Menikmati Sejuknya Hutan Mangrove Magepanda

Maumere, Ekorantt.com – Hutan Mangrove Magepanda jadi salah satu spot wisata di Kabupaten Sikka. Namanya sudah familiar dan dikenal luas oleh wisatawan baik lokal maupun luar negeri.

Berada di jalur pantai utara, jaraknya hanya sekitar 30 kilometer dari pusat Kota Maumere. Ekora NTT dan beberapa wisatawan lokal mengunjungi Hutan Mangrove Magepanda pada Sabtu (11/7/2020).

Kami berkendara sekitar 30 menit dari Kota Maumere, kemudian belok kanan di Desa Reroroja-Magepanda, menyusuri jalan rabat sejauh 200 meter.

Di samping sebuah rumah sederhana, kami memarkir sepeda motor. Seorang perempuan yang sudah uzur menyambut dan memberitahukan bahwa untuk masuk kawasan hutan mangrove harus bayar karcis sebesar 5 ribu rupiah.

Setelah bayar, kami mengayunkan langkah menuju jembatan bambu di mulut hutan. Dari situlah, sejuknya hutan mangrove mulai terasa. Berjalan di atas jembatan bambu sambil melihat dari dekat aneka macam makhluk hidup diantara pohon bakau memberi kesan tersendiri.

Dahan-dahan bakau mekar dan melindungi setiap pengunjung dari sengatan sinar matahari.

Lopo-lopo sederhana ada di beberapa titik jembatan. Selain sebagai tempat perhentian, lopo-lopo yang ada bisa dijadikan spot untuk berselfie ria.

Tak hanya itu, menara pandang setinggi 10 meter berdiri kokoh di tengah hutan. Dari atas menara, kita bisa melihat hutan mangrove yang membentang seluas kurang lebih 40 hektare sambil menatap birunya laut Flores di depan mata.

Di balik keindahan hutan mangrove, perjuangan sosok Almarhum Baba Akong patut diacungi jempol. Dianggap gila oleh tetangga dan kerabat, ia berjuang dan menjadi pahlawan lingkungan yang patut dihargai.

“Ada tetangga, bahkan keluarga yang anggap Bapa sinting tapi sadar. Bahkan saya pikir, ini kerja buta. Tapi bapa selalu bilang ‘kita tanam saja’. Saya ikut saja,” tutur istri Almarhum Baba Akong, Anselina Nona (70), perempuan uzur yang menyambut kami tadi.

Anselina menuturkan, Almarhum Baba Akong mulai menanam bakau pada Januari 1993. Satu bulan sebelumnya, gempa tektonik menghujam wilayah Flores, khususnya wilayah Kabupaten Sikka.

“Inisiatif awalnya Bapa (Baba Akong). Waktu itu tidak ada bakau, kosong total setelah gempa,” kenang Anselina.

Almarhum Baba Akong menanam bakau untuk menghijaukan lahan kosong agar nantinya mampu menahan abrasi. Ini semua dikerjakan secara swadaya tanpa ada yang memberinya sepeser uang.

Pikiran untuk menjadikan hutan mangrove sebagai tempat pariwisata tak terbayangkan sebelumnya.

“Pariwisata ka, atau apa itu, kami tidak pikir,” imbuhnya.

Pada tahun 2012, Almarhum Baba Akong merancang jembatan bambu yang membelah hutan mangrove. Sejak saat itu pula, mulai ada yang berwisata ke sana.

Ada yang datang bersama sahabat, keluarga, dan pasangan masing-masing. Tamu dari luar negeri sudah banyak yang berkunjung, bahkan sebagian dari mereka menginap di rumahnya.

Anselina murung saat ditanya dampak Covid-19 terhadap kunjungan wisata ke hutan mangrove. Sejak Maret 2020 lalu, tidak ada satu pun wisatawan yang datang-berkunjung.

“Baru dua minggu terakhir sudah ada yang datang. Untuk saya dapat bantuan dari pemerintah. Saya dapat Rp600 ribu selama tiga bulan. Selama corona, saya dengan anak-anak perbaiki jembatan. Semoga ramai lagi,” harapnya.

(Baca juga: Baba Akong, Pencetak “Brace” Kalpataru itu Telah Tiada)

Setelah meninggal pada 6 Maret 2019 silam, perjuangan Almarhum Baba Akong merawat hutan mangrove dilanjutkan Anselina dan anak-anak. Mereka bertekad untuk melanjutkannya demi kelestarian lingkungan.

spot_img
TERKINI
BACA JUGA