Umat di Nggalak, Manggarai Rayakan Ekaristi Transformatif saat Ritual Hang Woja

Gereja tidak berdiri menjauh dari kehidupan masyarakat, melainkan hadir di tengah-tengah, terlibat dalam setiap napas bumi dan budaya.

Ruteng, Ekorantt.com – Diiringi suara gong yang menggema dan lantunan doa yang khidmat, para tetua adat bersama umat Katolik Stasi Nggalak, Paroki Santa Maria Immaculata Wae Kajong, Keuskupan Ruteng, menyelenggarakan Ekaristi Transformatif yang menyatu dengan adat Manggarai pada Jumat, 4 Juli 2025.

Perayaan ini berpadu harmonis dengan ritual adat Hang Woja, menjadi simbol perjumpaan suci antara iman Katolik dan kearifan tradisional.

Misa yang berlangsung di Gendang Nggalak bukan hanya peristiwa religius, tetapi juga menjadi pernyataan sosial, ekologis, dan budaya.

Dipimpin oleh Pastor Paroki Wae Kajong, RD Bernard Palus, dan disertai rangkaian ritus adat yang dipandu oleh tetua adat Lambertus Mado, perayaan ini mencerminkan kesatuan antara spiritualitas dan identitas lokal.

“Ekaristi ini lebih dari sekadar perayaan liturgi. Ini adalah panggilan untuk menyelamatkan bumi sekaligus mempertahankan akar budaya kita,” ujar Pastor Bernard dalam keterangan yang diterima media pada Minggu, 6 Juli 2025.

Ia menyoroti peran Gereja sebagai ruang yang hidup bersama masyarakat, menyelami tantangan lingkungan dan pergeseran nilai budaya.

Sebagai bagian dari semangat ekologi integral, perayaan tersebut turut diwarnai dengan aksi nyata: penanaman bambu di mata air desa – simbol sumber kehidupan bagi warga sekitar. Penanaman ini menjadi bagian dari gerakan pastoral ekologis, terinspirasi dari ensiklik Laudato Si Paus Fransiskus.

“Ketika kami menanam bambu di sumber mata air, kami sebenarnya sedang menanam harapan bagi anak cucu. Ini bukan semata aksi lingkungan, tapi wujud iman yang membumi,” tutur Pastor Bernard.

Ritus adat barong wae pun turut dilaksanakan, sebuah penghormatan terhadap air sebagai sumber kehidupan.

Dalam tradisi Manggarai, alam bukanlah objek, melainkan makhluk spiritual yang patut dihargai dan dilestarikan.

Gereja yang Merangkul Budaya Lokal

Kehadiran Gereja dalam ritual adat ini memperlihatkan wajah Katolik yang inklusif, tidak menolak, apalagi menggusur tradisi, tetapi justru merangkul dan memuliakannya.

“Barong wae itu bukan tahayul. Itu cara leluhur menjaga alam. Ketika Gereja ikut, artinya Gereja menghormati dan mengangkat nilai-nilai budaya kami,” jelas Lambertus Mado, tetua adat yang memimpin upacara Hang Woja.

Dengan mengintegrasikan budaya ke dalam liturgi, Gereja Sta Maria Immaculata Wae Kajong membuktikan bahwa iman Katolik mampu berdialog dengan budaya lokal, menjadikannya bagian dari kekayaan rohani bersama.

Dalam konteks masyarakat Manggarai yang majemuk secara budaya dan religius, Ekaristi Transformatif membuka ruang perjumpaan dan kerja sama.

Gereja tidak berdiri menjauh dari kehidupan masyarakat, melainkan hadir di tengah-tengah, terlibat dalam setiap napas bumi dan budaya.

“Kalau Gereja hanya jadi tempat ritual tanpa menyentuh kehidupan nyata, ia akan ditinggalkan. Tapi kalau ia merangkul tanah dan budaya, Gereja akan jadi rumah semua orang,” tegas Pastor Bernard.

spot_img
spot_img
TERKINI
BACA JUGA