Larantuka, Ekorantt.com – Adalah Emanuel Kopong Mangi, 46 tahun, akrabnya dipanggil Sule. Ia merupakan salah satu penyintas erupsi Lewotobi asal Desa Boru, Kecamatan Wulanggitang, Flores Timur.
Kesehariannya ia bekerja sebagai tukang tambal ban. Namun, sejak letusan dahsyat gunung berapi Lewotobi Laki-laki pada Desember 2023 yang lalu, ia tidak dapat bekerja seperti biasanya.
Tidak seperti penyintas lainnya yang dapat diperkenankan kembali untuk bekerja di kebun, Sule tidak mempunyai pilihan lain dalam bekerja. Satu-satunya pekerjaan yang bisa ia lakukan adalah menjadi tukang tambal ban.
“Istri saya asli Maumere tugas sebagai guru TK di Boru. Saya sendiri asli berasal dari Adonara. Tinggal di Boru bersama istri. Praktis, ini saja yang bisa saya kerjakan karena tidak punya kebun,” ucap Sule.
Ia mengisahkan sejak erupsi dahsyat itu, bengkel tempat ia mencari nafkah untuk menghidupi keluarganya terpaksa ditutup karena berada dalam radius Kawasan Rawan Bencana (KRB).
Tak heran, kebutuhan hidup dirinya bersama keluarga hanya bergantung dari uluran tangan dan bantuan pemerintah.
“Saya dan istri bersama tiga anak saya sebelumnya tinggal di posko pengungsian di Desa Lewolaga. Hampir setahun itu saya tidak punya penghasilan karena belum bisa bekerja,” tutur Sule.
Sule mengaku lega saat ia dan keluarganya dipindahkan hunian sementara (Huntara) di Desa Konga pada Maret lalu. Di sana, ia kembali bekerja sebagai tukang tambal ban.
Bermodalkan dana sekitar Rp600 ribu, ia membeli peralatan secukupnya untuk membuat sebuah bangunan darurat untuk menyimpan peralatan bengkel.
“Bahan bangunan ini kita ambil barang bekas. Ada yang orang jual kita beli. Peralatan bengkel ini peralatan bekas dulu yang biasa saya gunakan,” tutur Sule.
Rezeki dari tambal ban di tempat pengungsian, kata dia, memang tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup. Tapi mau bagaimana lagi, tambal ban adalah pekerjaan satu-satunya yang dapat ia lakukan.
“Kalau di kompleks huntara ini seluruh desa yang jadi korban bencana ada di sini. Bengkel tidak hanya saya sendiri. Orang lain juga buka. Jadi, kalau pendapatan tidak seberapa. Sehari saja, kalau ada satu yang tambal ban itu sudah syukur sekali,” kata dia.
Ayah tiga anak ini mengaku kesulitan untuk membiayai pendidikan anak. Saat ini, salah satu anaknya belum bisa melanjutkan pendidikan ke tingkat SMA lantaran kesulitan biaya.
“Saya punya anak pertama itu sekolah di STM Bina Karya. Anak yang bungsu, sekolah di Santisima Hokeng, tapi karena bencana ia pindah ke Maumere. Anak saya yang kedua baru tamat SMP sudah mau jalan dua tahun ini pilih untuk tahan-tahan dulu. Kalau dengan kondisi ini kita mau paksa juga lama-lama kita mati,” cerita Sule.
Sule belum mengetahui informasi mengenai usulan Pemkab Flotim terkait bantuan pendidikan gratis. Namun, ia sangat berharap, usulan itu disetujui oleh pemerintah pusat.
“Ini kita mau daftarkan dia untuk sekolah di tahun ajaran baru. Kalau memang ada biaya pendidikan gratis, maka itu akan sangat membantu kami,” kata Sule berharap.
Pemerintah Kabupaten Flores Timur sendiri mengusulkan ke pemerintah pusat mengenai biaya pendidikan gratis bagi anak-anak penyintas erupsi Lewotobi.
Wakil Bupati Flotim, Ignasius Boli Uran, kepada Ekora NTT pada Kamis, 19 Juni 2025 bilang bahwa akibat erupsi, banyak warga kehilangan pendapatan untuk memenuhi kebutuhan keluarga, terutama biaya pendidikan anak-anak.
“Kita tahu untuk makan minum negara sudah jamin. Untuk kesehatan itu kan gratis. Tapi terutama yang pendidikan, itu yang mengakibatkan orang tua di pengungsian kembali ke kampung untuk beraktivitas mencari nafkah. Ini alasan utama mengapa warga pengungsi yang berada dalam status KRB tapi mereka tetap beraktivitas,” kata Ignasius.