Stunting dan Perilaku (Tidak) Sehat

Oleh: Lasarus Jehamat*

Menurut klasifikasi kesehatan, beberapa hal berikut diidentifikasi sebagai penyebab stunting, yakni rendahnya akses terhadap makanan bergizi, rendahnya asupan vitamin dan mineral, dan buruknya keragaman pangan dan sumber protein hewani.

Disebutkan, faktor ibu dan pola asuh yang kurang baik terutama pada perilaku dan praktik pemberian makan kepada anak juga menjadi penyebab anak stunting. Jika ibu tidak memberikan asupan gizi yang cukup dan baik kepada bayi dan anaknya maka peluang munculnya stunting sangat tinggi.

Selain itu, ibu yang masa remajanya kurang nutrisi, bahkan di masa kehamilan, dan laktasi akan sangat berpengaruh pada pertumbuhan tubuh dan otak anak.

Hasil Pemantauan Status Gizi (PSG) 2017 menunjukkan prevalensi Balita stunting di Indonesia masih tinggi, yakni 29,6% di atas batasan yang ditetapkan WHO (20%).

Ricardo (dalam Bhutta, 2013) menyebutkan balita stunting berkontribusi terhadap 1,5 juta (15%) kematian anak balita di dunia dan menyebabkan 55 juta anak kehilangan masa hidup sehat setiap tahun (sehatnegeriku.kemkes.go.id, 03/09/2022).

Berdasarkan Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) 2021, masih ada 15 kabupaten di NTT yang berkategori merah dalam kasus stunting. Status merah berarti prevalensi stunting NTT masih di atas 30 persen (Kompas.com, 03 Maret 2022). Data menunjukkan, tren prevalensi stunting di NTT fluktuatif, yakni 24 (2020), 20,9 (2021) dan 22,7 (Februari 2022).

Secara umum, lima belas kabupaten yang masuk kategori merah stunting adalah Timor Tengah Selatan, Timor Tengah Utara, Alor, Sumba Barat Daya, Manggarai Timur, Kabupaten Kupang, Rote Ndao, Belu, Manggarai Barat, Sumba Barat, Sumba Tengah, Sabu Raijua, Manggarai, Lembata dan Malaka. Kabupaten TTS dan TTU memiliki prevalensi di atas 46 persen.

Tujuh kabupaten dan kota berstatus kuning dengan prevalensi 20 hingga 30 persen, di antaranya Ngada, Sumba Timur, Negekeo, Ende, Sikka, Kota Kupang serta Flores Timur. Tiga daerah seperti Kabupaten Ngada, Sumba Timur dan Negekeo mendekati status merah. Tidak ada satu pun daerah di NTT yang berstatus hijau yakni berprevalensi stunting antara 10 hingga 20 persen.

Ada adagium penting yang harus diingat terkait stunting. Yang pendek belum tentu stunting, tetapi yang stunting pada umumnya pendek. Saya tidak berpretensi menjelaskan stunting dari aspek kesehatan. Tulisan ini hanya menyoroti stunting dari aspek sebab sosial budaya dan mendiskusikan kebijakan negara di NTT. Selain karena status stunting yang tinggi, kemiskinan ekstrim nyata ada di sini.

Membaca data, fenomena stunting di NTT muncul karena dua sebab sekaligus. Pertama, secara internal, praksis sosial dan beberapa praktik budaya masyarakat cenderung berdampak buruk bagi kesehatan fisik dan mental anak serta melanggeng masalah sosial dan kesehatan pada giliran berikutnya.

Kedua, secara eksternal, negara mesti bertanggung jawab atas semua kebijakan ekonomi yang berdampak pada menurunnya kadar kesehatan masyarakat.

Tulisan ini hanya membahas sebab internal munculnya stunting yakni karena salah praktik budaya dan buruknya kebiasaan sosial masyarakat. Jika sedikit dihubungkan dengan perspektif teoritik, tulisan ini ingin membahas perilaku sosial dan budaya masyarakat NTT.

Patut dicatat bahwa kesaksian yang ditulis di sini lebih pada eksplorasi pengalaman individu penulis terkait pola didik dan perilaku sehat masyarakat jika dihubungkan dengan salah praktik sosial dan budaya.

Salah Paham Sosial Budaya

Aturan kesehatan menunjukkan selain kondisi fisik dan lingkungan, kebijakan, dan lain-lain, kesehatan calon ibu dan pola hidup calon ibu sehari-hari sangat berpengaruh pada status kesehatan bayi dan anak. Dengan demikian, kadar gizi anak-anak, laki-laki dan terutama perempuan harus menjadi perhatian bersama.

Menariknya, masih terjadi pada masyarakat kita, di beberapa tempat, saat ideologi patriarki masih melekat kuat dan dipraktikkan di ruang sosial masyarakat, posisi anak perempuan dan calon ibu nyata-nyata kurang dihiraukan baik secara sosial maupun dari aspek kesehatan.

Fakta anak laki-laki menjadi prioritas agak sulit dibantah. Realitas seperti ini memang perlahan-lahan mulai ditinggalkan. Hanya, untuk satu dua kasus, di beberapa tempat di NTT misalnya, anak perempuan tidak boleh makan bersama dengan yang lain. Perempuan baru boleh makan jika kelompok yang lain sudah selesai makan. Setelah mencuci piring dari kelompok laki-laki, perempuan baru bisa makan. Fakta orang tua makan lebih dahulu dari anak-anak dan perempuan masih menadi pemandangan sosial di beberapa tempat.

Menariknya, pada beberapa tahun lalu, ada semacam hukum sosial yang menarik saat menyantap makanan bergizi, seperti mengkonsumsi daging ayam. Saat mengkonsumsi daging, pada periode tersebut, orang tua (ayah) biasanya menyantap bagian isi daging, sedangkan anak-anak mendapatkan bagian kepala, tulang dan sayap ayam yang disembelih itu.

Salah kaprah sosial dan budaya tersebut didukung penuh oleh masuknya pasar ke masyarakat melalui produk instan andalannya. Melalui produk tersebut, penyedap rasa dijadikan alat untuk memengaruhi lidah masyarakat terutama lidah bayi dan anak-anak. Yang terjadi kemudian ialah bayi lebih sering melahap makanan yang telah dicampur dengan kuah mie instan ketimbang dengan kuah sayur atau kacang-kacangan.

Merujuk pada kasus di atas, menurut saya ada dua sebab utama merebaknya gejala stunting di NTT. Konfigurasi sosial, budaya, dan adat, serta ideologi menyebabkan calon ibu terus ditekan. Determinasi ideologi patriarki berimplikasi pada penyudutan perempuan ke ruang sempit rumah fisik dan sosial budaya.

Akibatnya, aspek kesehatan ibu dan calon ibu sungguh diabaikan. Inilah yang menjadi salah satu sebab awal merebaknya stunting di daerah ini.

Pada bagian lain, negara dan modal mendeterminasi kaum perempuan melalui produk yang dibawa sampai ke desa. Galibnya, negara bisa memiliki dua wajah sekaligus; sebagai aparatus pelayan masyarakat dan sebagai media dan pintu masuknya modal ke masyarakat.

Hemat saya, melalui dua wajah ini, negara berhasil memporakporandakan kekuatan masyarakat dalam menjaga kesehatan.

Memeriksa Perilaku Sosial Budaya

Perilaku sosial budaya harus diperiksa dan diintervensi. Model intervensinya bersifat vertikal dan horizontal. Secara vertikal, negara dituntut untuk kembali ke jalan yang benar dengan menampilkan dan mempraktikan wajah humanis.

Dengan kata lain, negara dilarang menunjukkan muka setan yang memfasilitasi semua kepentingan modal ke masyarakat. Termasuk di dalamnya ialah memfasilitasi kepentingan lembaga lain di luar negara dan modal yang bertujuan memengaruhi kekuatan Indonesia sebagai sebuah bangsa yang besar secara hegemonik.

Oleh karena itu, penguatan kapasitas perempuan, orang tua, dan masyarakat harus terus dibangun. Proses itu memang membutuhkan waktu yang lama. Untuk jangka pendek, proses peningkatan kapasitas dilakukan melalui semua jalur dengan kesehatan sebagai garda terdepan.

Setelah lembaga kesehatan, lembaga pendidikan, ekonomi, pertanian, adat, dan lembaga lain harus bahu-membahu mengkampanyekan kepedulian terhadap ibu, calon ibu, bayi, dan anak-anak untuk menghentikan peningkatan pertumbuhan angka stunting. Termasuk di dalamnya ialah penguatan kelembagaan ekonomi kreatif berbasis kearifan lokal.

Secara horizontal, kampanye perbaikan perilaku tidak sehat menjadi perilaku sehat, perlu mengandalkan kerja sama semua pihak dengan basis saling menghargai dan saling mendukung. Sebab, stop stunting saat ini tengah menjadi program seksi yang bukan tidak mungkin penuh dengan lumuran kepentingan.

*Penulis adalah Dosen Sosiologi Fisip Undana; Koordinator Pusat Studi Kebudayaan dan Pariwisata Undana; Peneliti Teras Demokrasi Indonesia (TDI)

spot_img
TERKINI
BACA JUGA