Maumere, Ekorantt.com – Menanggapi polemik seputar keberadaan GISI (Gereja Injil Seutuh Internasional) di Desa Ladolaka, Kecamatan Palue, Kementerian Agama Kabupaten Sikka buka suara dan telah melakukan sejumlah langkah.
Kepala Kemenag Sikka, Herman Yosep Reda Lete mengatakan, GISI telah mendapatkan pengakuan di Indonesia sebagai salah satu denominasi gereja.
“Tanggal lapor di Kemenag NTT 21 Agustus 2017, sedangkan di Sikka pada 25 Januari 2018,” kata Reda Lete.
Reda Lete menegaskan, pihaknya memegang teguh prinsip bahwa setiap warga negara dijamin kebebasannya untuk memeluk agama dan kepercayaan tertentu. Pada saat yang sama pula warga negara punya kewajiban untuk menaati regulasi yang mengatur soal itu.
“Peraturan bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama nomor 9 dan 8 tahun 2006 tentang syarat-syarat mendirikan rumah ibadah dan menyebarkan agama kepada mereka yang belum beragama,” jelas Reda Lete.
Dikatakannya bahwa proses penyebaran agama harus mengikuti ketentuan-ketentuan yang berlaku.
“Kita boleh menolak tetapi jangan menggunakan cara-cara yang anarkis,” ujarnya.
Kemenag Sikka pun telah melakukan sejumlah langkah, di antaranya telah berkunjung ke Palue, bertemu dan mengajak masyarakat untuk menjaga situasi tetap aman dan kondusif.
Lalu, kepada penanggungjawab GISI, Kemenag Sikka meminta untuk tak beraktivitas sementara sambil mengurus kelengkapan administrasi sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Sementara itu, terhadap masalah GISI, Pengajar STFK Ledalero, Pater Otto Gusti Madung, SVD menegaskan bahwa kebebasan beragama adalah hak asasi manusia. Dan sebagai hak asasi manusia, kebebasan beragama merupakan salah satu hak yang berlaku absolut dan negara berkewajiban untuk melindungi hak asasi setiap warganya, termasuk para jemaat Gereja.
Menurut Pater Otto, prinsip kebebasan beragama atau berkeyakinanmemberikan jaminan perlindungan bagi semua manusia untuk memeluk agama atau keyakinan tertentu. Sebagai hak asasi manusia kebebasan beragama atau berkeyakinan dapat dipandang sebagai hak negatif dan positif sekaligus.
“Sebagai hak negatif, kebebasan beragama atau berkeyakinan berarti seseorang tidak pernah boleh dipaksa oleh negara atau pihak mana pun untuk menjalankan praktik keyakinan atau agama tertentu, bergabung dalam komunitas agama tertentu, berpindah agama atau dipaksa tinggal dalam sebuah agama dengan cara melawan kehendak bebasnya,” jelasnya.
Sebagai hak positif, jelas Pater Otto, kebebasan beragama atau berkeyakinan mengandung arti bahwa setiap orang berhak memilih agama atau keyakinan, menjadi anggota komunitas religius tersebut atau mendirikan sebuah komunitas baru dan menjalankan ibadah serta pelajaran agama baik secara publik maupun di ruang privat.
“Hak positif juga berarti seseorang boleh memilih untuk tidak beragama,” tutupnya.