Petani Curhat di Pondoknya, Pemerintah Bisa Apa?

Oleh

Elvan De Porres*

Isu-isu seputar kehidupan petani akan senantiasa dibicarakan terus-menerus seiring laju modernitas yang kian tak terbendung. Para petani dihadapkan pada kompleksitas persoalan yang membuat mereka tak dapat mengelak dan ‘mau tak mau’ harus berjibaku di dalamnya. Entah dengan cara melawan, misalnya kasus perampasan lahan oleh Negara juga korporasi, ataupun menggerutu sendiri untuk konteks krisis pangan tiap tahunnya.

Dan yang akan dibicarakan dalam tulisan ini adalah nasib para petani, baik secara eksplisit maupun implisit, berkenaan dengan dampak perubahahan iklim dan bagaimana eksistensi masalah ini direspons dalam percaturan wacana publik di Indonesia.

Pada 26 April 2019 lalu, media daring Vice Indonesia, sempat menurunkan sebuah artikel berjudul “Penduduk Asia Tenggara Diminta Bersiap Hadapi Kekeringan Parah Berkepanjangan”. Di dalamnya tertandaskan bahwa selama 30 tahun terakhir, kekeringan sudah dialami 66 juta orang di kawasan Asia Tenggara, dan berdasarkan penelitian terbaru Komisi Ekonomis dan Sosial untuk Kawasan Asia Pasifik PBB dan ASEAN, potensi kekeringan akan jadi semakin ekstrem apabila negara-negara Asia Tenggara tak menaruh kepedulian atasnya.

iklan

Tentu saja itu merupakan sirene besar bagi Negara-Negara termaksud. Terutama Indonesia dengan label negeri agraris yang memang pada kenyataannya menggantungkan sekop infrastruktur ekonomi di kaki tangan para petani.

Namun, sepertinya pemerintahan negeri ini tidak peduli. Beberapa gagasan analitis dapat digaungkan. Seperti ketergantungan Negara pada industri ekstraktif ditambah gumpalan elite politik yang menanam banyak saham di perusahan-perusahan yang manfaatkan tanah sebagai locus keruk ataupun mesin uang, menyebabkan problem ini sangat “hati-hati” dibicarakan dalam skala global.

Musababnya, menyoal perubahan iklim berarti mendedah isu-isu lingkungan. Dan industri apa saja yang berperan dalam menyumbang kerusakan lingkungan atau emisi karbon atau efek buruk bagi kemanusiaan sudah barang tentu patut dikaji ataupun dikritisi. Tentu, ini di samping anjuran lain yang menaruh fokus pada injeksi kesadaran individu untuk gerakan yang lebih kolektif.

Dalam debat Capres-Cawapres 2019 saja, isu lingkungan sungguh minim sorotan di kepala kedua pasangan calon. Bahkan, lebih kontekstual lagi, Presiden Joko Widodo baru-baru ini (Kantor Berita KBR, 8/7/2019), malah memerintahkan Menteri Lingkungan Hidup untuk mempercepat penerbitan izin pabrik-pabrik yang hendak beroperasi di Indonesia tanpa kajian lebih jauh. Itu belum lagi diskusi tentang pemindahan ibu kota Jakarta karena dikelilingi PLTU Batu Bara alih-alih pencarian solusi lain ihwal energi terbarukan.

Persoalan ini, dalam artian tak merupakan kegelisahan urgen, dapat dikatakan berkelindan harmonis dengan lintang pukang wacana yang dibahas oleh publik Indonesia beberapa tahun belakangan. Tema agama dan politik menjadi hal yang lebih sering dibicarakan ketimbang aspek krusial pada masa mendatang.

Boleh jadi sebagian dari kita berpendapat bahwa isu perubahan iklim itu hanya gaungan global dan negeri ini bakalan tetap baik-baik saja. Perubahan iklim bukan item seksi karena menjadi urusan Barat dan Indonesia mungkin kita anggap tak berada satu planet dengan Negara-Negara Barat tersebut.

Tapi, para petani di Desa Renggaresi, Wolofeo, Kabupaten Sikka, punya cerita tersendiri. Beberapa waktu lalu, dalam perbincangan dengan penulis, hampir semua petani mengeluh bahwa lima atau enam tahun belakangan hasil bumi mereka selalu menurun meskipun telah mengusahakan cara berladang tradisional-organik yang ramah lingkungan. Salah satu faktor penyebabnya adalah tidak tetapnya laju musim sehingga mereka kesulitan tentukan waktu mulai masa tanam, bahkan panenan.

Jika dulu, mereka, atau juga kita, tahu bahwa musim penghujan terjadi pada bulan Oktober sampai Februari/Maret dan musim kemarau pada Maret/April sampai September, sekarang yang terjadi adalah hujan dan kemarau bisa datang sesuka hati. Tak tertebak, tak terduga.

Salah seorang petani moke bahkan sempat mengutarakan bahwa volume minuman tradisional yang diusahakannya itu kian tahun kian menurun. Karena bunga tanaman yang berfungsi sebagai penyerbukan senantiasa berguguran entah tersebab apa.

Esensi yang sama terjadi juga untuk pohon cengkih di Saparua, Maluku. Dua tahun lalu, penulis sempat mendengar cerita warga setempat bahwa sebagian tanaman primadona itu –terlepas dari jenisnya sebagai tanaman umur panjang- ditebang karena tak memberikan hasil yang cukup sebagaimana yang mereka alami dulu.

Ini kemudian timbulkan penafsiran ganda. Pada satu sisi, mereka menanam tanaman umur pendek yang lebih memberikan keuntungan untuk kehidupan sehari-hari, sementara sisi lainnya, seandainya struktur tanah di situ tak cocok untuk hunian tanaman baru, mereka tentu mesti berpikir lagi untuk opsi tanaman lain.

Tentu para petani tidak serta merta dihakimi ataupun disalahkan. Perubahan iklim sebagai masalah dunia seharusnya menjadi perhatian pemerintah sebagai pengambil kebijakan.

Kita tahu, salah satu faktor perubahan iklim di Asia Tenggara adalah meningkatnya emisi karbon global yang mana salah satu penyumbang terbesarnya adalah perusahan-perusahan di Eropa juga Amerika. Jurnalis sekaligus aktivis lingkungan Asia, Pavel Partha, dalam sebuah wawancara dengan penulis, mengatakan bahwa negara-negara itulah yang semestinya bertanggung jawab untuk masalah di Asia Tenggara.

Namun, tanggung jawab itu, menurut Pavel, membutuhkan suara dari Negara-Negara yang kena dampak, seperti Indonesia ini. Jika Negara masih belum sadar, masalah ini hanya memang akan jadi wacana dan sepuluh atau lima belas tahun, kekeringan masif dan persoalan lain setelahnya bakal betul-betul terjadi.

Padahal, di Barat sendiri, semangat melawan perubahan iklim itu menjadi salah satu topik serius. Lewat gerakan-gerakan kampanye ataupun intervensi pemerintah untuk mengaplikasikan model energi terbarukan dan berkeadilan.

Di NTT sendiri, program-program kabupaten ataupun kelompok tani untuk mengantisipasi terjadinya krisis pangan, semisal lumbung pangan desa, hanyalah solusi sementara waktu dan tidak menyentuh substansi masalah yang jauh lebih besar.

Para petani kita mungkin tak menganalisis ini lebih jauh. Tapi, mereka yang sejak dahulu kala diajarkan hidup selaras dengan alam perlahan-lahan menjadi korban amukan modernitas, atau lebih ekstrem sistem penghisapan, yang begitu nyata.

Namun, itu bukan berarti para petani hanya akan tampil sebagai orang-orang kalah. Pemahaman-pemahaman mengenai itu, entah dalam kelompok tani atau organisasi apa saja, mesti senantiasa diberikan agar suara kritis mereka dapat didengar.

Jika tidak, kita hanya bisa mendengar curhatan ataupun keluh kesah mereka di pondok taninya perihal kekeringan dan rawan pangan. Sambil kita mengeluh dan marah-marah kalau sesekali harga barang pangan naik. Di situlah, kita mungkin bertanya-tanya, pemerintah bisa apa?

*Redaktur Surat Kabar Ekora NTT, Tim Ekspedisi Jalur Rempah 2017.

TERKINI
BACA JUGA