Mengenal Tenun Ikat Waitabar, Sumba Barat

Waikabubak, Ekorantt.com – Beberapa saat lalu, Ekora NTT sempat mengunjungi Kampung Waitabar di Kabupaten Sumba Barat. Di sana, Ekora NTT pun bertemu dengan seorang anak muda yang menaruh minat pada dunia tenun ikat. Nama dia Blandina Soli Negu.

Anak muda kelahiran Waikabubak, 2 Juni 1990 ini, rupanya mengisi hari-harinya dengan belajar menenun hingga mampu menghasilkan karya tenun sendiri setelah sebelumnya belajar pada tetangganya selama 2 hari.

“Menenun adalah hal yang paling penting. Itu merupakan warisan leluhur yang wajib dipertahankan dan diwariskan secara turun-temurun. Budaya tenun bisa menjadi salah satu daya tarik wisata daerah sehingga bisa menarik wisatawan untuk datang berkunjung,” ceritanya dengan semangat.

Bagi dia, budaya  merupakan satu hal yang wajib dan semestinya dicintai juga oleh para generasi bangsa. Belan yang juga anggota Orang Muda Katolik Paroki Santo Petrus dan Paulus Waikabubak ini menghabiskan waktunya pada sore hari untuk menenun demi mencari penghasilan tambahan.

Blandina Soli Negu

Bale-bale rumah menjadi ruang utama untuk ia menekuni aktivitasnya itu dengan menggunakan peralatan tenun yang masih tradisional.

Adapun alat tenun tradisional yang secara umum ia gunakan terbuat dari kayu dan bambu seperti berikut ini.

B’edo, penahan tulang belakang yang mengencangkan tenunan dan terbuat dari kayu.

Papang deta/papang bawa, bambu bulat yang digunakan untuk melilit benang yang ditenun.

Wunna, alat untuk mengangkat sebagian benang yang ditenun, sehingga benang pada swolor dimasukkan.

Dedda, alat untuk menahan benang sehingga wunna bisa diangkat. Swolor, alat berupa lilitan benang yang akan dijadikan kain.

Ada juga Kabilla, alat yang berfungsi untuk membentuk motif pada kain yang sedang ditenun.

Malirra, alat yang digunakan untuk memadatkan dan meratakan kain yang sedang ditenun.

Dan Ngodasa : alat untuk membentuk terowongan atau melonggarkan kain yang ditenun agar benang dapat diisi secara bergantian. Bisa juga berfungsi sebagai tempat untuk meletakkan malirra.

Motif-motif yang ada dalam selendang dan selempang hasil tenunan Belan juga syarat akan makna. Umumya motif yang ada dalam tenunan Belan berupa kuda, mamuli, rumah adat Sumba dan juga ayam.

Kuda dalam filosofi orang Sumba menggambarkan kebanggaan, kekuatan dan kejantanan. Mamuli melambangkan keibuan, kandungan atau rahim seorang perempuan. Rumah adat Sumba menggambarkan tempat perlindungan. Sedangkan ayam menggambarkan perempuan yang telah berumah tangga.

Belan juga memodifikasi motif dalam bentuk bunga dan kupu-kupu. Uniknya lagi, pada selendang atau selempang yang ditenun bisa diukirkan nama dari si pemesan sesuai selera.

Meskipun begitu, ia baru bisa menenun pada sore hari karena pagi hari ia harus mengajar sebagai seorang guru di SDK Waikabubak III yang terletak sangat dekat dengan tempat tinggalnya.

Kadang jika sedang tidak sibuk, ia juga menenun di malam hari hingga pukul sepuluh malam. Dalam seminggu ia bisa menghasilkan lebih dari 5 lembar tenun ikat. Bila hari libur, ia mampu menyelesaikan 1 selendang dan 2 selempang dalam waktu 3 hari.

Selama ini ia lebih banyak menenun selendang dan selempang, karena keterbatasan waktu untuk menenun kain atau sarung yang ukurannya lebih besar.

Selempang dan selendang juga lebih cepat laku di pasaran. Ia biasanya menenun untuk memenuhi permintaan para pemesan atau kadang aktif mencari pelanggan melalui promosi di sosial media seperti facebook dan instagram pribadinya.

Karena keunikan dan keindahan hasil tenunnya, banyak pelanggan tertarik dan memesan untuk dibuatkan selendang atau selempang sesuai dengan selera mereka. Satu lembar selendang biasanya ia jual dengan harga 100 hingga 150 ribu rupiah, tergantung bahan dasar, ukuran dan kerumitan motifnya, sedangkan satu selempang seharga 50 ribu rupiah.

Selempang adalah hasil karya tenun ikat yang lebarnya kurang dari 40 cm dan panjangnya kurang dari 170 cm, biasa digunakan sebagai dasi, ikat  pinggang, bando atau aksesori tas.

Sedangkan selendang memiliki lebar 40-55 cm, panjang 170-250 cm, yang biasanya diletakkan pada salah satu pundak serasi dengan kain bawahan. Selendang juga bisa dikenakan sebagai ikat kepala  dan pengikat parang untuk para pria, yang dalam bahasa Sumba Baratnya disebut “kapouta” baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam acara adat.

Dari hasil jualan tenunnya, ia mendapatkan keuntungan kotor sekitar 300 hingga 400 ribu rupiah dalam sebulan, tergantung jumlah pesanan yang masuk. Uang tersebut terbilang lumayan untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari. (Maria Goreti Ana Kaka/ Kontributor)

spot_img
TERKINI
BACA JUGA