Maskot “Manu Meo” dan Imajinasi tentang Waktu

Salah satu yang mencuri perhatian dari El Tari Memorial Cup kali ini adalah hadirnya maskot “Manu meo” Malaka di sela-sela pertandingan.

Selain fotogenik bagi para penyuka bola yang mengalir ke Betun dan sekitarnya, simbol ayam (jantan) mempunyai jejak yang kuat dalam imajinasi orang-orang Malaka, khususnya bagi kelompok yang berbahasa Tetum.

Toh dalam banyak budaya, ayam jantan adalah simbol ketepatan waktu. Ayam yang selalu “disiplin” bangun pagi diproyeksikan sebagai ideal bagi perilaku orang yang ingin sukses.

Dalam bahasa Indonesia, ada ungkapan seperti “Awas rejekimu dipatuk ayam!” Sebuah ekspresi yang mengafirmasi keunggulan ayam ihwal kedisiplinan.

(Tentu dengan itu kita tidak menegasikan “disiplin babi” untuk merontak ketika lapar!)

Selain itu, dalam khasanah bahasa Indonesia pula muncul nada yang agak negatif dalam imajinasi figuratif tentang ayam. Hal ini ditemukan dalam ekspresi, seperti “hangat-hangat tahi ayam”.

Orang tentu tidak ingin membuang waktu untuk membuktikan apakah cirit ayam memang lebih cepat dingin dari cirit kambing?

Orang menerima ungkapan itu tanpa banyak protes.

Bagi kita, cirit ayam mewakili antusiasme yang cepat luntur, titik!

Meskipun boleh jadi, secara ilmiah tahi kambing atau tahi sapi lebih tepat mewakili realitas yang hendak dibahasakan, sehingga ungkapan yang lebih rasional justru “hangat-hangat tahi kambing” misalnya.

Ini sekadar contoh kecil bahwa budaya punya determinasi yang kuat sehingga sering kali apa yang diwariskan turun-temurun seolah tidak perlu lagi dipertanyakan.

“Hurufmu seperti cakar ayam!” begitu seorang guru membentak muridnya yang tidak rapih mencatat.

Mengapa ayam lagi yang disalahkan? Padahal cakar bebek pun tidak kalah noraknya.

Contoh lain yang juga mengejutkan adalah label “bunga tahi ayam” (𝘓𝘢𝘯𝘵𝘢𝘯𝘢 𝘤𝘢𝘮𝘢𝘳𝘢, 𝘛𝘢𝘨𝘦𝘵𝘦𝘴 𝘦𝘳𝘦𝘤𝘵𝘢). Dalam kasus ini, keindahan visual dari varietas sebuah bunga direduksi ke dalam pengalaman empiris yang “traumatik”.

Kita mendeteksi intervensi indra penciuman dalam proses penamaan bunga ini.

“Pengalaman buruk” dengan bau bunga itu membuat orang mencari rujukan yang lebih primordial; tahi ayam.

Fenomen yang sama kita jumpai dalam penamaan “bunga bangkai” (𝘈𝘮𝘰𝘱𝘩𝘰𝘱𝘩𝘢𝘭𝘭𝘶𝘴 𝘵𝘪𝘵𝘢𝘯𝘶𝘮).

Lantas, bagaimana imajinasi orang Malaka tentang ayam (jantan)?

Dalam Bahasa Tetum – salah satu bahasa yang dipakai mayoritas penduduk Kabupaten Malaka – ayam secara tradisional dirujuk sebagai penunjuk waktu.

Ketika berbicara tentang waktu orang menggunakan ungkapan seperti “Manu si ratiha” (Ayam-ayam melompat ke tanah) untuk merujuk pada kata “subuh” dan “Manu si rani” (Ayam-ayam bertengger di pepohonan) yang sinonim dengan “sore hari”.

Ungkapan lain untuk mengganti “Manu si ratiha” adalah “Manu si kokorek” (ayam berkokok).

Jauh sebelum Peter Henlein menemukan jam konvensional pada abad ke-15, orang sudah mulai mengobservasi alam sekitar untuk mematok waktu.

Cara yang paling umum adalah dengan memantau gerak matahari.

Nenek moyang kita juga melakukan hal yang sama sehingga tercetus ungkapan seperti: “Loro sae”, “Loro monu”, “Loro Natetu”, dst.

Selain memerhatikan matahari, orientasi waktu orang Malaka dipengaruhi juga oleh observasi terhadap perilaku ayam.

Tentu hal ini bukan gejala baru. Fenomen yang sama ditemukan dalam bahasa Inggris.

Di balik kata “roster” tersembunyi imajinasi tentang seekor ayam jantan (Inggris: 𝘳𝘰𝘰𝘴𝘵𝘦𝘳) yang rajin berkokok dan mengontrol jadwal kerja manusia.

Kisah terkenal tentang ayam juga muncul dalam dokumen yang tua seperti Injil.

Konon, Yesus meramal bahwa Petrus akan menyangkalnya tiga kali sebelum si jago berkokok.

Orang Yahudi mempunyai cara yang mirip dengan orang Malaka ketika mematok waktu.

Injil bercerita dengan bahasa yang persisi tentang koinsidensi antara penyangkalan Petrus dan kokok ayam.

Dalam pembacaan yang sepintas lalu, kita mendapat kesan hiperbolik dalam cerita Injil. Seolah-olah, ayam jantan itu dikontrol oleh kekuatan ilahi untuk menghakimi Petrus.

Bandingkan bagaimana Lukas bercerita (22, 34). Padahal, gaya bahasa dalam tulisan itu sebetulnya cuma mau menyampaikan sepotong informasi bahwa setting peristiwa historis itu terjadi pada subuh.

Jadi, imajinasi leluhur orang Malaka tentang seekor ayam dan orientasi waktu mereka rupanya punya banyak kemiripan dengan nenek moyang orang Inggris dan orang Yahudi.

Di sana ada jejak kecerdasan manusia untuk mencari elemen-elemen kosmik dalam mengatur hidupnya.

Kebetulan bahasa merekam jejak rasionalitas itu dan mewariskannya kepada kita.

Dimensi kreatif itu muncul di kemudian hari dalam cara orang Malaka menyebut buah Karambola (𝘈𝘷𝘦𝘳𝘳𝘩𝘰𝘢 𝘤𝘢𝘳𝘢𝘮𝘣𝘰𝘭𝘢).

Tanaman ini disebut “Blidin manu larit”, arti literernya: “Belimbing jengger ayam”.

Munculnya figur binatang dalam penamaan tanaman tentu bukan fenomen yang asing. Kita mengenal bunga cocor bebek, lidah buaya, kumis kucing, dll.

Bagian tubuh hewan dipinjamkan untuk menamai jenis tanaman tertentu.

Namun, apa yang muncul dalam imajinasi kita ketika menyebut “manu meo”?

Semoga yang muncul bukan justru judi sabung ayam dan kejaran polisi seperti yang pernah dialami sendiri antropolog kenamaan Clifford Geertz.

Pada bulan April 1958 Geertz dan istrinya mulai membuat penelitian di sebuah desa kecil di Bali.

Pada hari ke-10 kunjungan, mereka datang ke sebuah kampung untuk menyaksikan sabung ayam.

Mereka ingin mencari tahu bagaimana acara itu biasanya dihelat. Geertz dan istrinya menyaksikan dengan antusias.

Di tengah keramaian tiba-tiba seseorang berteriak: “Polisi, polisi!”

Tampak sebuah truk penuh dengan polisi lengkap bersenjata. Orang-orang berlarian.

Tak terkecuali Geertz dan istrinya. (Geertz, 1973: 414-415).

Ve Nahak, alumnus Sekolah Tinggi Filsafat Katolik (STFK) Ledalero. Tinggal di Spanyol.

spot_img
TERKINI
BACA JUGA