Brenton Tarrant, Terorisme dan Teknologi di Tangan Anda

Maumere, Ekorantt.com – Beberapa hari terakhir, warga dunia digegerkan dengan peristiwa penembakan di dua masjid di Christchurch di Selandia Baru, Jumat, 15 Maret 2019.

Pelakunya bernama Brenton Tarrant, seorang pria kulit putih kelahiran Australia dan berusia 28 tahun.

Dalam aksi teror itu, Tarrant menewaskan 49 orang yang sedang menjalankan ibadah.

Dia menyiarkannya lewat facebookdan berlangsung selama 17 menit.

Dalam manifesto yang ditulis dan diunggahnya ke internet, motif yang dapat dibaca ialah Tarrant menaruh kebencian yang luar biasa kepada kaum imigran.

iklan

Sebagai seorang ekstremis sayap kanan, dia percaya bahwa “gelombang pasang” kaum imigran, khususnya dari Timur Tengah dan Afrika sub-Sahara, yang masuk ke Eropa bisa menyebabkan keruntuhan peradaban Barat dan mengurangi populasi orang-orang kulit putih.

Lantas, Selandia Baru dipilihnya sebagai tempat melakukan aksi teror karena dianggap menjadi representasi Barat.

Namun, hal lain yang patut juga dilihat adalah soal aksi siaran langsungnya di platform media sosial tersebut.

Teror, dalam artian sebagai pembentuk rasa takut, semakin menunjukkan keterbukaannya di ruang publik, memanfaatkan perkembangan teknologi dan informasi.

Jason Burke, dalam tulisannya di The Guardian, menegaskan bahwa terorisme menjadi efektif karena ia kelihatan dekat, baru dan personal.

Personal, karena itu terjadi di tempat publik, seperti jalanan kota atau rumah ibadah, yang secara naluriah merupakan bagian dari keseharian hidup manusia.

Baru, karena dari informasi atau berita yang kita terima/baca/tonton, tampak ada varian cara juga motif dari pelaku pun pernyataan dari pihak keamanan, pengamat, termasuk politisi dan framing yang terbentuk di media.

Dekat, karena gambar-gambar yang terlihat di ponsel, televisi, koran, setidaknya punya rujukan dalam isi kepala manusia.

Bila pada tahun 1970-an, pakar Brian Michael Jenkins menyebut terorisme sebagai pertunjukan teater karena dilihat luar biasa/spektakuler, sekarang ini ia malah menjadi semacam sebuah serial televisi yang mana diinginkan berakhir oleh orang-orang tapi malah tetap berjalan.

Mengenai ini, dari risalah Burke dapat dilihat bahwa campur tangan teknologi terhadap terorisme tak hanya sekadar modifikasi atau desain senjatanya saja.

Tetapi merangsek masuk ke benda-benda teknologi konvensional, seperti ponsel dan televisi.

Di situlah fungsi teror berjalan sebab kekerasan yang terjadi benar-benar menular.

“Kekerasan itu harus meneror- mengilhami ketakutan irasional dan mengubah pikiran – tetapi juga harus meradikalisasi dan memobilisasi. Itu harus mengirim pesan ke musuh, pendukung dan, mungkin yang paling penting, mereka yang tidak punya kepentingan apa-apa,” demikian menurut Burke.

Apa yang disampaikan dia tentu saja punya jejak kebenarannya.

Dalam peristiwa di Selandia Baru, sesaat setelah Tarrant melakukan aksi biadab tersebut, rekaman video siaran langsungnya segera tersebar membabi buta pada platform-platform media sosial dan aplikasi chatting-an, seperti facebook, instagram dan whatsapp.

Bahkan berdasarkan pantauan Ekora NTT, hal ini malah terjadi juga di grup whatsapp berisikan anak-anak muda  cerdas yang melabeli diri mereka sebagai pembawa kedamaian, yakni para peserta National Interfaith Youth Camp 2018.

Postingan video Tarrant diunggah oleh salah satu akun dan sempat direspons oleh yang lainnya dengan beragam komentar.

Ada yang mengutuk pelaku, ada yang menyampaikan duka cita terhadap korban, ada juga yang menyampaikan hasutan serentak melayangkan rasa simpati.

Syukur saja seorang anggota grup itu segera menegur dan meminta si pemosting menghapus videonya.

Menyebarkan video itu hanya akan membikin senang kaum teroris sebab niatan mereka untuk timbulkan kebencian dan rasa takut berjalan mulus, demikian tegas dia.

Meskipun pihak facebook juga youtube memberi keterangan bahwa mereka telah menghapus segala tetek-bengek berkenaan dengan video tersebut, satu hal yang tak dapat dimungkiri ialah misi kaum teroris tampak sungguh tercapai.

Itu menunjukkan bahwa perkembangan teknologi rupanya telah menjadi bagian tak terpisahkan dari hidup manusia sekaligus menampilkan wajah gandanya.

Orang-orang boleh peduli terhadap tragedi di Selandia Baru ataupun aksi terorisme di tempat lainnya, tapi mereka bisa saat itu juga tampil sebagai sosok pembenci terhadap orang yang tak mereka kenali sama sekali.

Semuanya tergantung pada cara menggunakan teknologi di tangan Anda.

TERKINI
BACA JUGA