Eto Kwuta*
“Pada akhirnya, digitalisasi perlu dijadikan titik balik untuk ‘membukukan’ hiasan status-status digital (status galau di facebook, misalnya) ditulis menjadi sebuah karya yang sederhana, tetapi enak dibaca.”
Logika zaman terus menampakkan taringnya secara berbeda dan berubah-ubah. Jika kita ikut perubahan, maka kita tidak dibilang ‘tertinggal’ melainkan masuk dan tercebur dalam arus perubahan itu.
Saat ini, banyak orang masih sibuk mempelajari dan memperdebatkan tentang ideologi ekonomi, seperti kapitalisme, komunisme, sosialisme, neokolonialisme, digitalisme, liberalisme, dan lain-lain, lalu berusaha untuk berperang melawan ketidakadilan yang terjadi pada semua aspek kehidupan.
Tentu, tulisan ini tidak berbicara pada porsi perdebatan tema-tema tersebut, melainkan membacanya sebagai latar belakang: untuk apa merasa kalah dan tertinggal, padahal zaman ini telah membuka ruang untuk berkarya dalam porsi unpredictable-tak dapat diprediksi?
Dalam situasi tak dapat diprediksi ini, saya menyodorkan digitalisme sebagai ruang titik balik untuk mendesain semua mimpi-mimpi dan cita-cita setiap orang berdasarkan apa yang hendak digeluti dan atau dikerjakan.
Fenomena Umum
Saat ini, anak-anak milenial tidak lagi memanfaatkan terobosan penyediaan akses pendidikan bermutu melalui Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) dengan baik, melainkan membalikkan fungsi yang sesungguhnya, yakni membuat mudah jadi susah. Hal yang mudah disalahgunakan sampai pada efek ‘euforia’ teknologi semata.
Misalnya, anak-anak terjebak pada arus digitalisasi yang berlebihan sehingga muncul persoalan pribadi dibawa ke dalam ruang publik, menurunnya minat baca, kemalasan merajalela, bolos sekolah, muncul kekerasan internal sekolah, minum minuman keras, dan lain-lain. Kultur yang buruk ini berdampak pada menurunnya prestasi akademik sekolah baik secara individual maupun kolektif.
Terlepas dari dampak akademik di atas, literasi baca-tulis perlu dirintis untuk membentuk karakter anak-anak sebagai pecandu buku pada suatu masa di waktu yang akan datang.
Dalam buku berjudul Marx in the Age of Digital Capitalism, Vincent Mosco mengidentifikasi dua cara pandang terhadap jagat digital, yakni pertama, digital sebagai ruang publik demokratis-deliberatif, yang melihat bahwa ada begitu banyak kemudahan mengakses informasi, menyampaikan pendapat secara bebas, serta berpartisipasi dalam perbincangan publik tentang urusan-urusan bersama.
Kedua, melihat ranah digital sebagai objek pengelolaan dan pengendalian perusahan digital global dan lembaga inteligen negara (Agus Sudibyo, 2019:23).
Terlepas dari poin kedua, digital sebagai ruang publik demokratis-deliberatif tidak dimengerti hanya sebatas: akses informasi, memberi opini, atau berkomentar di dinding facebook karena status galau, atau menulis kicauan puitis di twitter dan media lainnya, melainkan satu cara pandang yang lebih luas tentang bagaimana berpartisipasi dalam perbincangan publik dengan cara yang biasa tetapi luar biasa dampaknya.
Reformasi Literasi sebagai ‘Ritus’
Dalam paradigma reformasi literasi, misalnya dalam hal sastra, yang paling penting untuk ditindaklanjuti, bukan terbatas pada baca-tulis semata, namun lebih dari itu, yakni mengubah pola pikir anak-anak tentang ritus menulis sejak dini. Mengapa harus ‘ritus’? Saya sengaja memasukkan kata ’ritus’ sebagai satu bentuk dialektika (berbahasa dan bernalar dengan dialog sebagai cara untuk menyelidiki suatu masalah).
Di sini, masalah terletak pada literasi baca-tulis yang belum dihidupkan sebagaimana mestinya. Jadi, usaha untuk menciptakan dialog praktis ialah melalui proses menciptakan hasil karya. Jika Anda merasa perlu untuk mengapresiasi banyak karya-karya baru yang ditelurkan saat ini, maka bacalah dan tulislah kritik atasnya sebagai argumentasi sastrawi yang bakal dikenang pada akhirnya.
Kalau tidak terjadi demikian, biarkan buku atau karya-karya ini seperti apa adanya saat ini, karena menulis tidak selalu mengharapkan apresiasi sebagai akibat dari buku atau karya yang diterbitkan.
Mengutip Sapardi Djoko Damono, dalam sebuah pengantar buku Sosiologi Sastra, beliau menulis: “Sastra adalah kristalisasi keyakinan, nilai-nilai, dan norma-norma yang disepakati masyarakat; yang meliputi berbagai jenis pengungkapan pengalaman dan penghayatan manusia disampaikan oleh Nenek di tempat tidur, pawang dalam suasana ritual, dan pemuka masyarakat dalam berbagai jenis upacara. Tidak peduli apakah khalayak yang mendengarkan memiliki apresiasi atau tidak (Robert Escaprit, 2005: viii).
Pandangan Sastrawan Sapardi adalah sebuah motivasi murni tentang bagaimana sastra itu dikembangkan sebagai sebuah ritual dan atau kebiasaan yang sebaiknya diapresiasi atau sebaliknya. Dalam proses mencipta dan apresiasi yang diharapkan, pada akhirnya sastra diterima khalayak atau tidak, bukanlah sebuah kecelakaan dalam sejarah kesusastraan itu; sehingga karya berupa buku-buku menghasilkan sebuah proses to be (menjadi) dan to have (memiliki).
Karena proses itu, maka dengan sendirinya, hemat saya, khalayak atau publik mengapresiasi. Terlepas dari pernyataan Sapardi, karya-karya berupa buku adalah milik masyarakat, karena dilahirkan atau diciptakan dari proses kristalisasi, nilai-nilai, dan norma-norma yang ada dan dimiliki oleh pengarang atau penulisnya.
Lebih jauh, dalam kaca mata reformasi literasi nasional, Nadiem Makarim sebagai Menteri Pendidikan menegaskan soal kompetensi atau kealihan anak-anak sebagai senjata untuk menaklukkan dunia.
Saat ini, ada begitu banyak anak-anak di Pulau Jawa yang lebih maju pola pikirnya karena membaca dan menulis dijadikan sebagai kebiasaan. Seperti sebuah ritus yang tidak disangkal atau semacam doa yang tidak terlepas dari pribadi yang beriman.
Saya sedikit mengimpovisasi literasi baca-tulis sebagi ritus, supaya literasi bisa dijadikan sebagai kebiasaan seperti ketika Anda hendak berdoa menurut keyakinan atau agama masing-masing. Jika dalam Katolik, Anda membuat simbol ‘salib’, maka dalam menulis Anda menciptakan simbol-simbol yang sangat kaya dan bervariasi yang bisa diandalkan hingga pada akhirnya dijadikan sebagai karakter dalam gaya menulis seorang pengarang.
Pada akhirnya, digitalisasi perlu dijadikan titik balik untuk ‘membukukan’ hiasan status-status digital (status galau di facebook, misalnya) ditulis menjadi sebuah karya yang sederhana, tetapi enak dibaca.
Untuk itu, sebelum menulis, dibutuhkan proses membaca banyak referensi buku-buku yang diminati. Atau, dengan mendengar lagu Coldplay, Anda bisa menerjemahkan ke dalam bentuk cerpen yang unik dan berbeda. Dalam setiap karya-karya yang ada, salah satu contoh yang paling relevan ialah Kumpulan Puisi Mendengarkan Coldplay oleh Mario F. Lawi (Sastrawan NTT) yang sudah go international.
Oleh karena itu, pakailah ruang digital untuk menciptakan karya yang bisa dikonsumsi oleh banyak orang. Dengan kata lain, kita membuat jadi naskah hal-hal sederhana yang kita rasakan, alami, dengar, dan resapkan dalam proses belajar di mana saja kita berada.
Maka, karya Anda akan menjadi satu reformasi literasi yang konkret sebagai usaha untuk melawan lupa; karena menulis itu menghidupkan yang mati.*
*Penulis adalah editor di Surat Kabar Ekora NTT