Oleh: Louis Jawa*
“Tidak, karena lebih seribu tahun lamanya wayang mengajarkan: bahkan para dewa pun bisa salah, bisa keliru, tidak kalis dari ketololan, dan korup! Apalagi Brahmin, satria, waisya dan sudra. Dan paria tak lain dari ujung terakhir deret hitung.” (Surat Pramoedya Ananta Toer pada Titi, anak sulungnya, 1973)
***
Sebuah grup diskusi pada media sosial facebook memanas pada suatu malam, ketika membahas persoalan pertambangan di Kabupaten Manggarai Timur. Diskusi itu dipicu oleh dua opini yang dimasukkan dalam status grup, ya opini berjudul “Kapitalisme, Tambang dan Opium Pembangunan” (Ekorantt.com 11 Mei 2020) dan “Politik, Pabrik Semen, dan Nalar Batin” (Voxntt.com 13 Mei 2020).
(Baca juga: Kapitalisme, Tambang, dan Opium Pembangunan)
Diskusi itu lebih menyoroti pada status penulis yang adalah seorang imam pada institusi agama Katolik, yang berkarya pada sebuah paroki di daerah pedesaan, yang persis berada di wilayah lingkar tambang Luwuk dan Lengkololok.
Surat Pramoedya Ananta Toer untuk anak sulungnya menginspirasi saya untuk menyerap makna hidup, betapa semua manusia tidak luput dari kelemahan dan kekurangan, namun berjuang untuk yang benar dan adil, adalah sebuah passion penting dalam hidup manusia yang berhati nurani.
Diskusi itu dimulai dengan pertanyaan penting, “Bukankah gereja urus iman saja. Kenapa sekarang harus mulai urus kehidupan politik dan campur tangan soal tambang?” Tanggap menanggap di antara anggota grup itu pun tak terhindarkan, dan semakin memanas dalam sinisme, sarkasme, dan debat kusir yang tidak terarah lagi. Ada dua hal yang saya temukan dalam diskusi menarik itu.
Pertama, sejauh mana batas keterlibatan seorang imam atau kaum berjubah dalam isu-isu kemanusiaan dan keberpihakan kebenaran? Bolehkah kaum berjubah menyuarakan kebenaran dan keadilan dalam persoalan-persoalan kemanusiaan dalam hidup sehari-hari?
Kedua, dalam ranah politik, seperti apa persisnya partisipasi para imam dan kaum berjubah dalam demokrasi lokal dan politik kekuasaan? Ataukah kaum berjubah hanya mengurus doa dan misa saja, dan hanya berada dalam biara-biara dan rumah pastoran saja?
Imam dan Orientasi Nilai
Cukup banyak pertanyaan di tengah masyarakat tentang keterlibatan kaum berjubah (imam) dalam kehidupan sosial politik. Mengapa kaum berjubah mesti berpeluh keringat dan letih berdemonstrasi atas beberapa persoalan sosial di tengah masyarakat? Apakah imam bisa berpolitik praktis untuk berkampanye dan berjuang merebut kekuasaan? Ataukah sebaliknya ia mesti peduli dengan situasi politik masyarakat tanpa terikat kepentingan?
John Boylon dalam tulisannya “Imam dan Politik” (2000:183-185) menguraikan batas-batas keterlibatan imam dalam politik. Ia mengangkat dua pemikiran penting ini.
Pertama, Paus Yohanes Paulus II melarang keterlibatan imam secara langsung dalam politik untuk menjauhkan skandal karena jabatan tertentu serta kemerosotan nilai-nilai kristen pada ideologi politik tertentu.
Imam bukan pemimpin politik yang terlibat dalam kampanye politik ataupun perebutan kekuasaan politis. Imam dilarang berkampanye untuk suatu partai politik tertentu atau menjabati suatu jabatan politis entah di bidang eksekutif, legislatif dan yudikatif (139 KHK 1917 dan 285 KHK 1983).
Kedua, para imam terpanggil untuk menyuarakan kebenaran dan keadilan di tengah tata politik dunia dengan segala konstelasinya terutama ketika ketidakadilan berat dan penindasan menindas hidup manusia. Suara kenabian para imam tidak didasarkan pada opsi partai politik atau ideologi partai tertentu melainkan pada keprihatinan kristiani demi pembebasan orang-orang lemah.
Mathias Daven, Dosen Filsafat STFK Ledalero, menegaskan dua orientasi perjuangan yang berbeda dalam diri kaum terpanggil, yakni orientasi orang/partai dan orientasi nilai.
Pertama orientasi orang atau partai politik tertentu. Imam dan kaum berjubah tidak berorientasi pada orang atau kelompok partai politik tertentu. Jika terikat apalagi terjebak, maka seorang imam akan mengkultuskan oknum dan partai meski tidak sesuai dengan nilai kebenaran.
Imam yang terikat akan memperjuangkan oknum dan kepentingan kelompoknya. Di sinilah, letak kesesatan kiprah seorang imam. Otonomi kenabiannya dengan mudah hilang sirna. Ia menjadi hamba dan budak kepentingan.
Penguasa atau partai politik yang dirasa dekat tidak berani dikritik dan ditegur karena sudah memberikan bantuan finansial dan pelbagai kemudahan. Nilai kebajikan dan kebenaran pada gilirannya meredup dan hilang lenyap karena keterikatan yang tidak bijaksana dan kritis.
Kedua, orientasi nilai. Seorang imam bergerak dalam orientasi nilai. Siapapun pemimpin dan partai politiknya, imam tetap memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan universal. Inilah politik kepedulian, tidak terjebak pada kultus individu melainkan pada nilai kemanusiaan dan keutuhan ciptaan.
Gerakan kaum berjubah lebih berorientasi pada nilai keutuhan ciptaan yang terancam. Tidak terjebak dalam orientasi kepentingan konglomerasi kekuasaan.
Konsili Vatikan II menjelmakan jalan turun Gereja dalam keseharian manusia, dalam canda tawanya juga susah deritanya. Jalan turun kaum berjubah ke tengah suasana ketidakadilan dan penindasan membutuhkan perjuangan yang sarat risiko dan butuh komitmen yang tulus (GS 1, EN 30, PO3).
Simpul Kepedulian dan Apatisme
Ada dua nilai penting yang bisa dimaknai. Pertama, kaum berjubah (imam) mesti memiliki hati yang tulus di tengah tarik menarik pelbagai kekuatan kepentingan. Terjebak dalam salah satu kepentingan, apalagi digiring oleh kepentingan tersebut bisa menjadi bumerang dan jurang bagi kaum berjubah itu sendiri. Politik kepentingan seperti inilah yang bisa menyeret kaum berjubah.
Kedua, Gaudium et Spes 42 menjadi acuan bagi Gereja untuk menjadi terang dan garam di tengah tata politik dunia. Kesetiaan dan ketulusan kaum berjubah dituntut agar dapat memperjuangkan nilai kebenaran dan keadilan.
Kaum berjubah tidak terpanggil untuk memasuki satu arena perebutan kekuasaaan, apalagi tampil sebagai bunglon cantik di antara rimba perpolitikan dengan keabadian kepentingannya. Kaum berjubah pun perlu membangun sikap kritis terhadap pelbagai kepentingan politik, agar ia tidak dengan mudah, terseret nafsu harta dan kuasa.
Suara kaum berjubah tak pernah meminta imbalan apalagi balas jasa, justru ketika dia berorientasi nilai. Suara itu pun tetap lantang, karena ia tak pernah mengemis harta apalagi promosi jabatan kekuasaan. Kesejukan kegembalaan dan suara kenabian tetap menjunjung nilai kebaikan. Hidup di tengah roda sejarah, hentakan kuasa dan tabiat pengkhianatan karena kepentingan.
* Pastor Desa, tinggal di Wilayah Lingkar Tambang