Ruteng, Ekorantt.com – KPU merilis, 270 daerah di Indonesia akan menggelar Pilkada serentak pada 23 September 2020. Rinciannya; 9 pemilihan gubernur, 224 pemilihan bupati, dan 37 pemilihan walikota.
Dalam rancangan awal, Pilkada serentak 2020 terjadi di 269 daerah. Namun bertambah satu yakni Pilkada Kota Makassar yang melakukan pemilihan ulang. Pilkada serentak 2020 merupakan Pilkada serentak gelombang kesempat sejak 2015.
Khusus di Provinsi NTT, Pilkada berlangsung di sembilan kabupaten. Adapun sembilan kabupaten tersebut yakni Timor Tengah Utara, Belu, Malaka, Sabu Raijua, Sumba Timur, Sumba Barat, Ngada, Manggarai Barat dan Manggarai.
Sejauh ini, kontestan yang akan berlaga di Pilkada nanti sedang memperkenalkan diri ke publik. Mereka mencari simpati publik sembari menggoda partai politik untuk meminang.
Di Kabupaten Manggarai, muncul beberapa pasangan bakal calon bupati dan wakil bupati yang mulai memperkenalkan diri. Tiga pasangan bakal calon bupati-wakil bupati mencuat ke permukaan. Petahana Deno-Madur tetap akur sebagai satu pasangan. Penantang lama Heri Nabit dikabarkan bersanding dengan Heri Ngabut. Muncul juga pasangan ‘kuda hitam’ yakni Agustinus Ganggut-Mantovanny Tapung.
Komposisi pasangan ini bisa saja berubah. Tergantung kalkulasi politik, figur maupun partai politik. Di belakang layar, partai-partai politik bermanuver. Siapa yang didukung, orang-orang partai yang tahu.
Sementara itu, masyarakat punya harapan yang tinggi terhadap setiap calon pemimpin yang ada. Ada harapan untuk perubahan pada masa mendatang.
Terhadap proses politik yang berlangsung di Pilkada Manggarai, milenial angkat bicara. Apa pandangan milenial tentang Pilkada Manggarai?
Pemilih Rasional
Adalah Rosalia Darmisan. Rosa, begitu ia disapa, adalah ketua OSIS SMA Katolik Setia Bakti Ruteng. Baginya, Pilkada Manggarai 2020 harus melahirkan pemimpin yang membawa perubahan. Perubahan dalam baik dalam bidang ekonomi, sosial maupun pendidikan.
Rosa berpendapat, janji boleh janji. Tapi jangan janji semata. Pemimpin lahir lahir dari proses Pilkada haruslah pemimpin yang jujur. Tidak boleh ingkar janji. Dan harus punya program yang jelas demi perbaikan kualitas hidup masyarakat.
Karena itu, menurut Rosa, masyarakat harus menjadi pemilih yang cerdas, pemilih yang rasional. Jangan memilih bupati-wakil bupati berdasarkan kedekatan emosional. Karena kita seasal dengan calon A, kita memilih calon A. Karena kita tidak sekampung dengan calon B, kita tidak memilihnya. Memilih atas dasar kedekatan emosional seperti ini akan merusak citra demokrasi sekaligus membuka peluang ketidakberesan dalam proses pemerintahan nantinya.
“Jika ada kandidat yang sebelumnya menjabat sebagai Bupati, kita lihat kinerjanya. Apakah kerjanya sesuai dengan harapan masyarakat? Kalaupun tidak. Kita mesti cari orang baru yang membawa perubahan,” tegas Rosa kepada EKORA NTT, Selasa (21/1/2020).
Ia percaya, memilih berdasarkan pertimbangan rasional akan melahirkan pemimpin yang peduli dengan kebutuhan masyarakatnya. Perhatikan rekam jejaknya, jeli membaca visi misinya dan pastikan program kerjanya.
Rosa optimis, bila Pilkada berjalan sesuai dengan yang diharapkan maka milenial pasti senang dengan politik. Sebaliknya, politik yang penuh dengan intrik kotor akan membuat milenial semakin apatis dengan politik.
“Kami orang milenial tetap komitmen. Jauhkan politik uang dan kedepankan pertarungan politik yang jujur,” tutupnya.
Edukasi Politik
Momen Pilkada adalah momen edukasi politik. Begitulah pandangan sederhana Rinoldus Padur, anak muda asal Kole, Satarmese Utara. Pendidikan politik itu tercermin dalam setiap gagasan yang ditawarkan calon pemimpin. Politik gagasanlah yang dikedepankan.
Setiap calon, jelas Padur, harus mampu melahirkan gagasan yang lahir dari kondisi kehidupan sosial yang kian melarat.
“Politisi yang bakal calon bupati dan wakil bupati pada Pilkada yang akan datang harus mengendepankan proses edukasi politik kepada masyarakat. Tujuannya, meminimalisir konflik horisontal dan politik uang karena kesadaran politik yang tidak didasari pengetahuan,” tandas penggagas Rumah Baca DeWengkong ini.
Selain itu, isu yang dimainkan dalam proses Pilkada harus bersifat rasional dan objektif. Tidak boleh melenceng dari nilai-nilai yang disepakati bersama.
Bagi Padur, kontestan dalam Pilkada harus sudah menyiapkan strategi menghadapi era revolusi 4.0. Era ini ditandai dengan perkembangan Iptek dan informasi yang tak terbendung. Karena itu program kerja harus ramah dengan perkembangan terkini. Dan ingat, libatkan milenial dalam proses pembangunan.
Tidak Suka Janji
Masa-masa Pilkada merupakan masa-masa untuk menebar janji. Janji ini. Janji itu. Janji akan bangun ini. Janji akan bangun itu. Novita Lonas, remaja putri asal Cuncalawar-Ruteng, sangat benci dengan janji-janji tersebut. Tak heran ia benci dengan politik.
Baginya, politik Pilkada identik dengan janji dan membual. Setiap calon selalu berjanji. Tapi pengalaman membuktikan, banyak janji yang diingkari.
“Saya tidak terlalu suka dengan politik. Biasanya, suka menjanjikan sesuatu,” imbuhnya.
“Coba kakak bayangkan, seorang cewek yang berpacaran dengan seorang cowok. Si cowok menjanjikan sesuatu untuknya. Si cewek sangat berharap dengan janji itu. Sial seribu sial, si cowok mengingkari. Coba bayangkan, sakit to kaka,” Novita membandingkan janji calon pemimpin dengan janji cinta sepasang kekasih.
Novita pun berharap agar kontestan dalam Pilkada Manggarai tidak terlalu banyak berjanji, tetapi lebih banyak mendengar apa kebutuhan rakyat.
Adeputra Moses