Historiografi Budaya Dalam Balutan Hegemoni dan Perspekstif-Perspektif

Sejarah dibangun dan bergerak beradasarkan klaim-klaim. Klaim-klaim itu tentu milik para penguasa, para pemenang; orang-orang yang memiliki akses terhadap pengetahuan dan tentu kuasa/legtimasi untuk apa saja yang disampaikannya.

Tak peduli klaim itu palsu, kekuasaan tetap akan mampu menyulapnya menjadi kebenaran. Bukankah kepalsuan yang terus dibicarakan, terus diperbincangkan di ruang publik, cepat atau lambat akan diyakini sebagai kebenaran, jika bukan mitos atau stigma?

Mitos atau stigma dan kebenaran tentu sama-sama memengaruhi kesadaran manusia meski dalam cara dan intensionalitas yang masing-masing berbeda.

Sejarah, sekali lagi harus diakui, dibangun dan bergerak berdasarkan klaim-klaim. Tidak terkecuali sejarah kebudayaan.

Dalam sejarah nasional pascakemerdekaan, perdebatan seru kaum Manikebu dan Lekra menjadi kisah yang sering menjadi rujukan.

iklan

Lebih dari sebuah perdebatan egoistis antar golongan yang bertikai, perseteruan dua golongan ini didasari visi dan ideologi yang sama-sama kuat, mengenai rancang bangun kebudayaan Indonesia kala itu.

Yang satu mengidealkan dan mengusahakan sebuah rancang bangun kebudayaan yang bercorak modernis dengan konsep humanisme universal, sementara yang lain melihat kebudayaan dengan kacamata realisme sosialis, sebagai alat baca sekaligus eskpresi argumentasi politis yang mengusahakan perjuangan kelas.

Kita tahu, akhir dari perdebatan ini lantas diintervensi oleh kekuasaan politik saat itu. Lekra dibubarkan. Tidak sedikit karya-karya kebudayaan Lekra dibinasakan. Tak muncul dalam historiografi resmi Indonesia selama bertahun-tahun.

Para pengikutnya dicap komunis, ditangkap dan dibuang ke penjara-penjara tanpa pengadilan.

Lebih awal sebelum perseteruan Manikebu dan Lekra, kita menemukan Polemik Kebudayaan yang melibatkan Sutan Takdir Alisyahbana, Sanusi Pane, Poerbatjaraka dan tokoh-tokoh kebudayaan lain di masa sekitar tahun 1930-an.

Polemik Kebudayaan ini memiliki visi yang mulia; merancang bangunan kebudayaan Indonesia saat itu yang tengah dipengaruhi oleh semangat nasionalisme.

Semangat kebaruan yang menekankan intelektualisme dan materialisme yang dianggap global dan universal kala itu dihadapkan dengan filosofi dan pandangan hidup yang bercorak kolektif dan spiritual, yang secara serampangan dilabeli dengan istilah kearifan lokal.

Konsep tentang Indonesia baru yang sebagai satu kesatuan dihadapkan dengan fakta kemajemukan identitas di Nusantara.

Cara pandang barat dihadapkan dengan cara pandang timur. Oposisi biner tercipta. Orientalisme yang menyertakan beragam wacana kolonial tidak dapat dihindarkan.

Dalam kasus ini, kita harus dengan lapang dada menerima bahwa nasionalisme sebaik dan semulia apa pun, tetaplah anak kandung kolonialisme yang membawa serta segala konsekuensinya, termasuk visi-visi penyeragaman dan penunggalan dalam melihat dan memperlakukan kebudayaan.

Dalam konteks yang lebih lokal dengan tradisi dan dokumentasi historiografi yang sangat lemah, wacana kebudayaan di Kabupaten Sikka bahkan masih berkutat dengan kesimpangsiuran pembagian etnis yang mendiami wilayah Kabupaten Sikka.

Sekurang-kurangnya, dalam catatan Longginus Diogo tahun 2013, ada setidaknya sembilan versi  pembagian wilayah etnis, yaitu versi Oscar P. Mandalangi I (1990), versi Longginus Diogo (2001), versi Paulus Nong Susar (2004), versi Keuskupan Maumere (2006), versi Julianus Celsius (2006), versi Alex Longginus I (2007), versi Alex Longginus II (2008) dan versi Dinas Pariwisata Kab. Sikka (2008) dan versi Oscar P. Mandalangi II (2013).

Setiap klaim dan versi ini mungkin punya parameter dan indikator sendiri dalam membuat kategorisasi wilayah etnis di Kabupaten Sikka.

Yang menjadi kebutuhan dari diskusi selanjutnya mengenai kegalauan ini adalah tuntutan untuk diadakannya sebuah rekonsiliasi budaya.

Rekonsiliasi mengandaikan adanya resistensi terhadap wacana kebudayaan dominan yang sifatnya hegemonik.  

Dari sisi tilik ini, kita tentu perlu merefleksikan kembali wacana kebudayaan kita, terutama yang berkelindan dengan kolonialisme dan pengaruh-pengaruhnya.

Sudah sejak lama bipolarisasi wacana kebudayaan dominan dan subversif berlangsung di Kabupaten Sikka.

Bipolarisasi menempatkan suku Sikka di satu sisi dan suku-suku serta etnis lain di sisi yang lain. Wacana kebudayaan di Kabupaten Sikka dalam waktu yang lama dikendalikan oleh para budayawan dan penulis historiografi suku Sikka yang memiliki kedekatan dengan sejarah kolonialisme di Kabupaten Sikka.

Kolonialisme Portugis mengkonstruksi suku Sikka sebagai agen kolonial lewat didirikannya Kerajaan Sikka. Akses terhadap kekuasaan, pengetahuan, dan sumber-sumber produksi wacana kebudayaan oleh orang-orang dari suku Sikka ini diperkuat dengan adanya pendidikan yang dibawa para misionaris.

Mereka menjadi penulis-penulis awal yang hampir pasti berkuasa mutlak dalam membuat dokumentasi kebudayaan kerjaan Sikka (yang lantas berkembang menjadi Kabupaten Sikka) yang diwarisi turun-temurun.

Pada masa Belanda, ketika pusat pemerintahan dipindahkan dari kampung Sikka ke Maumere, pemerintah kolonial tetap bernegosiasi dengan raja dan para penjabatnya sebagai agen kolonial. Mekanisme ini coba diterapkan di wilayah Nita dan Kangae meski Sikka tetap menjadi yang dominan.

Dari catatan-catatan kebudayan awal pasca-kemerdekaan, kita dapat melihat bagaimana Sikka yang secara faktual hanyalah sebuah kampung kecil, varian dari etnis Krowe, oleh para budayawannya diklaim sebagai sebuah etnis tersendiri yang melingkupi banyak sub-kultur lain di wilayah Kabupaten Sikka.

Nama Sikka lantas digunakan sebagai nama Kabupaten, menjadi representasi sebuah wilayah dengan kekayaan kultural yang sangat beragam. Kebudayaan Sikka lantas menjadi kebudayaan dominan.

Pakaian adat, bahasa, rumah adat, ragam kesenian, dan praktik-praktik kebudayaan suku Sikka menjadi identitas utama kebudayaan Kabupaten Sikka. Meski secara ironis, referensi material seperti rumah adat, dan praksis-praksis kebudayaan seperti ritus bertani, merayakan keberhasilan panen, dan lain sebagainya hampir tidak lagi terlihat di kampung Sikka sendiri.

Catatan-catatan yang lebih muda usianya, misalnya yang ditulis oleh John Prior tentang motif-motif politik kebudayaan dan agama yang melatari kasus 1965 di Sikka memperlihatkan dengan jelas, betapa hingga masa-masa itu, etnosentrisme orang-orang Sikka masih dominan dan hegemonik sifatnya.

Resistensi-resistensi, misalnya yang nyata dalam gerakan KANILIMA meski menaruh penekanan yang besar pada faktor politik, tetap tidak pernah tidak bersinggungan dengan produksi wacana kebudayaan.

Lebih dari sesutu yang bersifat historiografis, budaya tetaplah sesuatu yang dinamis, bergerak, bertemu, dan berbaur, seiring dengan pertemuan dan dinamika manusia-manusia dan hampir tidak mungkin dikerangkan dalam suatu kategori yang statis dan tunggal.

Hibridasi terjadi dimana-mana, bahkan sudah sejak pertama kali nenek moyang kita, para pelaut itu melakukan pelayaran-pelayaran. Kekuasaan politis terus berubah. Struktur dan pola interkasi masyarakat berkembang dari waktu ke waktu.

Yang hegemonik dan subversif perlahan-lahan ada bersama, saling bernegosiasi dan membangun ruang-ruang perjumpaan baru yang dalam bahasa Homi K. Bhaba dikenal dengan istilah the third space.

Bagaimana pun, rekonsiliasi budaya tetap diperlukan, pada tataran historiografi maupun visi pembangunan kebudayaan.

Meski perdebatan tentang yang orisinil dan yang serapan tidak lagi relevan. Perdebatan tentang yang benar dan salah, sama sekali bukanlah yang dianjurkan.

Yang paling mungkin adalaha melihat fenomena ini dalam kacamata dialektis atau membiarkan wacana-wacana yang selama ini subversif muncul ke permukaan, diakomodasi, dan dikaji kembali. 

Yang tetap perlu dicatat adalah historiografi tetaplah selalu bersifat perspektif. Klaim sejarah tetaplah sebuah atau versi-versi. Tidak pernah selalu bisa tepat mewakili keseluruhan.

(Eka Putra Nggalu, bergiat di Komunitas KAHE Maumere)

TERKINI
BACA JUGA