Baba Akong, Pencetak “Brace” Kalpataru itu Telah Tiada

Magepanda, Ekorantt.com – Hari tampak cerah di Desa Reroroja, Kecamatan Magepanda, 5 kilometer Barat Laut dari Kota Maumere, Flores, Nusa Tenggara Timur.

Perjalanan ke sini mesti melewati lintasan utara trans-Flores.

Persis di bibir pantai. Bukit-bukit hijau berjejer rapi. Perumahan warga belum terlalu padat.

Selain melaut, sebagian besar masyarakat di desa ini berprofesi sebagai petani.

Terlihat beberapa warga sedang menjemur padi dan kopi di pinggir jalan-jalan rabat. Tampak pula beberapa yang asyik mengurai jala.

Baba Akong sedang duduk mengaso di balai-balai depan rumahnya. Rumahnya berdindingkan bambu dan halamannya cukup luas untuk parker kendaraan.

Terdapat juga tempat-tempat duduk kecil yang disediakan untuk para pengunjung. Pada sisi kiri rumahnya sebuah spanduk terpacak: Mangrove Information Center.

Saya menyalaminya dan dia mempersilakan saya duduk. Perawakan lelaki tua ini kecil dan kurus. Garis-garis keriput tampak jelas menghiasi kulitnya.

Namun, ketika saya mengajaknya mengobrol, dia menyambut penuh antusias, seperti baru bertemu seorang kawan lama.

Pagi itu, ketika saya sambangi, Baba Akong rupanya baru selesai sarapan dan sedang bersiap diri untuk menengok hutan bakau di belakang rumahnya.

Dia lalu mengajak saya untuk turut serta.

“Bakau-bakau ini sudah jadi bagian hidup saya. Makanya, saya harus cek terus, apakah ada anakan yang rusak atau mana yang butuh perawatan,” kata dia.

Selama belasan tahun, dia memang membangun kawasan itu dengan susah payah. Motifnya jelas, menuntaskan dendam atas tragedi gempa dan tsunami yang melanda kepulauan Flores dua puluh enam tahun silam.

“Setelah kejadian itu, banyak orang pindah dari sini karena takut kena bencana lagi. Tapi saya tidak mau. Saya putuskan untuk tanam bakau. Dulu kalau di sini ada banyak bakau pasti dampaknya tidakparah,” terangnya.

12 Desember 1992 memang menjadi malapetaka bagi pria bernama asli Viktor Emanuel Rayon itu.

Rumah dan barang-barangnya hancur lebur oleh guncangan gempa serentak sapuan gelombang tsunami.

Baba Akong dan keluarganya selamat, tapi harta yang tersisa hanyalah pakaian di badan.

Waktu itu, dia bekerja sebagai pedagang sekaligus nelayan. Karena menjadi pedagang itulah dia dipanggil “Baba”. Apalagi dia keturunanTionghoa.

Kejadian tersebut lantas memberikannya kesadaran baru. Tanaman bakau harus banyak ditumbuhkembangkan.

Meskipun dia masih berjualan ikan, urusan bisnis rupanya tak lagi terbersit dalam batok kepalanya.

Sebagian hasil penjualan ikan malah digunakan untuk mendatangkan anakan-anakan bakau.

“Kalau saya pikir-pikir lagi, kapal dan bahan jualan saya tidak punya arti sama sekali dibandingkan nyawa keluarga kami. Syukur Tuhan masih pelihara kami waktu itu,” refleksi dia.

Dia benar-benar tak mau pindah dan mendedikasikan diri secara total untuk menata ulang wilayah pantai Ndete, pesisir laut Flores tersebut.

Sebuah usaha yang gila, ujarnya mengenang pembicaraan orang-orang waktu itu. Namun, dia tak peduli sama sekali.

Anakan-anakan bakau segera ditanamnya. Dia yakin, suatu saat, bakau-bakau itu bakalan jadi penjaga pantai di daerahnya.

Bakau memang memiliki system perakaran yang kuat guna menahan masuknya air laut sekaligus menjaga stabilitas garispantai.

Saya dan Baba Akong melewati sebuah jembatan bambu yang membelah hutan tersebut.

Keberadaan jembatan ini memudahkannya untuk mengontrol tanaman-tanamannya. Jembatan ini mengarah langsung ke tepi pantai.

“Hari ini mau lihat dulu bibit yang saya baru tanam kemarin,” Baba Akong menyampaikan rencananya.

Saya mengikutinya saja. Di kiri dan kanan kami, rimbunan pohon bakau berjejer rapi.

Area itu memiliki luas 70 hektar dan Baba Akong tak pernah luput menyisir tiap titiknya.

“Mereka ini harus saya kawal terus. Saya tidak pernah mengeluh. Siang dan malam saya hidup untuk mereka,” tegasnya.

Bahkan, dia mengenal baik bakau-bakaunya. Entah penandanya apa, hanya dia sendiri yang tahu.

Setelah lewat dari jembatan bambu, kami tiba di sebuah area berpasir. Di situlah Baba Akong menanam bibit-bibit bakau yang baru.

Perkara yang diacemaskan adalah gangguan hewan-hewan liar. Dia melakukan pengecekan dan tanamannya masih baik-baiksaja. Orang tua itu tersenyum sumringah.

Selama ini, istri dan anak-anaknya juga sering membantu dia.

Akan tetapi, dalam perkara menyemaikan benih bakau, semuanya harus berada di bawah koordinasinya.

“Saya yang tunjuk tempat-tempat mana yang harus tanam,” dia memperjelas.

Tentu saja, dia memang tak mau bakau-bakau itu ditanam secara asal-asalan.

Saya perhatikan, di lokasi pantai pun tak terdapat onggokan sampah sama sekali. Baba Akong sangat berdisiplin untuk hal ini.

Ada beberapa kayu penanda yang dibuatnya dan bertuliskan: “DilarangMembuangSampah.”

Baba Akong juga beruntung. Kerja kerasnya menyajikan estetika lanskap alam yang jatmika.

Musababnya, selain kejernihan laut, pada salah satu sisi lokasi berpasir terdapat genangan air laut yang membentuk ceruk danau mungil.

Warnanya kehijauan dan kadar garamnya jadi berkurang tersebab pengaruh pohon bakau.

Namun, Baba Akong barangkali tak memedulikan itu. Yang paling adiluhung buatnya adalah dendam juga kegelisahannya telah tersalurkan.

Dia membalas dendam bukan dengan menabuh gendang kebencian terhadap alam tempat tinggalnya.

Dia malah berdamai dengan alam. Saya ingat betul kata-kata dia ketika kami hendak kembali kerumahnya.

Kita tidak boleh lari dari alam. Kita harus dekat dengan alam. Yang harus kita ubah itu cara kita memperlakukan mereka.

Hari beranjak sore. Saya pun segera pamit pulang.

Cetak “Brace” Kalpataru

Pada Rabu, 6 Maret 2019 sekitar pukul 22.00 WITA, Baba Akong, Pegiat Lingkungan Hidup yang sudah menanam 40 Hektar Mangrove itu tutup usia pada dalam umur 71 tahun di kediamannya Desa Reroroja, Kecamatan Magepanda.

Dalam wawancara dengan`Kontributor Ekora  NTT, Yuven Fernandez pada 2017 lalu, Baba Akong mengungkapkan, ia sungguh mencintai lingkungan.

Bukti kecintaannya adalah dengan menanam dan merawat bakau di pesisir pantai.

“Tuhan ingin manusia mencintai lingkungan dengan menanam dan merawatnya sehingga dapat mengemballikan Firdaus yang hilang,” katanya.

Baba Akong pulang ke haribaan Bapa yang Maha Kuasa meninggalkan 40 Hektar hutan Mangrove dan bangunan jembatan bambu sepanjang 300 meter yang kini sudah menjadi destinasi wisata Kabupaten Sikka.

Teman Baba Akong, Thomas Aquino bercerita, ia mengenal Akong sebagai sosok yang sederhana dan rendah hati.

Ia mengenal pria kelahiran Belu, Atambua ini pada tahun 1999 saat bekerja bersama di Yayasan Karya Sosial (YKS) asuhan Alm. Ignatius da Cunha.

“Setiap kali kami bertemu, ia hanya omong tentang bakau. Tekad bulatnya hanya satu, yakni hutankan Pantai Maumere dengan bakau,” kenang Thomas.

Semasa hidup, Baba Akong pernah mencetak bracepenghargaan Kalpataru. Pada tahun 2008, ia meraih penghargaan Kalpataru Kategori Perintis Lingkungan dari Menteri Lingkungan Hidup, Ir. Rachmat Witoelar.

Pada tahun 2009, ia juga mendapatkan penghargaan Kalpataru Kategori Perintis Lingkungan dari Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono di Istana Negara.

“Kami orang kecil, tetapi kami sudah bertemu Presiden SBY. Ini yang membanggakan,” Anselina Nona atau Mama Nona, Istri Baba Akong.

Selain Kalpataru, Baba Akong juga meraih Juara I Film Dokumenter Metro TV Program Presiden “Hijaulah Indonesiaku” berjudul “Prahara Tsunami Bertabur Bakau.”

Program itu diikuti oleh 25 orang dari Sabang sampai Merauke.

“Usia saya sudah tua, tetapi penanaman bakau akan saya wariskan untuk anak cucu saya untuk melanjutkan usaha mulia demi banyak orang ini,” ungkap Baba Akong.

Selamat jalan, Baba Akong.

Ma sai, Amang Akong. Ma tahi blino lalang woer. Ma regang amang reta seu lape pitu, kota lape walu.

spot_img
TERKINI
BACA JUGA