Belajar dari DUTA

Melalui Surat Keputusan Presiden Nomor 5 Tahun 1985, rezim Orde Baru menetapkan tanggal 9 Februari sebagai Hari Pers Nasional (HPN).

Penetapan HPN ini bermasalah karena pertama, ahistoris karena abai terhadap aktivitas pers nasional yang sudah menggeliat sejak zaman pergerakan kemerdekaan seperti koran pertama pribumi berbahasa Melayu “Medan Prijaji” besutan Tokoh Pers Nasional, Tirto Adi Soerjo.

Kedua, karena didefinisikan oleh Orde Baru yang anti-pers, HPN dianggap simbol ketertundukan pers terhadap kekuasaan.

Ketiga, HPN dianggap hanya mewakili organisasi wartawan tertentu, dalam hal ini Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) yang dideklarasikan pada 9 Februari 1946.

Memerhatikan kontroversi HPN, Ekora NTT tidak ikut latah mengikuti acara seremonial peringatan HPN.

Sebagai gantinya, Ekora NTT mencobalacak jejak sejarah pers di Nian Tana Sikka. Usaha itu membawa kami bertemu dengan salah seorang mantan jurnalis DUTA, E.P. da Gomez.

Dari mulut kakek berusia 79 tahun inilah, kami dapatkan secuil gambaran tentang DUTA, surat kabar publik pertama di Kabupaten Sikka.

DUTA adalah koran lokal pertama di Kabupaten Sikka yang diterbitkan oleh Penerbit Yayasan Karya Sosial (YKS).

Terbit pertama kali pada tanggal 15 April 1968 pada masa pemerintahan Bupati Lorens Say dengan tebal 36 halaman, DUTA memuat rubrik Tajuk, Politik, Ekonomi, Kebudayaan, dan Varia.

DUTA dibaca oleh 500 langganan tetap dan punya loper koran sendiri. Terbit selama 7 tahun dari 1968 sampai 1975, DUTA sudah menulis 100 edisi koran.

Edisi 1-36 DUTA diarsip secara apik oleh Pater Volsvik, SVD. Bundelan arsip koran itu diperkirakan masih tersimpan di Perpustakaan Ledalero. Pada 1975, DUTA berhenti terbit.

Yang mengesankan dari DUTA adalah militansi, independensi, dan integritas para awak DUTA.

Di bawah kemudi Pemimpin Redaksi DUTA, Viator Parera, para jurnalis DUTA seperti Alm. Ignatius da Cunha, Alm. Herman Yoseph, Alm. Ludgerus da Cunha, Alm. Hendrik Rotan, Alm. Stef Mane Parera, E.P. da Gomez, dan Oscar Mandalangi Pareira menulis DUTA dengan gaya tulisan yang keras.

Mereka tidak segan-segan kritik kekuasaan. Mereka selalu mencari titik lemah Bupati Lorens Say untuk dikritik. Saking kerasnya kritik, para wartawan DUTA pernah dipanggil Bupati Lorens ke kantor dan diancam tempeleng.

Bupati Lorens juga laporkan DUTA ke polisi saking gerahnya. Namun, DUTA bergeming. Kritik tetap dilancarkan.

Para wartawan DUTA bekerja dalam kemiskinan. Upah mereka hanya Rp200,00 hingga Rp300,00 setiap bulan.

Mereka jalan kaki untuk lakukan peliputan. Akan tetapi,mereka ogah terima “suap” dari penguasa. Suatu ketika, Bupati Lorens tawarkan tanah di seputaran Waioti kepada para awak DUTA.

Mereka tolak mentah-mentah tawaran itu. Kemiskinan tidak pernah mengubah mereka menjadi jurnalis penjilat yang menghisap madu kekuasaan.

“Saya dapat nafkah dari surga,” gurau E.P. da Gomez saat ditanya Ekora NTT tentang sumber nafkah keluarga.

DUTA ajarkan para pekerja media bahwa pers bukanlah Humas kekuasaan. Pers, press, sesuai dengan namanya bertugas menekan kekuasaan agar tidak korup.

Hal ini mungkin dilakukan kalau pertama, perspektif pemberitaan pers adalah rakyat, bukan penguasa dan kedua, pers tidak jilat kekuasaan antara lain dengan cara tidak terima suap.

spot_img
TERKINI
BACA JUGA