Maumere, Ekorantt.com – Fransiskus Kema Oyan (62) baru saja keluar dari lokasi bongkar muat barang di Pelabuhan Lorens Say Maumere, Rabu (1/5).
Ia tampak sedang menarik sebuah gerobak tua. Ada setandan pisang dan beberapa barang bekas di dalam gerobak.
Semula kami menduga Beliau adalah buruh pelabuhan di PT Pelni Maumere. Ternyata bukan. Beliau pemulung. Ia sendiri lebih suka menyebut profesinya tukang tarik gerobak.
Fransiskus mengajak kami ke rumahnya di Kelurahan Kabor. Kami disuguhkan segelas kopi dan disajikan makan siang.
Setelah obrolan yang panjang membincang banyak hal mulai dari persoalan ekonomi hingga politik, kisah Fransiskus Kema Oyan, pria kelahiran Riang Bunga, Lewotobi, 10 Juni 1957, mencari sesuap nasi bisa diringkas sebagai berikut.
Sepanjang kehidupannya selama 62 tahun di bumi manusia ini, Fransiskus sudah lakoni tiga jenis pekerjaan, yaitu tukang sayur, tukang batu, dan tukang gerobak.
Pada mulanya, ia adalah seorang penjual sayur. Ia menjual sayur di seluruh penjuru Kota Maumere sejak tahun 1970-an. Pada tahun 1995, ia alih profesi menjadi tukang batu.
Ia kerja bangunan hingga ke Nita. Pada akhirnya, ia banting stir lagi menjadi tukang gerobak pada tahun 1998, tahun di mana Suharto, Sang Diktator turun takhta.
Dari antara 3 profesi di atas, riwayat sebuah gerobak adalah kisah yang paling dikenangnya. Ia membeli gerobak pada tahun 1998 dengan harga Rp300 ribu .
Tentu pada masa sesudah krisis moneter (Krismon) 1997, Rp300 ribu tergolong sangat besar, apalagi untuk kategori kelas miskin kota seperti Fransikus.
Maka, ia pakai sistem kredit. Setiap hari, ia cicil Rp5 ribu. Penghasilannya waktu itu adalah Rp8 ribu per/hari.
Jadi, ia hanya bisa sisihkan Rp3 ribu untuk kebutuhan pribadi. Toh, cicilan akhirnya lunas. Dia pun bisa memiliki gerobak.
Fransiskus punya hubungan batin yang sangat kuat dengan gerobak, satu-satunya alat produksi yang ia punya untuk menafkahi keluarga.
Baginya, gerobak adalah istri yang pertama. Dia bergurau, ia mampu memperistri istrinya yang sekarang karena gerobak.
Gerobak memberinya harta untuk meminang sang istri, menghidupi enam (6) orang anaknya, dan menyekolahkan mereka hingga jenjang perguruan tinggi.
Dengan gerobak pulalah, ia turut membantu seorang anggota keluarganya hingga ditahbiskan menjadi imam dalam Gereja Katolik.
Mengingat kisah itu, betapa kebanggaan membuncah ruah dalam dadanya. Tanpa gerobak, tak tahu lagi ia, ke arah mana biduk kehidupan keluarga mesti dikayuh.
Sebegitu dekatnya ia dengan gerobak, sampai-sampai ia bernazar, kalau ia dipanggil oleh Yang Maha Kuasa suatu saat nanti, ia hanya mau diantar oleh gerobak, bukan oleh oto atau kendaraan lainnya.
“Bagi saya, gerobak adalah istri dan keluarga yang pertama. Gerobak itu orang hebat. Sebab, dia kerja dulu, baru bisa makan,” ungkapnya.
Gerobak punya arti penting bagi Fransiskus karena seluruh pekerjaan yang ia lakoni sekarang bergantung pada gerobak.
Pagi-pagi buta, sekitar jam 05.00 pagi, ia akan mendorong gerobak menuju Pasar Alok.
Di Pasar Alok, ia akan bersaing dengan sekitar empat (4) orang tukang gerobak lainnya menggaet hati pelanggan.
Gerobaknya bisa angkut barang apa saja seperti sayur, besi, semen, ikan, dan lain-lain. Sekali angkut, ia biasa diupah Rp5 ribu.
Dengan demikian, dalam sehari ia bisa raup penghasilan sekitar Rp50 ribu hingga Rp60 ribu. Dalam seminggu, ia bisa peroleh penghasilan Rp500 ribu.
Fransiskus merasa beruntung karena biaya operasional gerobak murah. Gerobak berbeda dengan motor.
Jika motor membutuhkan bahan bakar, maka gerobak tidak memerlukannya.
Gerobak hanya butuh tenaga manusia. Ia menganggapnya sebagai olahraga di masa tua.
Ia sering bergurau dengan para tukang ojek yang kerap kali mengejek profesinya tersebut.
“Kalian punya motor. Tapi, belum tentu kalian bisa bangun rumah dan sekolahkan anak seperti saya,” selorohnya.
Selain sebagai tukang dorong gerobak, Fransiskus juga menjadi pemulung.
Ia memulung barang-barang bekas seperti botol aqua, ewiti, kaleng bekas, jirgen, dan lain-lain. Ia kumpulkan semua barang bekas itu di serambi rumahnya.
Barang-barang bekas itu dibersihkan dan dikarungkan sebelumnya akhirnya dijual ke penadah di Toko Sinar Agung, penadah barang bekas di Kota Maumere.
Kini, gerobak sudah memberi banyak peruntungan bagi Fransiskus. Ia mampu bangun rumah dua lantai.
Ia sulap rumah di lantai dua menjadi kos-kosan.
Namun, ia bernazar, ia akan tetap menyusu dari gerobak hingga maut datang menjemput.