Kemanusiaan, Lingkungan, dan Spiritualitas Bali Interfaith Movement

BIM bukan sekadar forum diskusi antaragama, melainkan sebuah gerakan transformatif yang mengintegrasikan nilai-nilai spiritual, etika sosial, dan kesadaran ekologis.

Oleh: Anselmus Dore Woho Atasoge*

Dalam lanskap sosial global yang semakin terfragmentasi oleh polarisasi identitas dan krisis ekologis, muncul sebuah inisiatif dari Indonesia yang menawarkan pendekatan alternatif berbasis spiritualitas dan kolaborasi lintas iman: Bali Interfaith Movement (BIM). Gerakan ini diluncurkan secara resmi oleh Kementerian Agama Republik Indonesia, bekerja sama dengan jaringan Gusdurian dan organisasi United in Diversity, sebagai respons terhadap tantangan dehumanisasi dan kerusakan lingkungan yang semakin mengkhawatirkan.

Bagi saya, BIM bukan sekadar forum diskusi antaragama, melainkan sebuah gerakan transformatif yang mengintegrasikan nilai-nilai spiritual, etika sosial, dan kesadaran ekologis.

Dalam konferensi pers peluncurannya di Denpasar Selatan pada Desember 2024 yang lalu, Pelaksana Tugas Direktur Urusan Agama Islam Kemenag, Ahmad Zayadi, menyatakan bahwa BIM bertujuan membangun kesadaran kolektif sebagai warga bangsa untuk merajut semangat kebangsaan, merawat kebinekaan, dan menjaga harmoni sosial serta lingkungan.

Gerakan ini berpijak pada Deklarasi Istiqlal, sebuah dokumen moral yang ditandatangani oleh Paus Fransiskus dan Imam Besar Masjid Istiqlal, Nasaruddin Umar. Deklarasi ini menyerukan penolakan terhadap kekerasan atas nama agama, penguatan nilai keberlanjutan dalam praktik keagamaan, dan regenerasi tokoh lintas iman yang progresif.

Dalam konteks Indonesia yang plural dan rentan terhadap konflik identitas, agama memiliki potensi besar sebagai kekuatan sosial yang mampu merawat kebinekaan dan membangun solidaritas lintas komunitas. Bali Interfaith Movement (BIM) hadir sebagai manifestasi dari potensi tersebut, dengan menegaskan bahwa spiritualitas tidak hanya berfungsi dalam ranah transenden, tetapi juga harus hadir secara konkret dalam kehidupan sosial dan ekologis.

Gerakan ini mengintegrasikan nilai-nilai agama sebagai kekuatan etis untuk merespons krisis dehumanisasi dan kerusakan lingkungan, sebagaimana ditegaskan oleh Ahmad Zayadi dari Kementerian Agama bahwa aktor layanan keagamaan harus menjadi teladan dalam mentransformasikan nilai-nilai spiritual ke dalam tindakan nyata.

Menteri Agama RI, Nasaruddin Umar, menyebut gerakan ini sebagai bentuk religious diplomacy—diplomasi agama yang bertujuan menciptakan transformasi sosial dan lingkungan.

Ia menekankan bahwa jika semua pihak bekerja dengan hati nurani, maka sekat-sekat identitas akan luluh dan kolaborasi lintas iman dapat terwujud secara berkelanjutan. Melalui pendekatan religious diplomacy, BIM mendorong moderasi beragama sebagai jembatan untuk menciptakan harmoni sosial dan menjaga keberlanjutan lingkungan, dengan Bali sebagai laboratorium perdamaian yang merepresentasikan spiritualitas lokal yang inklusif dan membumi.

Tentu pemilihan Bali sebagai lokasi utama BIM bukan tanpa alasan. Pulau ini memiliki warisan spiritual dan budaya yang mendunia, serta dikenal sebagai ruang kontemplatif yang terbuka terhadap keberagaman. Di tengah ancaman komersialisasi dan degradasi lingkungan, Bali menjadi simbol dari spiritualitas yang membumi dan inklusif.

Kala itu, rangkaian kegiatan BIM yang melibatkan 15 perguruan tinggi keagamaan negeri di Indonesia, menjadikannya sebagai gerakan nasional yang mengakar di berbagai lapisan masyarakat. Acara puncaknya, yang berlangsung pada 14–15 Desember 2024, merupakan bagian dari Tri Hita Karana Universal Reflection Journey, sebuah inisiatif global yang mengintegrasikan nilai kebangsaan dan keberlanjutan.

Bagi saya, Bali Interfaith Movement adalah representasi dari semangat baru dalam keberagamaan: spiritualitas yang aktif, membumi, dan transformatif. Ia mengajak agama-agama untuk keluar dari ruang privat dan hadir di tengah masyarakat yang terluka oleh konflik dan eksploitasi.

Gerakan ini menunjukkan bahwa nilai-nilai iman dapat menjadi kekuatan pemulih, bukan pemecah. Bahwasanya, ketika spiritualitas bersatu dengan aksi sosial dan kepedulian ekologis, agama menemukan kembali relevansinya di tengah dunia yang sedang mencari arah.

Dari sudut pandang sosiologi agama, Bali Interfaith Movement dapat dipahami sebagai bentuk aktualisasi agama dalam ruang sosial yang lebih luas, di mana agama tidak hanya berfungsi sebagai sistem kepercayaan transenden, tetapi juga sebagai sistem makna yang membentuk interaksi sosial dan struktur masyarakat.

Clifford Geertz dalam teorinya tentang agama sebagai sistem budaya menekankan bahwa agama menyediakan kerangka simbolik yang memungkinkan individu memahami dunia dan posisi mereka di dalamnya. Dalam konteks BIM, spiritualitas lintas iman menjadi medium untuk membangun solidaritas sosial dan merespons krisis kemanusiaan serta ekologis secara kolektif. Gerakan ini menunjukkan bahwa agama, ketika diposisikan sebagai kekuatan sosial, mampu melampaui batas-batas sektarian dan menjadi alat rekonsiliasi serta transformasi sosial.

Lebih jauh, pendekatan sosiologi agama juga melihat BIM sebagai proses konstruksi sosial yang melibatkan tiga tahapan utama: eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi (Berger & Luckmann, 1966).

Eksternalisasi tercermin dalam praktik nyata seperti penanaman pohon lintas iman dan kampanye anti-kekerasan, yang menunjukkan bahwa nilai-nilai spiritual diartikulasikan melalui tindakan sosial. Objektivasi terjadi ketika nilai-nilai toleransi dan keberlanjutan diakui sebagai norma sosial yang mengatur hubungan antarumat beragama.

Sementara internalisasi tampak dalam kesadaran kolektif masyarakat Bali yang menjadikan harmoni sebagai bagian dari identitas budaya dan spiritual mereka. Studi tentang kehidupan sehari-hari di desa-desa seperti Pemuteran di Bali menunjukkan bahwa praktik toleransi bukan sekadar wacana, melainkan realitas yang dibentuk dan diwariskan melalui interaksi sosial yang berkelanjutan.

Pemuteran adalah desa nelayan yang tenang di pesisir barat laut Bali, jauh dari keramaian pariwisata. Suasananya yang damai dan autentik menjadikannya tempat ideal bagi pencari ketenangan dan keindahan alam.

Selain dikenal sebagai pusat konservasi laut melalui proyek Biorock, Pemuteran juga mencerminkan keseimbangan antara spiritualitas lokal, pelestarian lingkungan, dan pariwisata berkelanjutan menjadikannya ruang yang selaras dengan semangat Bali Interfaith Movement.

Pada titik ini, BIM bukan hanya gerakan moral atau politik, tetapi juga fenomena sosiologis yang merefleksikan bagaimana agama dapat menjadi kekuatan pemersatu dalam masyarakat multikultural. Ia memperlihatkan bahwa spiritualitas yang membumi dan inklusif dapat menjadi fondasi bagi rekonstruksi sosial yang lebih adil dan berkelanjutan. Dalam era globalisasi yang sering kali memperuncing perbedaan, BIM menawarkan model alternatif: agama sebagai jembatan, bukan tembok; sebagai energi sosial, bukan sekadar dogma.

Akhirnya, jika agama mampu menjadi cahaya dalam kegelapan zaman, maka ia akan menjadi kekuatan yang tak tergantikan dalam membangun masa depan yang lebih adil, damai, dan berkelanjutan. BIM telah menunjukkan bahwa harapan itu bukan utopia, melainkan keniscayaan yang bisa diwujudkan melalui kolaborasi lintas iman dan kesadaran kolektif.

*Anselmus Dore Woho Atasoge, staf pengajar pada Stipar Ende

spot_img
spot_img
TERKINI
BACA JUGA