Mengapa Merantau dan Alternatif Solusinya

Min Namang, warga Hokeng, Kabupaten Flores Timur, merantau ke Malaysia pada 1993 dan meninggal di sana pada 2000. WN, warga Magepanda, Kabupaten Sikka, juga merantau ke Malaysia pada 2017 dan meninggal di sana pada 2019.

Dua-duanya TKI illegal. Mereka merantau ke Malaysia tanpa dokumen resmi. Di akhir hayat, keluarga hanya dapat kabar petaka, mereka telah meninggal tanpa tahu dengan tepat tempat jenazah mereka disemayamkan.

Kisah Min Namang dan WN adalah dua dari banyaknya kisah TKI asal NTT yang meninggal di tanah rantau. Berdasarkan data Jaringan Nasional (JarNas) Anti Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO), sepanjang Januari – Desember 2019, terdapat 119 TKI asal NTT yang meninggal di tanah rantau.

117 meninggal di Malaysia, 1 meninggal di Singapura, dan 1 lagi meninggal di Senegal. 117 yang meninggal di Malasyia tanpa dokumen resmi TKI, sedangkan dua yang meninggal di Singapura dan Senegal terdata di BP3TKI Kupang.

Mengapa orang NTT merantau? Apa solusi alternatifnya?

iklan

Pertama-pertama mesti ditegaskan, merantau ke dalam dan luar negeri atau migrasi nasional/internasional adalah hak asasi setiap warga Negara untuk mendapatkan penghidupan yang layak. Pemerintah tidak bisa melarang warga Negara merantau hanya karena berbagai dampak buruk yang ditimbulkannya.

Akan tetapi, mesti juga dianalisis sebab struktural dan kondisi objektif masyarakat NTT yang merangsang mereka melakukan migrasi nasional/internasional. Sebab-sebab struktural itu misalnya kalah bersaingnya para petani kecil dalam sistem ekonomi pertanian kapitalis dan feodal di NTT.

Sistem penguasaan dan kepemilikan tanah yang timpang membuat para petani kecil terdepak dari sektor pertanian. Para petani yang terdepak ini selanjutnya sulit menemukan lapangan pekerjaan lain di luar sektor pertanian karena industrialisasi di NTT belum berkembang optimal. Pilihan yang tersisa adalah merantau ke wilayah di mana industri sudah berkembang dan maju baik di dalam maupun di luar negeri.

Selanjutnya, para TKI asal NTT di atas mesti menyesuaikan diri dengan sistem kerja kapitalistis di daerah atau Negara tujuan. Tuntutan efisiensi, produktivitas,  dan kompetisi yang tinggi sebagai bagian dari corak khas kapitalisme plus rendahnya tingkat pendidikan dan keterampilan kerja membuat nyawa para pekerja rentan ini senantiasa terancam dari waktu ke waktu.

Tak jarang, mereka menjadi korban sindikat kejahatan perdagangan orang di mana organ-organ vital tubuh mereka diambil untuk diperjualbelikan.

Akhirnya, kebijakan moratorium Pemerintah Provinsi NTT tidak akan cukup mengatasi persoalan migrasi internasional di NTT. Memperhatikan kondisi objektif di NTT, pemerintah mesti terlebih dahulu melakukan Reforma Agraria untuk menciptakan tatanan struktur kepemilikan agraria/tanah yang adil.

Selanjutnya, pemerintah perlu secara serius membangun industrialisasi dalam berbagai sektor di NTT. 

TERKINI
BACA JUGA