Di Balik Klaim Energi Hijau: Luka dan Perlawanan Warga Lingkar Proyek Geotermal Flores

Persoalan lingkungan bukan sekadar isu ekologis, tetapi menyangkut kehidupan sosial manusia secara utuh.

Ruteng, Ekorantt.com – Pembangunan proyek panas bumi di Flores yang diklaim sebagai solusi energi hijau, menyimpan luka mendalam di baliknya.

Warga lingkar proyek di Poco Leok, Kabupaten Manggarai dan Atakore, Kabupaten Lembata, mengungkap pengalaman penuh tekanan, intimidasi, dan pelanggaran hak atas tanah dan budaya mereka.

Janji manis pemerintah dan perusahaan yang semula terdengar menjanjikan, perlahan berubah menjadi cerita penuh luka, ketidakadilan, dan perlawanan yang belum menemukan keadilan.

Andreas Ledjap, warga adat dari Lembata, dalam sebuah diskusi publik tentang literasi HAM di Rumah Baca Aksara, Langgo, Manggarai, Kamis, 24 April 2025, membeberkan berbagai praktik manipulatif yang dialami warga di wilayahnya.

Ia menyebut warga kerap “diperdaya” oleh pihak PT PLN dan pemeritah setempat.

Salah satu kasus yang disebutnya terjadi pada seorang warga pemilik lahan yang sempat didatangi oleh pihak perusahaan.

Mereka menyatakan, pusat panas bumi hanya akan berada di kebunnya. Namun yang terjadi, instalasi proyek dilakukan lebih luas tanpa persetujuan.

“Ini sebuah upaya memperdayai warga,” kata Andreas.

Kisah serupa terjadi pada 2007. Masih pada warga yang sama, saat proses pembayaran atas lahannya, ia mendapatkan ancaman kekerasan dari seorang oknum ASN yang saat itu menjabat sebagai sekretaris di Kecamatan Atadei.

“Dia diancam dipukul pakai bambu. Dan janji pengangkatan anaknya menjadi ASN juga tidak pernah ditepati,” ujar Andreas.

Ia menambahkan, ahli waris warga tersebut hingga kini masih trauma, terlebih karena uang kompensasi yang dijanjikan pun tidak sepenuhnya diberikan.

Andreas juga menyinggung kasus pemasangan pilar proyek oleh tim dari PLN UIP Nusra dan pemerintah yang dilakukan tanpa izin pemilik lahan.

Seorang ibu yang menolak tanahnya dipasangi pilar, justru dibujuk dengan alasan, “biarkan dipasang dulu, nanti soal lahan dijelaskan belakangan.”

Suasana diskusi publik seri literasi hak asasi manusia (HAM) yang digelar di Rumah Baca Aksara, Kamis, 24 April 2025 (Foto: Dokumentasi Rumah Baca Aksara)

Sementara itu, Antonius Anu warga adat Mataloko, Kabupaten Ngada mengisahkan bagaimana proyek serupa sudah masuk ke Mataloko sejak 1998. Kala itu, warga belum memahami apa itu geotermal dan dampaknya.

“Awalnya tidak ada penolakan, karena warga belum paham. Tapi sejak muncul semburan lumpur dan kerusakan tanah sekitar 2006-2009, warga mulai sadar ini proyek bukan solusi,” katanya.

Di Poco Leok, Agustinus Tuju menyatakan, warga telah melakukan 27 kali aksi “jaga kampung” sebagai bentuk penolakan terhadap proyek geotermal. Namun upaya ini tak pernah digubris.

Mereka bahkan dikejutkan dengan terbitnya Surat Keputusan (SK) penetapan lokasi proyek yang tidak pernah disosialisasikan.

“SK keluar begitu saja. Kami tidak tahu. Sosialisasi cuma di awal, dan semuanya hanya cerita baik,” jelas Agustinus.

Ia menekankan pentingnya lima falsafah budaya Poco Leok: mbaru bate kaeng (rumah tinggal), uma bate duat (kebun), natas bate labar (kampung halaman), wae bate teku (air sumber kehidupan), dan compang takung (tempat sesaji). Semua unsur itu saling terhubung dan tak bisa dipisahkan.

“Jika satu unsur dihancurkan, identitas kami juga hancur,” tegasnya.

Warga Adat Alami Tindakan Pembalasan

Proyek pengembangan PLTP Ulumbu di Poco Leok, Kabupaten Manggarai, kembali menjadi sorotan publik.

Dalam temuan awal yang disampaikan Jimmy Z. Ginting dari Terranusa Indonesia, terungkap bahwa sebanyak 37 warga adat Poco Leok mengalami tindakan pembalasan (reprisals) selama periode 2022 hingga 2025 karena menyuarakan penolakan terhadap proyek tersebut.

“Warga yang bersuara justru menjadi korban. Mereka mengalami berbagai bentuk tekanan,” kata Jimmy.

Tindakan serupa juga ditemukan di Atakore, Kabupaten Lembata. Jimmy mencatat, sejak 2002 hingga 2024, sebanyak 11 warga mengalami tindakan pembalasan, di mana 12 kasus di antaranya bersifat berulang dalam bentuk intimidasi dan kekerasan.

Ia menyebut pelaku-pelaku intimidasi ini melibatkan pemerintah daerah, pihak perusahaan, aparat penegak hukum, dan unsur sipil.

Profil para korban terdiri dari 11 perempuan dan 37 laki-laki dengan rentang usia antara 20 hingga 65 tahun.

Bentuk tindakan pembalasan yang dialami warga meliputi stigmatisasi, intimidasi verbal dan non-verbal, kekerasan fisik, ketidakadilan administratif, pelecehan, hingga kriminalisasi.

Jika mengacu pada Permen LHK Nomor 10 Tahun 2024, kata Jimmy, semua tindakan tersebut dapat dikategorikan sebagai pelemahan partisipasi publik.

Selain itu, ia menyoroti pelanggaran terhadap hak-hak dasar masyarakat adat, seperti hak menentukan nasib sendiri, hak atas informasi dan ekspresi, serta hak atas tanah, wilayah, dan sumber daya alam. Hak-hak kolektif seperti hidup bebas, setara, dan tanpa diskriminasi pun ikut terlanggar.

“Yang kami temukan di lapangan adalah dampak sosial yang cukup serius. Masyarakat terbagi antara yang pro dan kontra. Ini memicu retaknya relasi sosial dan budaya,” ujar Jimmy.

Ia menambahkan, narasi negatif atau opini tidak lengkap yang disebarluaskan kepada publik berujung pada stigmatisasi terhadap kelompok masyarakat yang menolak proyek geotermal.

Saurlin P. Siagian (Foto: pgi.or.id)

Sementara itu, Komisioner Pengkajian dan Penelitian Komnas HAM, Saurlin P. Siagian mengungkapkan, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mencatat bahwa laporan aduan terkait proyek geotermal semakin meningkat dalam beberapa waktu terakhir.

Saurlin mengatakan, proyek-proyek panas bumi yang masuk dalam kategori Proyek Strategis Nasional (PSN) menyimpan banyak indikasi pelanggaran terhadap hak sipil, hak partisipasi, hak atas informasi, dan hak atas rasa aman.

“Masalah utama ada pada tata kelola. Penggunaan aparat berlebihan dan tidak adanya mekanisme pemulihan terhadap korban menjadi bukti nyata bahwa ada hal yang harus segera dievaluasi,” tegas Saurlin.

Komnas HAM merekomendasikan agar pemerintah melakukan peninjauan ulang terhadap proyek PSN, khususnya terkait geotermal, dan memastikan implementasinya tidak merugikan hak-hak masyarakat.

Menurutnya, meskipun proyek energi terbarukan menjadi tren global, pelaksanaannya tidak boleh mengorbankan prinsip-prinsip keadilan sosial, budaya, dan lingkungan hidup.

“Sepuluh tahun terakhir, perlindungan terhadap proyek strategis justru menjadi celah terjadinya pelanggaran HAM. Ini harus diakhiri,” pungkasnya.

Ruang Dialog yang Adil

Dalam menghadapi proyek-proyek pembangunan skala besar seperti pengembangan panas bumi di Flores, berbagai tokoh masyarakat sipil menekankan pentingnya membuka ruang dialog yang adil antara pemerintah, perusahaan, dan masyarakat adat.

Proyek energi hijau yang digaungkan sebagai solusi masa depan dinilai justru kerap melanggar hak-hak dasar warga lokal.

Ketua Lakpesdam PWNU Nusa Tenggara Timur, Sri Chatun menekankan, proyek yang berada di tengah komunitas adat harus melibatkan masyarakat secara aktif dan setara.

“Karena proyek ini di tengah komunitas masyarakat, maka keterlibatan langsung mereka sangat diperlukan,” ujar Sri dalam diskusi publik tersebut.

Menurutnya, wajar jika masyarakat adat menuntut perlindungan hukum atas budaya, identitas, dan ruang hidup mereka.

Sayangnya, proyek geotermal kerap didorong atas nama pembangunan dan transisi energi, tetapi dalam praktiknya berbenturan dengan hak untuk menentukan nasib sendiri.

“Konsep pembangunan berkelanjutan mesti tidak boleh mengorbankan masyarakat adat dan lingkungan,” tambahnya.

Sri menegaskan, bentuk pembangunan apa pun harus menjunjung tinggi keadilan sosial, serta menghormati hak atas tanah, budaya, dan ruang hidup masyarakat.

Ia juga menyoroti dampak lingkungan dari proyek geotermal yang berpotensi merusak sumber mata air, merugikan pertanian, dan mengancam kelangsungan hidup komunitas adat.

“Kalau proyek geotermal terbukti mengganggu keberlanjutan hidup dan alam, maka itu harus ditinjau ulang, bahkan bisa dihentikan demi kemaslahatan bersama,” tegasnya.

RD Benediktus Dengar (Foto: HO)

Sikap kritis juga datang dari Pastor Beni Denar, akademisi dari Stipas St. Sirilus Ruteng. Ia menyatakan bahwa pembangunan yang benar adalah yang dikehendaki oleh masyarakat, bukan dipaksakan atas nama kemajuan.

“Terkait tambang dan proyek panas bumi, konsep kemajuan ini kerap menjadi bentuk pemaksaan,” katanya.

Menurut Pastor Beni, perjuangan masyarakat di Mataloko, Lembata, dan Poco Leok mencerminkan perlawanan universal masyarakat adat terhadap pola pembangunan neoliberal.

Ia menilai pola seperti ini selalu mengabaikan partisipasi masyarakat, menggunakan kekuatan aparat, dan seringkali memanipulasi informasi.

“Mayoritas masyarakat adalah petani. Ketika tanah mereka diambil, mereka kehilangan mata pencaharian. Dan mengubah masyarakat petani menjadi pelaku industri itu bukan hal yang mudah,” tegasnya.

Ia memperingatkan potensi konflik horizontal dan vertikal yang bisa muncul akibat proyek semacam ini.

Situasi seperti ini, katanya, sangat meresahkan dan merusak tatanan sosial masyarakat adat.

Dalam konteks lingkungan, Pastor Beni merujuk pada ensiklik Laudato Si yang dikeluarkan Paus Fransiskus.

Persoalan lingkungan bukan sekadar isu ekologis, tetapi menyangkut kehidupan sosial manusia secara utuh, kata dia.

“Yang paling dilanggar dari proyek seperti ini adalah konsep hidup baik milik masyarakat. Semua dipaksakan dalam kerangka ekonomi tunggal yang tidak semua orang terima,” tutupnya.

spot_img
TERKINI
BACA JUGA