Kemana Arah Pembangunan Kebudayaan Kabupaten Sikka?

Maumere, Ekorantt.com – Tanggal 10 Oktober 2019 Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Sikka menggelar dialog kebudayaan bertema “Budaya Terlestari, Masyarakat Sejahtera dan Berkarakter.”

Dialog kebudayaan tersebut menghadirkan empat narasumber yaitu, P. Ansel Dorodae, Viktor Nekur. S.H, Oscar Pareira Mandalangi dan Bupati Sikka, Fransiskus Robertus Diogo sebagai keynote speaker. Keseluruhan dialog dipandu oleh Petrus Poling.

Diskusi ini mengundang 35 orang penggiat seni dan budaya yang ada di Kabupaten Sikka.

Dalam diskusi tersebut, coba diidentifikasi masalah-masalah krusial dalam Kebudayaan Sikka akhir-akhir ini.

Bupati Robby Idong dalam kesempatan pemaparan materinya tidak banyak memberikan arahan, tetapi membuka kesempatan kepada para pembicara untuk menyampaikan amatan-amatan mengenai masalah-masalah kebudayaan saat ini, terutama dari perspektif pelaku dan penggiat kebudayaan.

Ia menilai hal ini penting, agar pemerintah mendapatkan masukan untuk selanjutnya diimplementasikan dalam strategi pembangunan kebudayaan Kabupaten Sikka.

Sementara itu, P. Ansel Dorodae, SVD berbicara mengenai religiositas dalam kebudayaan. Viktor Nekur, S.H berbicara mengenai penguatan lembaga dan hukum adat, dan Oscar Pareira Mandalangi berbicara mengenai aspek-aspek kebudayaan secara garis besar.

Karena penyelenggara tidak memberikan batasan yang jelas mengenai arah pembahasan diskusi, para peserta diskusi menyampaikan berbagai pendapat mereka, mulai dari persoalan lembaga hukum adat, kemungkinan adaptasi budaya, masalah anggaran kesenian timpang, evaluasi mengenai festival seni budaya, fenomena penggunaan bahasa yang salah kaprah di kalangan generasi milenial, dan berbagai macam hal lainnya.

Meski obrolan dan dialog kerap melebar, Petrus Poling berhasil mengarahkan diskusi hingga menghasilkan rekomendasi-rekomendasi berdasarkan aspirasi para penggiat budaya.

Sejak 22-23/10/2019, EKORA NTT berusaha mewawancarai Plt. Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan terkait respons lanjutan terhadap rekomendasi-rekomendasi tersebut dan beberapa informasi lain mengenai ekonomi kreatif di Sikka. Namun, informasi tersebut urung diperoleh karena Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Sikka tidak berada di tempat. Beberapa penanggung jawab bidang yang juga coba dihubungi menolak memberikan keterangan karena alasan prosedural.

Sebelumnya, Dinas Pariwisata dan Kabupaten Sikka telah menyampaikan akan membuat sosialisasi dan membuka akses publik terhadap dokumen-dokumen kebudayaan, termasuk rekomendasi-rekomendasi dari dialog kebudayaan dan perkembangan eksekusinya.

Terlepas dari dialog kebudayaan tersebut, EKORA NTT melakukan wawancara terhadap beberapa penggiat dan pelaku seni/budaya di Kabupaten Sikka mengenai pandangan dan aspirasi mereka terhadap visi pembangunan kebudayaan Kabupaten Sikka. Kiranya ini bisa menjadi masukan yang berharga bagi Bupati Robby Idong, yang sejak awal berencana menjadikan budaya dan sejarah sebagai landasan seluruh pembangunan di nian tana.

Herman Yoseph Ferdy, Direktur Maumere TV melandasakan pandangannya mengenai keadaan yang sedang berlangsung sekarang yang ia amati. Menurutnya, sudah sejak lama pemerintah tidak memijakkan seluruh rencana pembangunan pada karakter kebudayaan.

“Kita di Maumere tidak menjadikan kebudayaan sebagai fondasi untuk pembangunan. Alasannya berangkat dari kekeliruan kita untuk memahami kebudayaan. Selama ini, orang menyempitkan kebudayaan hanya kepada  urusan seni dan fashion saja. Padahal urusan kebudayaan lebih luas dari itu. Filosofinya yang sebenarnya hilang dari kita. Kalau kita punya filosofi yang jelas, arah pembangunan kebudayaan, dan tujuan pembangunan dengan sendirinya menjadi lebih jelas.”

Filosofi yang dimaksudkan Ferdy adalah prinsip-prinsip dan keutamaan-keutamaan (karakter) khas Kabupaten Sikka yang bisa ditanamkan dalam berbagai bentuk pembangunan, entah material maupun non material. Prinsip-prinsip itu yang ditanamkan dalam pembangunan pariwisata, pendidikan, teknologi, atau arsitektur.

Ferdy mengambil contoh dari segi arsitektural. Menurutnya hampir tidak lagi ada lagi bangunan kantor ataupun rumah yang menampakan bentuk-bentuk arsitektural yang bisa diidentifikasi sebagai karakter budaya Kabupaten Sikka.

“Kalau kita ke kantor Bupati Sikka yang baru dibangun, kita bingung. Karakter Sikka yang mau diwujudkan itu seperti apa. Model bangunan yang mau dibuat itu sudah menyesuaikan dengan tantangan kebencanaan Kabupaten sikka atau tidak. Kalau kita bandingkan dengan banyak negara di Eropa, orang memisahkan kawasan pembangunan secara tegas. Banyak tradisi bangunan-bangunan tua yang tetap mempertahankan corak sejarahnya dan ada kawasan yang menampakan corak kontemporer.”

Menurut Ferdy, hilangnya rujukan material dalam corak bangunan-bangunan masa kini di Kabupaten Sikka berhubungan dengan hilangnya imajinasi dan penghayatan nilai serta karakter masyarakat Kabupaten Sikka saat ini sebagai sebuah masyarakat kebudayaan. Ia mencemaskan, masyarakat kabupaten Sikka kelak tidak dapat mewariskan satu corak kebudayaan tertentu pada generasi penerusnya, baik yang nyata secara fisik maupun dari segi nilai.

Nyong Franco, penggiat di Sanggar Benza Maumere, sekaligus pencipta lagu Gemu Fa Mi Re berpendapat, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Sikka yang bertanggung jawab menangani pembangunan kebudayaan belum maksimal menjalankan tugasnya. Ia menilai sejauh ini Dinas Pariwisata dan Kebudayaan tidak punya kapasitas dalam menangani pembangunan kebudayaan, entah perlindungan maupun pengembangan kebudayaan.

“Saya minta maaf, tetapi saya harus bicara apa yang saya alami dan rasakan. Menurut saya, sejauh ini pemerintah gagal total dalam urusan kebudayaan, rehabilitasi budaya, pemajuan budaya, perlindungan terhadap keaslian dan segala hal tentang menjaga budaya itu gagal total. Menurut saya pariwisata dan kebudayaan itu berbeda sehingga perlakuan terhadap keduanya pun harus berbeda.”

Menurut Nyong Franco, hal utama kebudayaan adalah manusia. Menurutnya seluruh perkembangan teknologi, arsitektur, kesenian, hukum dan unsur-unsur kebudayaan itu bersumber dan tertuju pada manusia. Sehingga pengembangan karakter manusia harus diutamakan.

Namun, pembangunan manusia tidak bisa menafikan begitu saja nilai-nilai dan kebudayaan masa lalu yang menjadi landasan dan karakter masyarakat saat ini. Sehingga menurut Nyong Franco, sebelum kebudayaan saat ini berkembang mengikuti perkembangan teknologi yang begitu masif perlu dibuat konservasi dan penanaman kembali nilai-nilai budaya masa lalu tersebut ke dalam diri generasi saat ini, entah itu lembaga-lembaga adat nilai, kesenian, dan unsur-unsur kebudayaan lainnya.

Ia mengusulkan adanya adaptasi dan dialog antara usaha menggali kearifan lokal dengan pemanfaatan produk-produk teknologi zaman ini. Menurutnya, dua hal bisa ditempuh, yaitu melalui jalur pendidikan formal, maupun melalui sosialisasi menggunakan produk-produk zaman ini.

“Penanaman nilai-nilai budaya saat ini bisa melalui pendidikan formal. Pelajaran kesenian kita itu memasukan gamelan sebagai salah satu bahan yang harus dipelajari. Sementara, kita punya gong waning. Pertanyaannya kenapa gong waning tidak bisa dijadikan bahan ajar? Minimal dalam muatan lokal. Selain itu, adaptasi budaya juga bisa dilakukan. Selain dalam hal bentuk karya, bagaimana menggabungkan unsur-unsur lokal dengan unsur kekinian, kita pertama-tama perlu buat edukasi tentang tradisi ke anak-anak zaman milenial menggunakan media yang mereka akrabi. Sosialisasi budaya bisa saja dibuat menggunakan video, animasi, musik, bahkan game. Maumere harusnya sudah punya anak-anak yang berbakat di bidang IT yang bisa bantu tangani hal ini.”

Menurut Nyong Franco, ide tentang memasukan pengetahuan-pengetahuan lokal ke dalam sistem kurikulum di tingkat pendidikan formal sudah jadi wacana yang terus menerus berulang tahun tanpa adanya eksekusi di tataran kebijakan resmi melalui Perda atau Perbub.

Lebih jauh, Nyong Franco menilai, program pemerintah yang kerap hanya memusatkan aktivitasnya pada pembangunan dan pengadaan infrastruktur serta sarana-prasarana kesenian, penyelenggaraan festival, inventarisasi komunitas, dan sanggar-sanggar itu belum mendalam dan tidak signifikan untuk dilakukan.

“Pemerintah lebih sering buat senjata tanpa peluru dan tidak tahu siapa yang akan pegang senjata itu. Maka, sebaiknya yang harus diutamakan ialah pembinaan komunitas-komunitas dan pelatihan-pelatihan untuk para pelaku budaya, guru-guru kesenian dan orang-orang yang aktif dalam pengembangan kebudayaan.”

Hampir senada dengan Ferdy dan Nyong Franco, Yos Lasar, seorang komponis dan pendidik menilai bahwa pembangunan kebudayaan di Kabupaten Sikka belum berlangsung secara maksimal, baik dalam tataran visi maupun aktivitas.

Ia setuju kalau pemerintah tidak memiliki visi yang utuh mengenai pembangunan kebudayaan. Selain itu menurutnya, logika pengembangan kebudayaan cenderung bersifat profit dari pada benefit. Menurutnya pariwisata adalah akibat bukan tujuan. Yang lebih penting dari pada pariwisata adalah perihal transfer budaya dari generasi ke generasi. Ia mengkritik aktivitas yang kerap terjadi di sanggar-sanggar budaya binaan pemerintah.

Pertama, kita tidak punya pemahaman yang utuh mengenai kebudayaan. Biasanya kebudayaan itu identik dengan musik, tari, rupa. Padahal masih ada sekian banyak unsur-unsur kebudayaan lain yang menyimpan aneka ragam pengetahuan juga kearifan lokal. Kedua, kalau toh berbicara tentang kebudayaan adalah soal seni, maka peran pemberdaya dari Dinas Pariwisata itu harus perlu dipertajam. Saya melihat selama ini, perlakuan terhadap sanggar kerap keliru. Sanggar itu harus dihadirkan sebagai media transfer budaya. Bukan berpikir nilai jual, disiapkan semata-mata hanya untuk terima tamu. Yang sering terjadi, ujung dari pembinaan hanyalah festival yang tidak punya manfaat keberlanjutan apa-apa bagi sebuah sanggar budaya. Sebuah sanggar budaya itu harus didanai penuh, sehingga dia menjadi media transfer budaya. Harus ada program rutin di sanggar setiap hari, ada atau tidak ada tamu. Lalu dibuat sistem monitoring dan evaluasinya sehingga pemerintah bisa tahu sanggar mana yang perlu didanai terus, mana yang bisa mandiri, dan mana yang tidak perlu dipertahankan.”

Menurutnya festival harus juga didukung dengan pengembangan kapasitas sanggar-sanggar melalui pembinaan terus menerus, juga termasuk membangun ekosistem ekonomi kreatif.

“Pemerintah sering menganggap uang adalah solusi dari segala-galanya tetapi lupa akan tugas pendampingan dan pembinaan. Pemerintah bukan bank yang kasih pinjaman, lalu kalau kredit macet selesai. Pemerintah punya tugas mendampingi termasuk dalam hal membangun pasar. Tidak cukup kita buat festival, undang sanggar-sanggar, setelah selesai kasi uang pembinaan.”

Seperti halnya Nyong Franco, Yos Lasar pun setuju bahwa sosialisasi budaya penting dilakukan melalui pendidikan formal. Menurutnya ide tentang memasukan pengetahuan kebudayaan dalam kurikulum sudah ada sejak dahulu kala tetapi tidak dilakukan dengan prosedur yang tepat dan sasaran yang jelas.

“Kalau berbicara mengenai muatan lokal, tentu harus ada silabus. Selain itu harus juga didukung oleh peraturan pemerintah, melalui Perda atau Perbub biar punya landasan hukum dan kekuatan mengatur. Lalu setelah itu silabus itu harus disosialisasikan, dimintai pendapat oleh orang-orang yang kompeten. Kalau sudah disetujui, silabus itu harus diturunkan dalam bentuk bahan ajar. Kita juga perlu menyiapkan guru-guru yang berkompetensi untuk menangani muatan lokal seperti ini, melalui pelatihan atau workshop. Namun, yang terjadi beberapa waktu terakhir, kita sudah buat silabus, tetapi silabus itu langsung diserahkan ke sekolah-sekolah. Prosedurnya jadi rancu. Tidak ada bahan ajar yang disiapkan, tidak ada tenaga guru yang kompeten. Sosialisasi budaya melalui pendidikan itu efektif tetapi harus lewat satu kajian yang tidak hanya mendalam tetapi juga konsisten.”

Baik Ferdy, Nyong Franco, maupun Yos Lasar berpendapat pemerintah perlu merumuskan kembali secara baik visi pembangunan kebudayaan yang mau dijalankan. Visi itu berangkat dari hal yang paling dasar, perihal konsep dan definisi kebudayaan, hingga yang paling pelik yaitu perihal grand design pembangunan kebudayaan Kabupaten Sikka. (eka)

spot_img
TERKINI
BACA JUGA