Oleh: Epin Solanta
Alumni Sosiologi, Universitas Atma Jaya Yogyakarta
Ekorantt.com – Wae Rebo, sebuah destinasi wisata yang terletak di Kampung Satar Lenda, Kecamatan Satar Mese Barat, Manggarai, Nusa Tenggara Timur. Ada yang unik dan istimewa di sana. Tak lain dan tak bukan adalah tujuh rumah adat (Mbaru Niang) yang berbentuk kerucut. Tentu bukan hanya itu. Toh kalau bicara Mbaru Niang, di tempat lain juga ada. Sebut saja, salah satu yang terkenal adalah Mbaru Niang di Todo.
Lalu, apa yang menjadi keunikan lain di Wae Rebo sehingga akhirnya memantik dan memikat hati mereka yang di pusat dan para wisatawan untuk mengunjungi tempat itu? Jika hendak berasumsi, mungkin juga efek “keterisoliran” yang melekat pada tubuh geografisnya. Letaknya di atas ketinggian 1.000 mdpl bisa juga menjadi daya tarik tersendiri bagi para wisatawan, apalagi harus melewati jalan yang cukup mengurasi energi untuk sampai pada tempat yang dijuluki “surga di atas awan” itu.
Keindahan dan kemolekan (fisik) Wae Rebo tentu bukan semata-mata karena pernah didatangi oleh Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf), Sandiaga Uno. Toh, jika harus berkata jujur, kehadiran beliau tidak serta merta menyulap Desa Wisata Wae Rebo menjadi lebih baik dan luar biasa. Tentu karena sudah dari sononya, Wae Rebo itu indah dan memikat hati banyak pihak. Keindahan Wae Rebo itu alami. Ia lahir dan ada bersama masyarakat setempat. Menjadi satu kesatuan yang tak terpisahkan. Melekat kuat dalam nubari warga. Ya, Wae Rebo itu sendiri bukan semata bangunan fisik, melainkan jiwa yang melekat pada tubuh sosial warganya.
Pesona alam Wae Rebo yang begitu indah dengan sejuta “kemolekan” yang melekat pada tubuhnya, hendaknya dibaca sebagai suatu bentuk kearifan lokal. Desa Wisata Wae Rebo adalah tempat dimana persaudaraan, kesetiakawanan hingga humanisme itu bertumbuh subur. Bahkan, lebih dari itu, relasi keintiman dengan alam sangat melekat pada diri warga Wae Rebo. Kealamiaannya itu yang sejatinya terus dirawat dan ditumbuhkembangkan untuk terus hidup dan berkembang menjadi sebuah destinasi yang terus mempesona.
Sejenak, jika kita memusatkan diri pada wisata Wae Rebo, kita akan berjumpa dengan nilai-nilai lokal yang terus tumbuh dan mengakar di sana. Itulah kearifan lokal. Ia senantiasa ada dan terus ada bersama dengan “ketekunan dan kebiasaan” warganya dalam merawat. Kearifan lokal adalah sebuah identitas yang melekat pada tubuh warga. Kearifan lokal di Wae Rebo bukan semata-mata bicara tentang tujuh rumah adat (secara fisik). Tetapi juga bicara tentang nilai-nilai luhur yang terus tumbuh dan menjiwai masyarakat lokal. Nilai-nilai lokal itu pun harus dipahami dan dimaknai juga oleh para pendatang atau siapa saja yang hendak berwisata ke Wae Rebo. Mengapa harus seperti itu? Ini yang dinamakan dengan adaptasi terhadap nilai-nilai lokal. Dimana bumi dipijak, di situ langit di junjung. Setiap yang datang dan pergi tidak serta-merta menghadirkan keangkuhan dan meninggalkan keserakahan di sana. Tetapi datang dan ada untuk bersama-sama menikmati keindahan alam (fisik) dan juga keindahan tutur kata, budaya dan karakteristik yang melekat pada diri warga masyarakat Wae Rebo. Sentuhan pembangunan pun yang (mungkin) pada waktunya nanti akan hadir di Wae Rebo termasuk akses menuju Wae Rebo hendaknya selalu memperhatikan nilai-nilai lokal. Hanya dengan cara itu, keasrian dan kemolekan tubuh Wae Rebo akan terus dikenang dan diakui sebagai destinasi wisata yang indah dan memesona.
Ayo ke Wae Rebo! Jangan lupa membawa keadaban sikap dan perilaku sesuai nilai-nilai lokal setempat. Niscaya, engkau akan dikenang sebagai tamu terbaik. Jangan sekali-kali meninggalkan jejak keangkuhan dan kesombongan, apalagi harus menanggalkan kebusukan. Karena yang abadi itu hanyalah sikap dan laku yang baik.
Wae Rebo tetaplah Wae Rebo yang dilandasi oleh nilai-nilai lokal. Bukan sentuhan-sentuhan pembangunan yang bersifat artifisial dengan misi menuju destinasi wisata global dan modern.