Maumere, Ekorantt.com – Keterbatasan fasilitas bukan satu-satunya kisah pilu di SMP Negeri 3 Waigete.
Soal lain adalah upah guru.
Ada 10 tenaga guru di sekolah ini.
Seorang kepala sekolah yakni Hendrikus Seda, yang juga satu-satunya guru berstatus Pegawai Negeri Sipil.
Selebihnya, delapan guru biasa dan seorang tenaga operator berstatus guru honor.
Upah guru honor, kata Hendrikus, masih sangat kecil.
Besarnya 85 ribu rupiah sebulan.
Memang SMP Negeri 3 Waigete belum mendapatkan Nomor Pokok Sekolah Nasional (NPSN).
Padahal hal ini sudah diusulkan sejak awal.
Hanya saja pihak dinas PKO Sikka bergeming bahwa belum ada informasi balik dari pusat.
Pihak PKO Sikka masih menunggu.
Akibatnya sekolah ini belum mendapatkan bantuan Dana Operasional Sekolah (BOS).
Bahkan, para guru dan murid belum terdaftar di database pemerintah pusat.
Menurut Hendrikus, nama yang cocok untuk upah ini adalah uang sabun.
Mungkin karena besarannya yang hanya bisa memenuhi kebutuhan tambahan para guru dan bukan kebutuhan pokok.
“Insentif guru di sini hanya Rp85 ribu pada tahun awal. Lucu juga kalau disebut gaji. Memang tidak layak. Cocoknya disebut uang sabun,” kata Hendrikus.
Selama ini, gaji guru bersumber dari iuran orang tua siswa.
Iuran setahun sebesar 600 ribu rupiah per siswa.
Ada sedikit penambahan uang sabun guru pada tahun 2019 menjadi 250 ribu rupiah sebulan.
Minimnya upah, lantas tidak mengendurkan semangat para guru untuk menjalankan tugasnya.
Salah seorang guru, Maria Yuliwati tetap teguh untuk mengajar. Ia tidak sedih.
Malah ia terpacu untuk memberikan yang terbaik dari dalam dirinya untuk masa depan anak-anak di sekolah itu.
“Gaji kami memang tidak layak. Tapi kami tidak kecewa. Yang lebih penting dari itu adalah masa depan anak-anak,” kata Maria.
Ia menuturkan, dua bulan terakhir ia dan guru-guru yang lain belum mendapatkan uang saku bulanan.
Mungkin akan diterima satu kali untuk waktu tiga bulan. Tapi itu tidak jadi soal.
Baginya, kerja saja asalkan anak-anak mendapatkan pendidikan yang baik.
Ia merasakan suka duka menjadi seorang guru di pedesaan.
Apalagi dengan kekurangan fasilitas membuatnya harus bekerja ekstra.
“Ruangan kelas sangat sempit. Kasian juga anak-anak, mereka harus belajar dengan tabah dalam kondisi seperti itu. Kadang saya juga harus marah kalau mereka ribut. Ya, mau bagaimana lagi,” tutur Maria.
Fransiskus Sareng, Guru Bahasa Indonesia SMP Negeri 3 Waigete juga tidak melihat persoalan upah sebagai alasannya untuk berhenti mengajar.
Baginya, pendidikan itu penting bagi masa depan anak-anak. Dan itu di atas segala-galanya.
“Saya kalau berpikir soal gaji pasti sudah mundur dari guru. Gaji sangat kecil. 85ribu perbulan, mau makan apa dari gaji sekecil itu. Tapi kan kita mencintai pendidikan. Kita mencintai profesi guru. Kita sayang anak-anak,” kata Sareng.
Sareng mengakui profesi guru itu mulia.
Kemuliaan itulah yang membuatnya jatuh cinta dan tetap bertahan menjadi guru.
Padahal dari sisi kesejahteraan, jauh dari harapan.
“Petani masih lebih baik,” katanya. Begitulah ironi yang ia alami di balik tugas mulia seorang guru.
Dengan wajah tersenyum Hilarius Teta, guru matematika SMP Negeri 3 Waigete menceritakan bahwa dirinya sempat kecewa ketika diberi gaji 85 ribu rupiah perbulan.
Pikirnya upah sebesar ini sangat tidak layak.
Tapi Hilarius kemudian meyakinkan dirinya bahwa ada hal yang lebih penting dari itu yakni masa depan anak-anak.
Ia sangat mencintai anak didiknya walau mengabdi dalam keterbatasan.
Jangan Menyerah
Dalam kondisi yang serba terbatas anak-anak sekolah tetap bersemangat. Mereka tetap berimajinasi untuk masa depan yang lebih baik. Enjel, siswa kelas 7, misalnya tetap optimis dengan masa depannya.
Ia bercita-cita menjadi seorang polwan.
Dalam keterbatasan, cita-cita itu memantik semangatnya untuk terus belajar.
Walau demikian, Enjel juga berharap uluran tangan pemerintah untuk memperbaiki sekolahnya itu.
“Kami mau belajar. Tolong perhatikan sekolah kami,” katanya singkat.
Evelinus, siswa kelas 8 juga tetap semangat bersekolah.
Hancurnya gedung sekolah bukan berarti masa depannya juga akan hancur. Ia tidak menyerah.
Evelinus yang bercita-cita jadi tentara ini percaya bahwa dengan usaha yang pantang menyerah, ia akan sukses dalam belajar.
Kepsek Hendrikus selalu berpesan kepada guru dan para siswanya untuk tidak putus asa.
Keadaan yang terbatas tidak boleh membuat hati kecut.
Tetap mengajar dan belajar sembari berjuang untuk memperbaiki kondisi sekolah.
“Jangan menyerah. Kondisi kita begini, jangan buat putus asa. Belajar dan terus belajar,” pesannya.