Maumere, Ekorantt.com – Sudah jatuh tertimpa tangga lagi. Demikianlah pepatah yang cocok untuk melukiskan kejadian yang menimpa Rion, 32 tahun, warga Kota Ende, Kabupaten Ende, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Bagaimana tidak, ketika berjibaku di tengah masa sulit pandemi Cocid-19, ia juga jadi sasaran empuk dari tipu daya investasi bodong.
Mulanya, ia diajak oleh seniornya semasa kuliah dulu untuk bergabung di HIPO. Tanpa berpikir panjang, Rion mengiyakan tawaran tersebut. Ia mau bergabung karena tertarik dengan keuntungan yang dijanjikan.
“Saya coba daftar dulu. Kalau dilihat, keuntungan yang dijelaskan waktu itu besar. Siapa yang tidak mau bergabung kalau bunganya besar,” kenang Rion.
Ada klasifikasi bonus yang berpengaruh pada besaran uang saat pendaftaran. Dan Rion bergabung awal dengan dana yang besar yakni 15 juta rupiah. Ia berusaha menyanggupinya karena bayang-bayang keuntungan sudah ada di depan mata, demikian keyakinannya.
“Saya sangat bersemangat. Saya pinjam uang untuk daftar. Karena saya percaya uang pasti kembali lagi dengan cepat,” tutur Rion.
Rion bercerita bahwa pola investasi yang dikembangkan HIPO menyerupai pola Multi Level Marketing sebagaimana umumnya. Setiap anggota berusaha merekrut calon nasabah untuk menopang sekaligus menjaga keberlangsungan jaringan bisnis. Demikian pula anggota baru menjaring calon anggota lagi. Begitu seterusnya dan seterusnya.
Sebulan menjadi anggota, Rion sudah mendapatkan bonus. Ia tambah semangat, kemudian ikut mensosialisasikan ‘kabar gembira’ ini. Sayangnya, itulah kesempatan pertama dan terakhir ia mendapatkan bonus.
“Saya lihat ada tanda-tanda tidak baik. Senior saya juga bingung. Saya sangat kecewa. Tapi mau bilang apa, nasi sudah jadi bubur,” ungkapnya kecewa.
Pengalaman serupa dialami Asti, 34 tahun, seorang karyawan di salah satu lembaga keuangan di Maumere, Kabupaten Sikka. Setelah berulangkali diajak oleh teman kantor, ia bergabung pada investasi mata uang digital atau lebib sering dikenal dengan nama Cryptocurrency.
Tergiur dengan bunga simpanan 10 persen per bulan, Asti tak ragu berinvestasi 10 juta rupiah di awal. Begitu juga dengan tiga temannya yang lain, rela ‘mencubit’ uang tabungan mereka untuk cari peruntungan di Cryptocurrency.
“Teman kantor yang sudah biasa main di Cripto atau apalah namanya itu, ajak gabung. Dia bilang, setelah simpan awal nanti ada pemasukan per bulan. Lumayan bisa tambah uang bulanan,” cerita Asti.
Asti mengatakan, dirinya bersama tiga teman lain bergabung di Cryptocurrency sebagai pemain pasif. Hanya menyimpan dana awal, lalu menanti uang bunga simpanan setiap bulan.
“Teman yang ajak itu yang punya akun dan mengelola uang. Saya sudah tidak ingat persis sistemnya. Tapi kami dijanjikan bunga yang kami dapat setiap bulan,” ujarnya.
Bulan pertama, uang sebesar 400 ribu rupiah masuk ke rekening. Asti percaya diri dengan prospek investasi tersebut. Bulan kedua juga begitu. Ia semakin yakin. Cerita berbeda pada bulan ketiga dan selanjutnya.
“Uang sudah tidak masuk lagi. Kami tanya ke teman yang main, dia bilang ‘bersabar’. Setiap bulan begitu terus. Sampai kami bosan. Sekarang sudah hilang kabar. Uang lenyap,” ucapnya dengan kesal.
Temuan Satgas Waspada Investasi
Alih-alih mau meraup keuntungan, baik Rion maupun Asti tidak tahu keberadaan uangnya sekarang. Mereka tertipu investasi bodong. Hal inilah yang menjadi fokus dari Satgas Waspada Investasi.
Menukil data Satgas Waspada Investasi per September 2020, terjaring 126 fintech peer-to-peer lending ilegal, 32 entitas investasi, dan 50 perusahaan gadai tanpa izin.
Dari data yang sama, total fintech ilegal yang telah ditangani Satgas Waspada Investasi sejak tahun 2018 sampai dengan September 2020 mencapai 2.840 entitas.
Ketua Satgas Waspada Investasi Tongam Lumban Tobing dalam keterangan pers yang diterima Ekora NTT menjelaskan tawaran fintech lending ilegal dan investasi tanpa izin masih banyak bermunculan di masyarakat dan mengincar kalangan yang pendapatannya terdampak pandemi Covid-19.
“Kami masih menemukan penawaran fintech lending ilegal dan investasi tanpa izin yang sengaja memanfaatkan kesulitan keuangan sebagian masyarakat di masa pandemi ini. Fintech lending dan tawaran investasi ilegal ini hanya bikin rugi dan bukanlah solusi bagi masyarakat,” kata Tongam.
Satgas Waspada Investasi juga menghentikan 32 entitas yang diduga melakukan kegiatan usaha tanpa izin dari otoritas yang berwenang dan berpotensi merugikan masyarakat karena melakukan penipuan dengan menawarkan pemberian imbal hasil yang sangat tinggi dan tidak wajar.
Selain itu banyak juga kegiatan yang menduplikasikan website entitas yang memiliki izin sehingga seolah-olah website tersebut resmi milik entitas yang berizin.
Dari 32 entitas tersebut diantaranya melakukan kegiatan yakni 2 Perdagangan Berjangka/Forex Ilegal, 3 Penjualan Langsung (Direct Selling) Ilegal, 2 Investasi Cryptocurrency Ilegal, dan 25 lainnya.
Cara Menghindari Investasi Bodong
Investasi bodong telah merebak luas di masyarakat. Kepala Kantor OJK NTT, Robert Sianipar pun mengimbau masyarakat untuk selalu mewaspadai tawaran investasi yang tidak memiliki izin alias bodong tersebut.
Sianipar juga mengutarakan tips sederhana untuk menghidari diri dari cengkraman investasi bodong. Menurutnya, penting untuk mencerna apakah bunga investasi yang ditawarkan logis atau tidak.
Bagi Sianipar, adalah tidak logis kalau entitas investasi menawarkan model investasi dengan bunga yang tinggi. Misalnya ada yang menghimpun dana dari masyarakat dengan mamatok bunga hingga 10 persen.
“Kan tidak logis. Mana mungkin itu terjadi kalau investasi yang sebenarnya. Kalau pun demikian, kenapa mereka tidak pakai uang mereka sendiri. Kan lebih untung ,” jelasnya saat berkunjung ke Maumere beberapa waktu lalu.
Tips lain yang ia sampaikan adalah mengecek badan hukum entitas investasi, apakah sudah terdaftar di OJK atau belum. Kalau sudah terdaftar, bisa dipercaya. Tapi seandainya belum, kata Sianipar, harus hati-hati dan tidak boleh terjebak di dalamnya.