Mbay, Ekorantt.com – Pagi itu, Senin, 12 Juni 2023 adalah hari pertama ujian praktik literasi di SDI Wudu, Kecamatan Boawae, Kabupaten Nagekeo. Sekolah menetapkan pekan itu sebagai pekan literasi untuk mengukur tingkat kemampuan membaca dan kepemahaman siswa.
Ignasius Zenobio Betu Mea (8), siswa kelas 2A juga ikut praktik membaca kosakata, kalimat, dan paragraf. Ujian perorangan itu dilaksanakan di luar kelas masing-masing.
Ignasius ialah salah satu dari delapan siswa kelas 2 yang merupakan prioritas sekolah untuk mengetahui sejauh mana kemampuan membaca dan pemahamannya. Sebelumnya, dia adalah siswa yang secara kemampuan membaca lambat sejak duduk di kelas awal.
“Jadi, memang sejak kelas satu sistem pembelajaran diferensiasi atau pengelompokkan sudah dibagikan sesuai tingkat kemampuan membaca,” kata Kepala SDI Wudu, Bergita Pawe Dede.
Ignasius masuk ke ruang kepala sekolah pada pertengahan ujian praktik literasi. Ia bersama Klaudius Bu’u Nio (8), teman kelompok membaca lambat di kelasnya. Kemudian diikuti siswa kelas 1 pada kelompok membaca lambat, diantaranya; Ana Maria Wonga (7), Maria Melania Nanga Azi (7), dan Justianus David Mani (7).
Di sana, para siswa ini diuji membaca pada satu alinea oleh kepala sekolah. Dalam testimoni itu, siswa-siswi tersebut membaca lancar pada kata-kata yang mudah. Sedangkan kata yang sulit serta pada bagian suku kata lebih dari tiga, durasi membaca para siswa menjadi lambat.
Namun secara keseluruhan, perkembangan literasi membaca nampak ada kemajuan dari sebelumnya, termasuk Ignasius. “Semua sudah membaca lancar, hanya tidak semua siswa mampu memahami,” ucap Bergita.
Libatkan Orangtua
Permasalahan literasi anak di SDI Wudu, umumnya dipengaruhi oleh kebiasaan penggunaan bahasa di keluarga, lingkungan masyarakat maupun sekolah. Hasil studi kasus Bergita sejak dilantik menjadi kepala sekolah pada tahun 2016, 90% siswa kelas 1 hingga kelas 6 menggunakan bahasa Nage.
Selain itu, pola asuh orangtua yang enggan memperhatikan literasi membaca anak di rumah menjadi faktor permasalahan serius. Bergita menyatakan, terdapat siswa yang ditinggalkan orangtua karena merantau sehingga perhatian terhadap hak-hak anak diabaikan.
“Ada anak yang dititip di paman dan tantanya, ada yang tinggal dengan neneknya. Anak benar-benar tidak diperhatikan.”
“Anak datang ke sekolah penuh kusut. Pakaian dan alat tulis menulis tidak diperhatikan secara baik,” kata Bergita.
Rendahnya literasi anak mendorong pihak sekolah mengidentifikasi permasalahan siswa melalui profil belajar siswa (PBS). Program ini menyentuh langsung ke siswa secara pribadi mulai dari tingkat membaca, kepemahaman, faktor keluarga, lingkungan, motorik kasar dan motorik halus (anak berkebutuhan khusus) hingga kesehatan siswa.
Program itu merekomendasikan peran orangtua dalam kegiatan pembelajaran di sekolah. Para orangtua dilibatkan pada setiap akhir pekan untuk siswa kelas 1.
“Dalam pembelajaran pengenalan huruf ada orangtua yang dilibatkan dalam kelas,” kata Bergita.
Begitu pula kegiatan membaca berpasangan di perpustakaan untuk siswa kelas 2 sampaik kelas 6, orangtua dilibatkan dalam setiap akhir bulan. Siswa, guru, dan orangtua diberi kesempatan untuk membaca berpasangan.
Keterlibatan orangtua dalam kegiatan pembelajaran di sekolah menunjukan adanya kemajuan literasi membaca. Siswa mampu membaca lancar dalam tiga bulan setelah penerapan metode itu.
“Sentuhan antarpihak termasuk program INOVASI, Yayasan Sulinama, dan Taman Baca Pelangi sudah banyak perubahan literasi di sini,” ujar Bergita.
Tersistematis
Sistem pembelajaran menggunakan bahasa Nage di SDI Wudu memang sudah berlaku sejak dulu, namun tidak tersistematis. Hal itu disebabkan kurangnya pendampingan dan minimnya pedoman pembelajaran yang teratur.
Pada tahun 2021, Pemerintah Kabupaten Nagekeo mendorong penguatan pembelajaran pada kelas awal lewat program INOVASI, Taman Baca Pelangi, dan kerjasama dengan Yayasan Sulinama yang berfokus pada bahasa ibu.
“Jadi, karena presentase penggunaan bahasa Nage sangat tinggi (90%) maka kami ikut pelatihan dari Yayasan Sulinama khusus kelas awal untuk (penggunaan bahasa ibu) 30 menit setiap awal pembelajaran,” jelas Bergita.
Selama 30 menit, pembelajaran dalam kelas menggunakan bahasa Nage dilakukan secara detail dan terstruktur dalam tiga bagian yakni bahasa lisan (mendengar dan berbicara), membaca, dan menulis.
Kegiatan lisan (mendengar dan berbicara), guru memperkenalkan huruf A. Guru menunjukkan poster huruf A dan a. “A meze dan a co’o,” ucap dia.
Setelah itu, siswa menyebut kata-kata yang ada huruf A. Siswa disuruh menyebut ‘A’ meze dan ‘a’ coo. Kemudian huruf A pada kata apa saja, anak menyebut Ae (air), Ate (hati), Ame (anak laki), Awu (abu). Siswa menyebut lalu menulis dan menyanyi huruf A.
“Metode ini mudah dipahami oleh siswa, bahkan tata letak huruf A disebut oleh siswa dengan benar,” ujar Bergita.
Sistem pembelajaran bahasa transisi sistematis tersebut didukung dengan buku Ramah Cerna Kata (RCK) tahap 1 hingga tahap 12 yang disusun oleh Yayasan Sulinama. Buku itu berisi mengenai pengenalan huruf dan bunyinya. Sebelumnya, guru mengajar huruf A hingga Z, namun Sulinama menerapkan secara acak. Misalnya, kata Amnit, siswa mengeja A, M, N, I, T.
Selain itu, bantuan buku berjenjang (kumbang hingga gajah) Taman Baca Pelangi juga mendorong minta baca siswa kelas awal meningkat. Buku tersebut berisi gambar dan satu kalimat pendek yang memudahkan anak untuk mengeja.
“Hasil asesmen, kami mengelompokkan anak sesuai kemampuan pengenalan huruf. Tiga bulan setelah itu, yang belum kenal huruf, siswa dapat mengenal huruf semuanya. Mereka sudah pindah ke suku sata, kelompok suku kata bisa ke baca kata. Kalau sudah satu semester sudah membaca kata bahkan sudah bisa membaca kalimat sederhana,” terang Bergita.
Tuntun Mengenal Kata Sulit
Saat ini, para guru di SDI Wudu sedang menuntun siswa kelas 2 untuk membaca lancar kata yang dianggap sulit. Misalnya, kata menggerogoti, porakporanda, menerjemahkan, dan beberapa kata sulit lainnya ditempel di dinding.
“Setiap pagi siswa membaca dituntun membaca satu-satu,” kata Bergita.
Ia menambahkan siswa sulit membaca lancar ketika berhadapan dengan kata-kata sulit. Setiap kali praktik, para siswa kerap mengeja lalu berlahan membaca.
Untuk memudahkan siswa mengenal kata-kata sulit, ruang kelas ditempel berbagai media peraga untuk memudahkan siswa membaca.
“Ruang kelas kami gunakan semacam ruang literat. Jadi semua media kami gunakan untuk menuntun anak bisa menguasai kata atau suku kata. Ada yang menggunakan bahasa Nage, ada juga bahasa Indonesia,” tutur Bergita menandaskan.