Maumere, Ekorantt.com – Maria Modesta (57), seorang janda yang hidup sebagai pemulung di Kota Maumere, hanya berharap mendapatkan penghasilan dari tumpukan sampah setiap harinya.
“Saya sudah jadi pemulung sampah sejak tahun 1990-an. Sudah 33 tahun dan tidak ada kerja lain,” katanya pada Rabu (24/5/2023) pagi.
Ia berjuang sendiri untuk menafkahi hidupnya karena suaminya, Yakob Nenobahan dari Camplong Timor, yang juga bekerja sebagai pemulung, telah meninggal beberapa tahun silam.
“Saya hanya minta warga kota Maumere jangan bakar sampah tapi buang ke tempat sampah. Sampah sandaran hidup saya,” katanya menerawang.
Modesta bilang, ia biasanya mengais sampah ke arah timur SMA Negeri Maumere.
Saat Ekora NTT menemuinya di tempat pembuangan sampah, Modesta tampak sibuk memungut sampah sementara bau busuk sampah yang menyengat tak dihiraukannya.
“Kalau dulu dalam sehari saya dapat uang Rp50 ribu dari hasil penjualan gelas plastik minuman tapi sekarang dalam sehari hanya bisa dapat uang Rp15 ribu hanya bisa beli beras 1 kilogram. Tidak apalah demi bertahan hidup,” katanya seraya membasuh keringat.
Pemerhati masalah sosial Kota Maumere, Urbanus Londa, kepada Ekora NTT mengatakan, pemerintah Kabupaten Sikka tidak boleh menutup mata terhadap para pemulung yang beroperasi di Kota Maumere.
“Kegiatan pemulung ini terintegrasi dengan program pemerintah ikut membersihkan Kota Maumere agar sedap dipandang mata,” tegas Urbanus.
Untuk itu, saran Urbanus, kalau bisa Pemkab Sikka memberikan insentif untuk mereka dalam bentuk uang karena petugas kebersihan hanya di jalan raya tapi mereka mengambil sampah di lorong-lorong dan sudut-sudut kota.
“Perlu juga mereka diinventarisir dan buat pendampingan karena menjadi pemulung beresiko terhadap kesehatan diri pemulung karena selalu bersentuhan dengan hal-hal hal kotor,” katanya lagi.