maumere, Ekorantt.com – Kasus KAR K atau Karim, 42 tahun, seorang guru yang melakukan tindak pidana pencabulan terhadap siswa di sebuah sekolah dasar di Kecamatan Doreng, Kabupaten Sikka, menambah daftar panjang kasus kekerasan seksual terhadap anak.
Keterangan dari Kasi Humas Polres Sikka, Yermi Soludale, Karim melakukan pelecehan terhadap delapan pelajar sekolah dasar dengan rentang usia 8-13 tahun pada 14 Februari 2025 lalu.
Karim adalah guru Pendidikan Jasmani Olahraga dan Kesehatan (PJOK). Pasca-kasus pencabulan tersebut, para siswa enggan menceritakan ke orangtua atau kepala sekolah, “karena takut diancam akan mengurangi nilai mata pelajaran PJOK.” Mereka saling bercerita satu sama lain.
Kasus tersebut terbongkar setelah pembicaraan para siswa didengar kepala sekolah. Kemudian, Unit Pelayanan Terpadu Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD P2A) Kabupaten Sikka mendalami kasus tersebut dan melaporkannya ke sentra pelayanan kepolisian terpadu (SPKT) Polres Sikka.
“Kami mendapatkan laporan dari seseorang, langsung ke sekolah. Kemudian kami panggil orangtua, berikan pemahaman yang baik, dan dorong mereka untuk berani melaporkan,” kata Kepala UPTD P2A Sikka, Maria Kristiani Yosepha kepada Ekora NTT, Rabu, 5 Maret 2025 petang.
Pada 19 Februari lalu, lima hari setelah peristiwa pelecehan, Maria membawa orangtua korban untuk membuat laporan di Polres Sikka.
Kata Yermi, pelaku telah ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan di Rutan Polres Sikka pada 1 Maret. Sementara “visum et repertum sudah dibuat, sementara masih menunggu hasil.”
Kepala Dinas Pendidikan, Kepemudaan dan Olahraga Kabupaten Sikka, Germanus Goleng mengatakan kepada wartawan pada Rabu, 5 Maret 2025, Karim merupakan Aparatur Sipil Negara berstatus Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (P3K).
“Dengan statusnya sebagai ASN P3K kita akan berproses sesuai aturan yang berlaku. Pelaku baru menyandang status sebagai ASN P3K selama setahun,” kata Germanus.
Saat ini, pihaknya menunggu proses hukum yang sedang berjalan. Untuk penanganan terhadap korban, jelas dia, diserahkan ke pihak sekolah untuk melakukan pemulihan terhadap korban sembari tuntutan pendidikan mereka terpenuhi dengan baik.

Untuk pelaku, kata Germanus, “hukuman terberatnya pasti akan dipecat dari ASN.” Sedangkan, orang tua korban meminta agar pelaku diproses hukum.
Germanus berharap, para guru memiliki empat kompetensi dasar yakni kompetensi pedagogik, kompetensi sosial, kompetensi kepribadian, serta kompetensi profesional, “sebagai satu kesatuan utuh agar benar-benar menjadi guru yang sesungguhnya.”
Darurat Kekerasan Seksual terhadap Anak
Kasus ini menambah daftar panjang kasus kekerasan seksual terhadap anak di Sikka. Yermi pada 5 Februari lalu mengatakan kepada Ekora NTT, sejak Januari hingga pertengahan Februari 2025 pihaknya telah mendapatkan laporan sebanyak lima kasus kekerasan seksual terhadap anak.
Dengan adanya kasus pencabulan oleh KAR K, daftar kasus terlapor menjadi enam kasus dengan korban mencapai belasan anak.
Sementara di 2024, tercatat sembilan kasus yang dilaporkan dan 12 kasus yang diselesaikan, terhitung dengan kasus dari tahun sebelumnya.
Yermi bilang, pelaku umumnya orang-orang yang berada dalam lingkungan terdekat korban seperti orangtua, kerabat, maupun pacar.
Hal senada disampaikan Maria Kristiani Yosepha bahwa kedekatan antara pelaku dan korban yang didukung relasi kuasa antar-keduanya menjadikan pihak yang lemah dengan mudah dieksploitasi. Termasuk yang terjadi pada beberapa siswa di Doreng.
Maria menyoroti tingginya angka kekerasan seksual kepada anak di Sikka. Bagi dia, penanganan kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak butuh kerja sama semua pihak.
“Mesti dibicarakan bersama, melibatkan agen-agen lintas sektor, dan tidak boleh memasang ego sektoral masing-masing pihak.”
Dosen Psikologi Universitas Nusa Nipa Maumere, Debi Angelina Br. Barus sependapat dengan Yermi terkait pola kekerasan yang terjadi di lingkungan yang berada di dekat korban.
Seseorang dapat menjadi pelaku kekerasan seksual juga akibat faktor-faktor psikologis, kata Debi.
“Ada banyak faktor yang membuat pelaku melakukan tindak asusila seperti pencabulan, dari sisi psikologi, ada ketidakstabilan emosi dalam diri pelaku. Bisa jadi pelaku tidak memiliki kecerdasan secara emosi. Mungkin saja pelaku memiliki pengalaman trauma atau pola pengasuhan yang buruk,” kata Debi kepada Ekora NTT, Rabu, 5 Maret 2025.
Pelaku, jelas dia, “cenderung mencari orang-orang yang lebih lemah dari dirinya supaya bisa membangkitkan sisi superiornya.”
Terlebih dengan adanya relasi kuasa, contohnya antara orangtua dan anak atau guru dan muridnya, pelaku akan mencari orang yang lebih lemah darinya yang akan lebih mudah dalam menyalurkan sisi superioritasnya.
Fenomena Gunung Es
Kasus kekerasan seksual seperti fenomena gunung es. Banyak terjadi di masyarakat, tetapi sedikit yang dilaporkan.
“Ketika anak tidak mendapatkan pendidikan seksualitas sejak dini dan tidak ada dukungan secara sosial, ketika ada persoalan seksual keluarga akan cenderung menutup diri, enggan terbuka demi nama baik,” kata Debi.
Selain karena pelecehan atau kekerasan seksual, menurut Debi, ketakutan untuk terbuka juga terjadi karena terjadi kekerasan atau ancaman fisik yang membuat anak takut.
“Kalau anak korban kekerasan seksual tidak ditangani secara psikologis, akan mengakibatkan trauma di masa depan.”
Bahayanya, “trauma tersebut bisa membuat korban di kemudian hari berubah menjadi pelaku.”
“Penting sekali dilakukan penanganan secara psikologis untuk mengobati trauma pada korban,” jelas dia.
Ia juga menekankan pentingnya pendidikan seksualitas sejak dini dalam keluarga serta lingkungan keluarga yang harmonis dan menjadi ruang aman dan nyaman sehingga anak dapat memahami seksualitasnya dan selalu terbuka ke orangtua setiap kali mendapatkan persoalan.
Debi berharap, pemerintah daerah dapat berperan lebih dalam kasus ini, bukan hanya ketika kasus muncul, tetapi juga perlu dilakukan upaya preventif guna mencegah muncul semakin banyaknya kasus ke depannya.

Putuskan Mata Rantai Kekerasan Seksual terhadap Anak
Anggota DPRD Sikka dari Fraksi Golkar, Maria Anggelorum Mayestatis mengaku “sangat kecewa dengan meningkatnya kasus kekerasan terhadap anak” dan menuntut agar pelaku diberi hukuman yang seberat-beratnya.
“Bukan hanya hukuman pidana yang berat, pelaku mesti diberi hukuman sosial supaya ada efek jera,” kata Mayestatis kepada Ekora NTT, Jumat, 7 Maret 2025.
Kata dia, regulasi yang ada “tidak terlalu menukik” sehingga lebih sering tidak menimbulkan efek jera. Untuk itu, hukuman sosial mesti juga dilakukan.
“Bukan hanya efek jera bagi pelaku, tetapi pihak lain yang berpotensi jadi pelaku juga bisa diredam karena ketakutan hukuman pidana dan hukuman sosial,” tegas dia.
“Sangat-sangat disayangkan guru sebagai pendidik melakukan tindakan tidak tercela kepada peserta didiknya. Selain itu ada juga orangtua yang sangat tega melakukan pelecehan ke anak sendiri. Mereka itu mesti dihukum seberat-beratnya!”
Sebagai tokoh perempuan dan wakil rakyat, ia meminta masyarakat korban baik perempuan maupun anak-anak untuk berani melaporkan ke pihak-pihak yang berwajib. Mata rantai kasus kekerasan ini, kata dia, “mesti diputuskan.”
Butuh Peran Keluarga
Baik Maria, Deby, maupun Mayestatis sama-sama menekankan pentingnya peran keluarga dalam mengasuh anak dan membentuk pemahaman yang baik terkait seksualitas.
“Keluarga itu tempat pertama anak-anak dibentuk. Di sekolah hanya delapan jam. Rumah sebagai tempat bersemai kasih sayang orang tua kepada anak-anak mesti mampu menghadirkan rasa nyaman dan aman bagi anak,” kata Mayestatis.
Kedekatan secara psikologis antara anak dan orang tua mesti dibangun dengan baik. Penting juga agar orangtua memberikan edukasi seksualitas kepada anak sejak dini, kata dia.
“Dengan itu, ketika orang melakukan tindakan pelecehan, anak tahu itu dan berani terbuka ke orangtua,” pungkasnya.
Laporan: Risto Jomang dan Petrus Popi