Tangisan Mama Tris hingga “Ketakutan” Bupati Nabit saat Demo Tolak Geotermal di Ruteng

Wanita 49 tahun itu datang sebagai peserta aksi penolakan terhadap proyek perluasan geotermal di Poco Leok.

Ruteng, Ekorantt.com – Senin, 3 Maret 2025, suasana di depan Kantor Bupati Manggarai memanas, dengan aksi demonstrasi yang diprakarsai oleh Aliansi Pemuda Poco Leok.

Di tengah hiruk-pikuk orasi keras para aktivis, suara teriakan tangisan histeris seorang ibu paruh baya menembus keramaian.

Tangisan perempuan bernama Tris Leviana Nimat menjadi pusat perhatian saat ia duduk bersila di atas kardus bekas, menggenggam dua botol mineral dan sandal jepit di tangan kiri, mengenakan kain tenun songket Manggarai.

Teriakan emosional ibu asal Tere-Poco Leok, yang disampaikan dalam bahasa daerah Manggarai, mengingatkan kembali akan kisah seorang ibu yang telah lama meninggalkannya di daerah Poco Leok.

Wanita 49 tahun itu datang sebagai peserta aksi penolakan terhadap proyek perluasan geotermal di Poco Leok.

Proyek ini mendapat banyak penolakan dari warga setempat setelah penerbitan Surat Keputusan (SK) Bupati Manggarai Herybertus G. L. Nabit pada 1 Desember 2022.

SK tersebut menetapkan lokasi pengeboran untuk perluasan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Ulumbu di wilayah Poco Leok.

Meski mendapat penolakan keras, Bupati Nabit tetap teguh pada pendiriannya untuk tidak membatalkan keputusan itu, dengan alasan proyek geotermal Poco Leok merupakan bagian dari Proyek Strategis Nasional (PSN).

Ia menegaskan, kepala daerah yang tidak melaksanakan proyek strategis nasional bisa menghadapi risiko diberhentikan.

“Tolong pahami juga posisi saya dalam 2-3 tahun yang lalu.  Aturannya masih sama, kepala-kepala daerah yang tidak menjalankan proyek strategis nasional itu bisa diberhentikan,” ujar Nabit, meminta pengertian dari massa aksi.

“Tapi ini bukan soal diberhentikan atau tidak. Itu bukan soal itu, ya. Soalnya bukan soal itu kemudian. Tetapi itu posisi pemerintah pada saat itu, ya. Tapi paling penting bagi saya adalah pemahaman bahwa kegiatan ini penting untuk penyediaan energi bagi masyarakat Manggarai,” imbuh dia.

Menurut dia, bila tuntutan mencabut SK-nya, maka akan menghadapi kesulitan, terutama dari pihak pemerintah.

Namun, pernyataan Bupati Nabit mendapat tanggapan keras dari sejumlah pihak. Salah satunya adalah Staf Advokasi, Kampanye, dan Pengorganisasian Rakyat Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) NTT, Gres Gracelia.

Menurut Gres, Bupati Nabit dipilih langsung oleh masyarakat Manggarai, bukan oleh pemerintah pusat.

Nabit seharusnya tidak perlu takut diberhentikan oleh pemerintah pusat jika memutuskan untuk mendengarkan aspirasi warganya.

“Ini adalah pernyataan yang sangat keliru bagi seorang kepala daerah yang seharusnya melindungi warganya,” tegas Gres.

“Siapa yang sebenarnya diuntungkan dari proyek ini? Apakah Bupati Manggarai tidak memiliki posisi tawar di hadapan pemerintah pusat?” tambahnya.

Massa Aliansi Pemuda Poco Leok sedang melakukan aksi unjuk rasa menentang proyek geotermal Poco Leok di depan Kantor Bupati Manggarai pada Senin, 3 Maret 2025 (Foto: HO)

Menentang Keras Proyek Geotermal

Koordinator aksi Aliansi Pemuda Poco Leok, Kristianus Jaret menyatakan, mayoritas masyarakat Poco Leok bekerja sebagai petani dan menentang keras proyek geotermal.

“Jangan bawa barang haram ke Poco Leok,” ujar Tino, sapaan akrabnya.

Ia menambahkan, penolakan terhadap geotermal bukan hanya terjadi di Poco Leok, tetapi juga di berbagai daerah, termasuk di luar negeri.

Tino menuding Nabit tidak belajar dari pengalaman sebelumnya dan menyebut proyek geotermal hanya untuk kepentingan bisnis semata, bukan untuk kebutuhan listrik rakyat.

“Anda telah melakukan dosa ekologis, menetapkan ruang hidup kami sebagai ladang bisnis untuk PLN,” tandas Tino.

Namun, Nabit menegaskan, proyek geotermal bertujuan untuk menyediakan listrik bagi seluruh anak-anak Manggarai dan masyarakat yang bergantung pada pasokan listrik, termasuk untuk kebutuhan belajar dan memasak.

Nabit menjelaskan, sumber daya listrik ini dapat dialirkan ke daerah lain, seperti Labuan Bajo di Kabupaten Manggarai Barat. Dimanfaatkan oleh hotel-hotel dan restoran, yang sebagian besar karyawannya berasal dari anak-anak Manggarai.

“Jadi wilayah boleh berbeda-beda tetapi kita juga yang memanfaatkan itu. Mari kita lihat hal ini secara luas,” ungkapnya.

Nabit juga menegaskan bahwa dalam hal ini, “bukan logika investasi yang diterapkan.”

“Memang ada investor di sana, tetapi yang paling penting adalah konsumsi masyarakat,” katanya.

“Jika kelebihan yang ada dimanfaatkan oleh investor, itu memang terjadi,” tambahnya.

Dia juga menyebutkan alternatif lain yang selama ini disiapkan oleh PLN, seperti penggunaan diesel. Namun, dengan kondisi negara yang sedang sulit, penggunaan diesel akan menjadi mahal.

Oleh karena itu, solusi yang lebih baik adalah menggunakan energi baru terbarukan yang lebih murah.

“Sekali lagi, saya tekankan, tidak ada niat sama sekali untuk mengganggu kenyamanan hidup, merusak alam, atau bahkan budaya kita di Manggarai,” tambah Nabit, menegaskan bahwa ia tidak berniat merusak alam atau budaya masyarakat setempat.

Namun, warga Poco Leok tidak sependapat dengan Nabit. Agustinus Sukarno, salah satu peserta aksi, menyatakan proyek ini lebih menguntungkan industri pariwisata di Labuan Bajo daripada masyarakat Manggarai.

“Kami tahu proyek ini untuk kepentingan investor, bukan untuk kepentingan rakyat,” ungkap Sukarno. Warga Poco Leok merasa bahwa kepentingan mereka diabaikan demi kepentingan investasi.

Gres menegaskan, pernyataan Bupati Nabit yang mengaitkan perluasan PLTP Ulumbu dengan kepentingan investasi di Labuan Bajo, sangat miris.

Menurut dia, alasan tersebut mengabaikan dampak besar yang akan dirasakan oleh masyarakat Manggarai, khususnya yang tinggal di wilayah Poco Leok dan Ulumbu.

“Karena yang paling terdampak dari proyek ekstraksi ini adalah masyarakat di Poco Leok dan Ulumbu,” ujar Gres.

Mereka, lanjut dia, akan kehilangan akses terhadap ruang hidup. Lingkungan mereka akan rusak. Warga Poco Leok terpaksa menghadapi kerentanan akibat pembangunan proyek panas bumi ini.

“Tetapi mereka tidak bisa dilindungi oleh kepala daerah mereka sendiri,” tegas Gres

Yudi Onggal, warga lainnya, menambahkan alasan Nabit untuk menciptakan lapangan kerja lebih memikirkan kepentingan investasi daripada dampaknya bagi petani yang kehilangan tanah mereka.

“Sebagai petani, tanah-tanah kami yang diambil untuk kepentingan investasi, itulah tanah-tanah adat yang di situ kami bertani,” pungkas Yudi.

Tris Leviana Nimat ketika menangis di depan Kantor Bupati Manggarai, Senin, 3 Maret 2025. Saat itu, Aliansi Pemuda Poco Leok sedang melakukan aksi unjuk rasa menentang proyek geotermal Poco Leok (Foto: HO)

Konflik

Penolakan terhadap proyek ini juga berujung pada kekerasan terhadap warga dan jurnalis oleh aparat keamanan. Selain itu, munculnya konflik horizontal di antara sesama warga semakin memperburuk situasi.

Tino menegaskan, petani adalah pihak yang paling terdampak dari proyek ini. “Jika petani mogok, banyak orang akan mati. Kita paham listrik adalah kebutuhan bersama, tapi harus diperoleh dengan cara yang baik dan tidak merusak lingkungan,” ujarnya.

Tino juga mengkritik klaim pemerintah dan PLN mengenai energi bersih dari geotermal.

“Kalau ada yang pernah ke Ulumbu, di sana terpampang jelas tulisan ‘awas gas beracun’. Bersih dari mana?” tukasnya.

Menurutnya, meski pemerintah dan perusahaan menjanjikan kesejahteraan rakyat, ia mempertanyakan keabsahan janji tersebut.

“PLN adalah pedagang arus listrik. Pedagang mana yang menjanjikan kepada pembelinya bahwa barang dagangannya itu buruk?” tandasnya.

Massa Aliansi Pemuda Poco Leok sedang melakukan aksi unjuk rasa menentang proyek geotermal Poco Leok di depan Kantor DPRD Manggarai pada Senin, 3 Maret 2025 (Foto: HO)

Warga Poco Leok Harus Solid

Anggota DPRD Manggarai, Largus Nala, meminta warga Poco Leok untuk tetap solid dalam garis perjuangannya.

“Sehingga maksud saya adalah pertama tadi jaga soliditas di sana (Poco Leok), kalau bisa yang memang sudah menolak jangan sampai keluar lagi,” ujar Arlan saat menerima massa aksi dari Aliansi Pemuda Poco Leok di Kantor DPRD Manggarai.

Ia menyebutkan, ketika dirinya menjadi jurnalis, terkadang dari 100 orang yang ditemui, ada yang akhirnya keluar dari barisan kelompok yang menolak proyek geotermal.

Arlan juga menyatakan, meskipun penggunaan istilah diskriminasi mungkin terkesan kasar, yang jelas ada unsur manipulasi yang terjadi, yang disebabkan oleh kurangnya kekompakan dan kesolidan di masyarakat.

“Nah, kami teman-teman DPR mendengar keluhan dari yang menolak. Siapa tahu besok mendengarkan juga keluhan dari yang menerima. Kan begitu,” ujar politisi Demokrat itu.

Arlan menyatakan, posisi dan kedudukan mereka sebagai anggota DPRD sebenarnya tidak berbeda dengan masyarakat pada umumnya.

Perbedaannya hanya terletak pada peran kelembagaan mereka yang bertindak sebagai penyalur aspirasi.

Arlan menegaskan, pihak yang memiliki kewenangan untuk mengambil keputusan adalah Bupati Nabit. Nabit sebelumnya telah menandatangani Surat Keputusan (SK) terkait pengembangan geotermal di Poco Leok.

“Lalu yang kedua, sepakat kami juga serukan ini ke bupati, hanya kan kami juga tidak mungkin ikut berdemo ke bupati. Ya, itu tidak elegan. Ini ruang kami teman-teman juga bisa perhatikan ke depan ini akan jadi poin prioritas yang disampaikan, disuarakan ke bupati,” tegasnya.

TERKINI
BACA JUGA